Belakangan ini, kita banyak membaca berita-berita tentang PHK massal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan start up. Tidak hanya perusahaan start up kecil, tetapi perusahaan start up besar seperti Xendit, Shopee, dan bahkan Tokocrypto juga melakukan Tindakan PHK massal serupa. Salah satu yang paling parah adalah Goto. Dilansir dari bisnis.tempo.co, Goto melakukan PHK massal sebanyak 1.300 karyawan. Apa yang sebenarnya terjadi pada perusahaan-perusahaan start up ini? Apakah bisnis start up ini akan redup kedepannya? Banyak sekali sentimen negatif yang menimpa perusahaan start up di Indonesia bahkan dunia. Dan hari ini, kita akan mencoba membahas masalah-masalah tersebut. Kita akan memulai dari definisi start up ini terlebih dahulu. Menurut Abdullah Aziz Rajudin (2021) melalui mediaindonesia.com, start up adalah sebuah usaha yang baru berjalan dan menerapkan inovasi teknologi untuk menjalankan core business-nya dan memecahkan sebuah masalah di masyarakat.
Lalu apa perbedaan start up dan perusahaan konvensional pada umumnya? Perusahaan kovensional berjalan dengan mengandalkan profit dari hasil keuntungan usahanya. Sedangkan start up memiliki tujuan untuk menjadi pemimpin industri dalam waktu cepat sehingga mereka membutuhkan modal yang besar di fase awal bisnis mereka. Cara masing-masing perusahaan start up memperoleh modal besar di awal pun bermacam-macam. Mereka dapat mendapatkan modal dengan menjual saham mereka pada investor (angel investor, venture capital, etc), berutang pada bank, berutang pada investor dalam bentuk surat utang, dan lain-lain. Mereka juga dapat melakukan IPO di bursa saham seperti yang sudah dilakukan oleh bukalapak, GOTO, dan yang baru-baru ini melakukan IPO yaitu Blibli Tiket, merger antara Blibli, tiket.com, dan Ranch Market. Dari definisi tadi, dapat kita simpulkan bahwa hutang merupakan salah satu bagian penting dalam berkembangnya sebuah start up. Mereka membutuhkan utang yang besar sehingga mereka bisa melakukan scale up pada perusahaan mereka dengan cepat. Di sinilah bagian permasalahan dari perusahaan-perusahaan start up tersebut. Saat ini BI sedang gencar gencarnya menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi. Per tanggal 20 Oktober 2022, BI menetapkan suku bunga berada di 4.75%. Angka ini sangat tinggi mengingat BI sudah melakukan peningkatan suku bunga selama 3 bulan beruntun sejak Agustus 2022.
Tingginya suku bunga ini tentu sangat mencekik perusahaan-perusahaan start up tersebut. Arus kas mereka menjadi terhambat dan mereka menjadi lebih lambat saat melakukan scale up. Mereka pun menjadi jauh lebih sulit untuk mendapatkan funding pada saat suku bunga sedang tinggi. Perlu kita ingat juga bahwa kurva investasi dan suku bunga memiliki hubungan negatif dimana saat suku bunga mengalami kenaikkan, maka investasi akan berkurang. Sulitnya mendapatkan funding inilah yang membuat banyak start up melakukan PHK massal karena banyak start up yang mengandalkan funding untuk beroperasinya bisnis mereka karena jika mereka hanya mengandalkan revenue, jumlah revenue tersebut tidak dapat menutup biaya operasi yang ada. Sebagai contoh, menurut data dari investing.com, pada income statement Goto tercatat bahwa di kuartal kedua 2022 Goto memiliki revenue sebesar 1,9 triliun sedangkan biaya operasi dari Goto itu sendiri adalah sebesar 9,8 triliun. Terlihat jelas bahwa sangat mustahil untuk perusahaan start up menutup biaya operasi mereka dengan revenue mereka sendiri.
Permasalahan lain yang dialami oleh perusahaan start up ini adalah adanya uncertainty atau ketidakpastian dari perusahaan-perusahaan start up. Kenaikkan suku bunga ini juga berdampak pada semakin tingginya tingkat uncertainty pada perusahaan start up. Dampaknya adalah, investor semakin mengharapkan imbal balik yang lebih tinggi dari perusahaan-perusahaan start up ini karena risiko yang mereka hadapi semakin besar.
