Pendahuluan
Perilaku menyontek telah menjadi hal yang selalu melekat sebagai citraan negatif seorang mahasiswa. Dari dalam diri seorang mahasiswa yang melakukan perilaku menyontek, ia kerapkali menemui dilema. Pada satu sisi, ia berusaha untuk memperoleh hasil akademik yang cemerlang dengan representasi berupa IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) yang baik, namun banyak faktor (kegiatan ekstrakurikuler dan permasalahan pribadi) yang sering menghalangi, sehingga perilaku menyontek menjadi jalan keluar yang dianggap ‘rasional’. Di sisi lain, terdapat tanggung jawab moral untuk berperilaku baik, mengingat terdapat berbagai perangkat diri (seperti: norma agama dan status sosial) yang melekat pada seorang mahasiswa, sehingga bagi mereka yang mawas akan kembali ke jalur yang ‘benar’.
Kondisi pandemi yang tidak memungkinkan pembelajaran tatap muka, berimplikasi pada pilihan pembelajaran dengan sistem online atau asyncronus. Sistem evaluasi pembelajaran pada kondisi online yang mengandalkan pada ujian formatif online, membuat kemungkinan seseorang untuk menyontek menjadi semakin tinggi (Adzima, 2020). Bahkan ketika pandemi mulai padam dan sistem pembelajaran digantikan oleh metode hybrid (kombinasi dalam jaringan dan luar jaringan), efek dari penurunan performa akademik masih terjadi. Hal ini disebabkan oleh rutinisasi dari perilaku mahasiswa yang regresif (terutama menyontek), sehingga hasil dari perkembangan akademik melambat (Arnold, 2016).
Dengan melihat dua kenyataan umum, bahwa terdapat dilema dalam perilaku menyontek dan performa akademik mahasiswa pasca pandemi yang masih berartikulasi pada perilaku ketika pandemi. Artikel ini tertarik untuk menjelaskan berbagai kerangka akademik, baik secara ekonomi dan ilmu keperilakuan lainnya, yang menjelaskan perilaku curang (menyontek). Kemudian, berupaya untuk menyajikan bukti empiris dari studi yang ada, terkait berbagai determinan dari menyontek.
Kerangka Teoritis terkait Tindakan Menyontek
Studi teoritis terkait dengan perilaku curang (cheating) pertama kali dilirik oleh Gary S. Becker, Bapak Teori Modal Manusia, pada tahun 1968 melalui sebuah tulisan berjudul “Crime and Punishment: An Economic Approach”. Becker (1968) menggunakan kerangka maksimalisasi utilitas dalam menganalisis perilaku kriminal. Asumsi dasar dari teori Becker adalah individu dianggap rasional, ini berarti manusia selalu berupaya memaksimalisasi kemanfaatan (benefit) yang ia peroleh dengan diberikan batasan biaya (cost) tertentu. Menurut Becker, ketika seorang memilih antara tindakan curang (ilegal) atau tindakan yang konform (legal), ia akan mempertimbangkan ekspektasi perolehan (expected gain) dari tindakan curang dengan ekspektasi biaya (expected cost) dari ganjaran (punishment) yang ia terima. Alhasil, seseorang akan selalu memilih perilaku curang apabila ekspektasi utilitas (expected utility) yang ia peroleh melebihi ekspektasi utilitas dari melakukan tindakan yang konform. Kerangka berfikir ini dalam leksikon ilmu perilaku dikenal sebagai Rational Crime Behavior Theory.
Untuk memperjelas teori Becker, anggap situasi ketika seorang mahasiswa sedang melakukan Ujian Akhir Semester (UAS). Ia memiliki pilihan antara menyontek dengan berlaku jujur ketika UAS. Berdasarkan teori Becker, orang tersebut perlu mempertimbangkan situasi yang sedang ia hadapi sekarang terkait utilitas ketika menyontek dengan utilitas bila mengerjakan dengan jujur. Katakanlah, situasi ruangan UAS tersebut memiliki posisi duduk yang berdekatan dan bebas, kemudian pengawas UAS kebetulan sakit dan diganti dengan seorang pengawas yang perlu bolak-balik mengawasi dua ruangan sekaligus, serta teman dekat yang terkenal pintar berada dalam satu ruangan. Maka kemungkinan utilitas untuk menyontek akan semakin tinggi, karena benefit dari menyontek semakin tinggi (teman yang pintar seruangan) dan cost of punishment yang ia tanggung semakin rendah (posisi duduk dan pengawas yang sakit). Dengan demikian, bila mengikuti kerangka Becker, orang tersebut akan memilih menyontek ketimbang jujur.
