by Research Division HIMA ESP FEB Unpad
Manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang tak dapat terpisahkan dari fenomena kekuasaan dalam kehidupannya. Semenjak seorang manusia lahir di muka bumi hingga akhir hayatnya, manusia akan selalu disuguhkan oleh berbagai perangkat kekuasaan dan kewenangan yang memengaruhi dirinya dalam kehidupan di dalam masyarakat. Dalam hal ini, kekuasaan atas manusia terhadap manusia lain merupakan gejala serba hadir dalam berkehidupan. Hal ini pada dasarnya merupakan konsekuensi dasar manusia sebagai zoon politikon, makhluk yang berpolitik, begitulah Aristotle menganggap manusia.
Namun disisi lain, manusia merupakan makhluk yang tak terlepas dari daya pikat keduniaan, sehingga sering menjadikan kekuasaan yang diampunya terdistorsi terhadap kepentingan pribadi yang mengikat dirinya. Maka tak ayal Lord Acton, Sejarawan dan Ahli Politik berkebangsaan Inggris, pada abad ke-19 membuat dictum yang hingga kini masih sering dirujuk, ia menyatakan “Power tend to corrupt, but absolute power tend to corrupt absolutely”. Nampaknya, hal yang disampaikan oleh Lord Acton masih relevan akan gejala yang terjadi di masyarakat saat ini.
Gejala penyalahgunaan kekuasaan yang melekat dan mungkin telah menjadi “borok besar” pada setiap negara di dunia adalah korupsi. Korupsi merupakan hal yang sepanjang waktu mendegradasi marwah dari mereka yang diamanati kuasa dan wewenang yang diberikan oleh rakyat. Negara – negara besar di dunia, seperti Amerika Serikat tak luput terjangkit penyakit kekuasaan ini (Dincer & Gunalp, 2011a). Begitu juga Indonesia negara yang notabene merupakan negara berkembang juga terjangkit akan penyakit menahun ini. Tak lekang dari ingatan beberapa bulan lalu KPK menangkap dua Menteri dalam jajaran Kabinet, yaitu Edhie Prabowo (Mantan Menteri Kelautan & Perikanan) dan Juliari P. Batubara (Mantan Menteri Sosial) dalam waktu yang hampir berdekatan. Maka tidak mengherankan pada 2020 IPK (Indeks Persepsi Korupsi Indonesia anjlok ke urutan 102 dunia.
Kondisi korupsi yang parah dari suatu negara berimplikasi bukan hanya menjatuhkan marwah dari para elite politik, tetapi juga pada kondisi perekonomian suatu negara. Secara umum, kehadiran dari korupsi membuat pertumbuhan ekonomi dari suatu negara bisa melemah (Freckleton et al., 2012; Gründler & Potrafke, 2019; Kuncoro, 2002 a; Nawatmi, 2014). Disisi lain permasalahan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan, semakin diperparah oleh korupsi yang telah akut pada suatu negara (Alesina & Angeletos, 2005; Chetwynd et al., 2003, 2003; Dincer & Gunalp, 2011a, 2011b; Samputra & Munandar, 2019; Setyadharma, 2007). Hal ini tentunya akan menambah daftar panjang berbagai kemalangan yang dihadapi oleh negara berkembang seperti Indonesia. Pendeknya kita dapat mengumpamakan negara yang terjangkit korupsi, sebagai pesakitan yang didera oleh berbagai penyakit bawaan yang tentunya untuk mengobatinya perlu usaha yang sangat ekstra. Oleh karena itu, korupsi merupakan permasalahan multidimensi yang dalam memahaminya tidak hanya dapat melalui satu perspektif, namun memerlukan berbagai perspektif untuk melihat nya secara utuh.
Esensi dan Konsep dari Korupsi
Pada paparan awal, telah kita pahami bahwa korupsi merupakan kondisi yang menunjukan suatu bentuk dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Untuk menelusuri makna dari penyalahgunaan kekuasaan ini perlu kita perhatikan terlebih dahulu, makna secara kebahasaan dari korupsi. Korupsi secara etimologis berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio (kata kerja : corrumpere) yang bila di Indonesiakan dapat berarti : busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, dan menyogok. Sedangkan secara terminologis dapat dikatakan, korupsi merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu yang memiliki kekuasaan dan wewenang, kemudian menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang secara illegal demi kepentingan pribadi. Secara umum definisi yang sering dijadikan rujukan merupakan definisi yang berasal dari World Bank, yang berbunyi sebagai berikut :
“is a form of dishonesty or criminal offense undertaken by a person or organization entrusted with a position of authority, to acquire illicit benefit or abuse power for one’s private gain. Corruption may include many activities including bribery and embezzlement, though it may also involve practices that are legal in many countries.”
Jadi sebagaimana konsep dari yang telah disampaikan, korupsi hadir dari mereka (individu atau kelompok) yang memiliki kewenangan, sehingga dengan kewenangan yang dimiliki melakukan penyalahgunaan kekuasaan dalam rangka keuntungan pribadi. Kemudian lebih rincinya lagi menurut (Andvig et al., 2000 dalam (Nugraheni et al., 2017)) karakteristik dari korupsi berupa : 1) Bribery (Suap), 2) Embezzlement (Penggelapan), 3) Fraud (Penipuan), 4) Extortion (Pemerasan), 5) Favoritism, & 6) Nepotism.