Lalu, bagaimana masa depan dari start up – start up ini?
Dalam jangka pendek, kita harus melihat bagaimana The Fed memberikan kebijakan suku bunga berikutnya. Dalam FOMC terakhir, Gubernur Federal Reserve, Jerome Powell mulai menunjukkan isyarat-isyarat bahwa kebijakan kedepannya akan cenderung dovish (lebih ekspansif). Penyebutan inflasi yang menunjukkan tanda-tanda telah mencapai puncaknya dalam pernyataan kebijakan atau konferensi pers dapat dilihat sebagai petunjuk dovish. Selain itu, Jerome Powell juga mengkonfirmasi niat The Fed bahwa pada bulan Desember, The Fed akan menaikkan suku bunga sejumlah 50 bps yang dimana hal ini dinilai sebagai kecenderungan dovish dalam prospek kebijakan.
Tentu kecenderungan kebijakan dovish ini menjadi pertanda baik bagi perusahaan start up. Mereka akan jauh lebih mudah mendapat funding kedepannya sehingga mereka dapat melakukan scale up dengan lebih mudah.
Dan dari sisi investor, kebijakan dovish ini akan membuat mereka lebih agresif sehingga para perusahaan start up pun akan lebih mudah mendapatkan suntikan dana baru. Walaupun demikian, tetap ada kemungkinan bahwa fase hawkish (kontraktif) dari The Fed belum selesai. Jika data inflasi dan IHK ternyata diluar ekspektasi The Fed, maka tidak menutup kemungkinan bahwa nantinya The Fed tetap akan memberlakukan kebijakan yang hawkish. Hal ini lah yang harus diantisipasi oleh perusahaan-perusahaan start up. Mereka harus memiliki strategi dan rencana yang matang jika nantinya masa hawkish dari The Fed belum berakhir. Sedangkan dalam jangka panjang, sustainability dari perusahaan start up ini semuanya bergantung pada corporate governance masing-masing perusahaan. Perusahaan yang dapat mengelola funding yang mereka dapatkan dengan baik yang akan tetap bertahan pada industri ini. Perusahaan-perusahaan start up ini terutama di Indonesia sudah harus mulai mencari cara bagaimana mereka dapat menghasilkan profit yang konsisten karena sejauh ini belum ada perusahaan start up yang dapat menghasilkan profit konsisten.
Kesimpulan
Tingginya suku bunga saat ini memang sangat mencekik perusahaan start up di seluruh dunia. Funding yang terhambat membuat banyak dari perusahaan start up harus melakukan pemangkasan biaya operasional seperti beban gaji karyawan. Di saat-saat seperti ini lah sustainability dari perusahaan-perusahaan ini diuji. Namun kedepannya saat kebijakan suku bunga mulai cenderung dovish, perusahaan-perusahaan start up ini dapat kembali berjalan normal. Dan disaat itu lah perusahaan-perusahaan start up ini harus mulai mencari cara untuk menghasilkan profit secara konsisten.
Referensi
Cole, R. (2018). Debt financing, survival, and growth of start-up firms. Journal of Corporate Finance. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0929119916302425 Sengezer, E. (2022). November Fed Preview: Is It Time for a Dovish Signal?. https://www.google.com/amp/s/www.fxstreet.com/amp/analysis/fed-november-preview-is-it-time-for-a-dovish-signal-202211011137 Brochner, N. (2022). What The High Interest Rates Mean For Start Up Founder. https://www.forbes.com/sites/forbestechcouncil/2022/05/04/what-the-high-interest-rates-mean-for-startup-founders/?sh=5db03b856691 Le, T., Quang, H., Mohiuddin, M. (2010). Impact of uncertainty and start-up opportunities on technopreneurial start-up success in emerging countries. Transnational Corporation Review. Doi:10.1080/19186444.2021.1952053. Bylund, P.L., & McCaffrey, M. (2017). A theory of entrepreneurship and institutional uncertainty. Journal of Business Venturing, 32, 461–475. doi:10.1016/j.jbusvent.2017.05.006 Hambock, C., Hopp, C., Keles, C., & Vetschera, R. (2017). Risk aversion in entrepreneurship panels: Measurement problems and € alternative explanations. Managerial and Decision Economics, 38, 1046–1057. doi:10.1002/mde.2844