Pendekatan lain ditawarkan oleh Nisan (1991), ia berpendapat tindakan curang yang dilakukan seseorang tidak semata-mata melalui kerangka analisis manfaat-biaya, namun bertitik tumpu pada penyeimbangan moral (moral balance). Lebih lanjut, orang akan membandingkan kondisi moral saat ini dengan kondisi moral yang telah terjadi pada periode yang berdekatan atau periode lampau tertentu. Jadi seseorang akan mengizinkan perbuatan yang tidak sesuai moral, apabila ia telah mengkompensasi dengan perilaku yang sesuai pada periode lalu terdekat. Dalam konteks perilaku menyontek, teori moral balance menjelaskan seseorang akan menyontek bila pada periode yang sebelum atau terdekat ia berperilaku “baik”. Hal ini dikarenakan anggapan moral baik yang ia miliki telah mengalami surplus, sehingga kondisi moral yang ia miliki kembali seimbang.
Ekstensi dari pendekatan moral balance dijelaskan oleh teori lanjutan seperti: self-concept maintanance theory (orang akan melakukan deviasi jika ia tidak memperbarui kondisi self-image yang ia miliki), Self-Serving Justification (perilaku menyimpang disebabkan proses internal dalam menjustifikasi diri), dan moral disengagement (perilaku menyimpang terjadi sebab adanya pemutusan aturan moral yang ia terapkan pada individu lain) (Jacobsen et al., 2018).
Pendekatan terakhir yang menjelaskan perilaku menyontek merupakan Pembatasan Etis dan Kebutaan Etis (Bounded Ethicality & Ethical Blindness). Pendekatan ini berpandangan bahwa individu melakukan tindakan menyimpang disebabkan oleh kecenderungan untuk mengabaikan tindakan yang tidak etis, ketika mereka hanya memproses tindakan atas dasar kepentingan pribadi (self-interests). Kondisi ini dikarenakan individu yang menyimpang tak acuh atas etika yang berlaku, sehingga berperilaku non-konform secara tidak sadar (unconscious), secara konseptual kondisi ini disebut sebagai bounded ethicality. Orang yang menyimpang dianggap tidak memberikan perhatian terhadap norma yang berlaku, walaupun tindakan yang dilakukan berada pada arah moral secara umum.
Beberapa Temuan Empiris
Studi empiris terkait tindakan menyimpang, termasuk terkait menyontek, telah berkembang selama beberapa dekade terakhir. Penelitian terkait menyontek bukan hanya menjadi perhatian behavioral economics semata, namun juga mendapat atensi dari berbagai ilmu keperilakuan lain seperti: psikologi, sosiologi, komunikasi, dll. Atensi yang besar ini disebabkan oleh premis, bahwa dengan mengetahui determinan dari tindakan kecil seperti menyontek, dianggap dapat memperumum hasil temuan ke tindakan menyimpang yang lebih besar (seperti: tax evasion, corruption, dll). Secara umum, determinan yang menjadi perhatian dari perilaku menyontek berkaitan dengan berbagai karakteristik sosial dan individual.
Gender merupakan salah satu faktor yang dianggap penting dalam menjelaskan perilaku menyontek. Berbagai temuan memberikan penjelasan bahwa efek dari gender terhadap menyontek, tidak serta merta dapat ditemukan secara langsung, namun melalui elemen lain (seperti kemampuan dan pengondisian situasi). Studi oleh Schwieren and Weichselbaumer (2010) menemukan bahwa dalam situasi kompetitif perempuan cenderung memiliki kecenderungan untuk curang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, namun kecenderungan ini akan berubah apabila situasi hanya didasarkan pada kemampuan dasar yang dimiliki oleh masing-masing. Temuan lain juga mengimplikasikan, bila tindakan curang diketahui oleh rekan yang lain, laki-laki cenderung menjadi lebih curang dalam melakukan tugas ketimbang perempuan (Fosgaard et al., 2013).
Shalvi and Leiser (2013) menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki tingkat religiusitas yang tinggi cenderung memberikan penilaian terhadap perilaku curang sebagai perilaku yang benar-benar buruk, tetapi tetap menemukan perilaku yang lemah terkait kejujuran pada partisipan yang religius. Oleh karena itu, temuan ini mengimplikasikan bahwa dalam konteks kegiatan akademik, mahasiswayang memiliki keyakinan beragama tinggi tidak selalu diiringi dengan etika moral yang kuat.
Terkait dengan hubungan disiplin keilmuan yang didalami oleh seseorang dengan perilaku curang, literatur terkini menemukan adanya hubungan diantara kedua hal tersebut, namun berbagai hasil temuan bersifat inkonsisten antara satu sama lain. Terdapat temuan bahwa mahasiswa yang mendalami ilmu sosio-humaniora (kebanyakan menggunakan sampel mahasiswa ekonomi) cenderung lebih curang dibanding disiplin ilmu lain (Lewis et al., 2012; Munoz-Iquierdo ˜ et al., 2014). Di sisi lain, studi oleh Marsden et al. (2005) menemukan mahasiswa yang mempelajari ilmu eksakta cenderung memiliki perilaku tidak jujur dibanding dengan mahasiswa lainnya.
Determinan lain yang dianggap mempengaruhi perilaku menyontek secara tidak langsung berkaitan dengan aspek identitas diri yang melekat pada seseorang (Jacobsen et al., 2017). Hal ini bisa mencakup intelektualitas bawaan, pikiran kreatif seseorang, tindakan menyimpang atau kriminal masa lampau, dan lain-lain.
Kesimpulan
Mahasiswa dalam memilih perilaku menyontek atau jujur kerapkali menemui dilema. Secara ekonomi, seseorang akan memilih menyontek, bila selama ekspektasi utilitas dari menyontek melebihi ekspektasi utilitas ketika berperilaku jujur. Dari segi moral, perilaku tidak jujur (menyontek) merupakan representasi dari penyeimbangan perilaku moral yang baik pada periode yang lalu atau terdekat. Studi empiris menunjukan berbagai determinan yang mempengaruhi perilaku menyontek meliputi: gender seseorang, disiplin ilmu yang didalami, tingkat religiusitas, dan faktor-faktor berkaitan dengan identitas diri yang melekat pada seseorang.
Referensi
Adzima, K. (2020). Examining online cheating in higher education using traditional classroom cheating as a guide. Electronic Journal of E-Learning, 18(6), 476–493. https://doi.org/10.34190/JEL.18.6.002
Arnold, I. J. M. (2016). Cheating at online formative tests: Does it pay off? Internet and Higher Education, 29, 98–106. https://doi.org/10.1016/j.iheduc.2016.02.001
Becker, G.S. (1968) Crime and punishment: An economic approach. Journal of Political Economy 76(2): 169. http://doi.org/10.1086/259394
Fosgaard, T.R. (2013) Asymmetric default bias in dishonesty – How defaults work but only when in one’s favor. IFRO Working paper No. 2013–8.
Jacobsen, C., Fosgaard, T. R., & Pascual-Ezama, D. (2018). Why Do We Lie? a Practical Guide To the Dishonesty Literature. Journal of Economic Surveys, 32(2), 357–387. https://doi.org/10.1111/joes.12204
Lewis, A., Bardis, A., Flint, C., Mason, C., Smith, N., Tickle, C. and Zinser, J. (2012) Drawing the line somewhere: An experimental study of moral compromise. Journal of Economic Psychology 33(4): 718– 725.
Marsden, H., Carroll, M. and Neill, J. (2005) Who cheats at university? A self-report study of dishonest academic behaviours in a sample of Australian university students. Australian Journal of Psychology 57(1): 1–10.
Munoz-Iquierdo, N., Gil-G ˜ omez de Lia ´ no, B., Rin-S ˜ anchez, F.D. and Pascual-Ezama, D. (2014) ´ Economists: Cheaters with Altruistic Instincts. Retrieved from http://mpra.ub.uni-muenchen.de/60678/
Nisan, M. (1991) The moral balance model: Theory and research extending our understanding of moral choice and deviation. In W.M. Kurtine and J.L. Gewirtz (eds.), Handbook of Moral Behavior and Development, Vol. 3 (pp. 213–249). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Schwieren, C. andWeichselbaumer, D. (2010) Does competition enhance performance or cheating? A laboratory experiment. Journal of Economic Psychology 31(3): 241–253.
Shalvi, S. and Leiser, D. (2013) Moral firmness. Journal of Economic Behavior and Organization 93: 400–407.
<a href=”https://storyset.com/education”>Education illustrations by Storyset</a>