Relasi Korupsi atas Ekonomi : Suatu Perdebatan
Secara akademik sendiri mengenai pengaruh korupsi terhadap perekonomian masih terjadi debat. Para ahli politik, ekonom, dan sejarawan berselisih paham mengenai dua perspektif umum, yaitu perspektif efficient grease hypothesis/grease the wheel dan sand the wheel hypothesis. Pada pandangan yang pertama, dianggap bahwa korupsi dapat membuat roda perekonomian melaju lebih cepat. Sedangkan pandangan kedua sendiri beranggapan korupsi malah memperlambat laju perekonomian. Secara empiris sendiri, terdapat bukti – bukti yang membenarkan pandangan pertama maupun kedua.
Pandangan pertama sendiri tampak seperti counterintuitive atas pemahaman tautologi bahwa bila ada korupsi, maka perekonomian akan terhambat, tetapi ahli seperti Samuel P. Hutington menganggap hal ini mungkin untuk terjadi. Intuisinya adalah pada suatu negara yang didalamnya terdapat berbagai peraturan, korupsi dapat mempermudah penyelesaian legalitas dari para birokrat dengan waktu yang lebih cepat, dengan demikian perusahaan yang akan mendirikan usaha dapat lebih mudah dan kegiatan ekonomi lebih efisien (Alesina & Angeletos, 2005; Chetwynd et al., 2003; Méon & Weill, 2010).
Pandangan ini sendiri sebenarnya dibenarkan oleh penelitian (Méon & Weill, 2010). Namun Méon & Weill juga membuat catatan, bahwa kondisi ini dapat terjadi apabila menghadapi birokrasi yang inefisien, hal ini didasari oleh temuan mereka terhadap negara – negara yang bersifat weak & strong grease wheel. Lebih lanjutnya mereka juga memperingati, bila perekonomian terus mengandalkan kondisi seperti ini maka kemungkinan perekonomian akan terjebak dalam bad governance efficient trap.
Pandangan kedua sendiri beranggapan bahwa korupsi akan menghambat efisien perekonomian melalui saluran masuknya FDI dan investasi dalam negeri karena para investor akan dihadapi oleh berbagai macam biaya tambahan yang timbul dari : meningkatnya biaya operasional, misalokasi sumberdaya nasional, meningkatnya ketimpangan dan kemiskinan, dan ketidakpastian dalam bisnis (Alesina & Angeletos, 2005; Chetwynd et al., 2003; Freckleton et al., 2012; Mathur & Singh, 2013).
Jadi pada dasarnya, dengan memperhatikan kedua pandangan tersebut kita dapat mengetahui bahwa dalam menilai korupsi kita tidak dapat menjustifikasi salah satu pandangan secara ekstrem tanpa memperhatikan pandangan lainnya. Disisi lain yang perlu menjadi catatan penting juga, kita perlu memahami pada dasarnya dalam bentuk sebagus apapun pengaruh dari korupsi tetap memiliki cacat yang sebenarnya tak dapat terelakkan.
Dampak Korupsi terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Ekonomi, dan Kemiskinan
Sebagaimana disampaikan di awal, bahwa korupsi bukan hanya permasalahan di negara berkembang, namun juga permasalahan bagi negara maju. Di Jerman, yang notabene merupakan negara maju, ketika mendirikan Frankfurt Airport korupsi membuat ongkos operasional meningkat sekitar 20% – 30%. Di Amerika Serikat peningkatan korupsi menunjukan berpengaruh secara rata – rata dalam meningkatkan indeks gini sebesar 0,3% dan kemiskinan sebesar 0,5% (Dincer & Gunalp, 2011a). jadi korupsi merupakan gejala yang hadir, tidak lekang atas waktu maupun ruang.
Dalam memahami pengaruh korupsi atas pertumbuhan ekonomi, ketimpangan ekonomi, dan kemiskinan kita tidak bisa memahaminya secara parsial. Kita perlu melihatnya sebagai gejala yang saling mempengaruhi satu sama lainnya. Juga kita tidak bisa melihatnya, murni permasalahan ekonomi saja namun juga perlu dari sisi politik dan pemerintahan. Atas dasar tersebut terdapat dua model secara umum , yaitu : “Economic Model” dan “Governance Model” (Chetwynd et al., 2003).

Dari peraga diatas dapat kita lihat Economic Model sendiri melihat korupsi dapat mempengaruhi penurunan pertumbuhan ekonomi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang menurun, kemungkinan dalam ketimpangan ekonomi meningkat. Dengan meningkatnya ketimpangan ekonomi membuat tingkat kemiskinan ikut meningkat.
Penurunan pertumbuhan ekonomi, disebabkan oleh penurunan FDI dan investasi dalam negeri. Hal ini terjadi disebabkan oleh banyaknya peraturan pemerintah yang menghambat usaha, sehingga para pengusaha asing yang ingin menanamkan modalnya di suatu negara menjadi kurang tertarik karena dihadapkan oleh ketidakpastian dari dalam negeri (Freckleton et al., 2012). Kemudian (Mathur & Singh, 2013) menyatakan bahwa negara yang memiliki IPK yang rendah cenderung membuat FDI beralih ke negara yang memiliki IPK yang lebih tinggi. Hal ini menunjukan bahwa, korupsi yang kronis di suatu negara dapat menurunkan minat investasi di negara tersebut, sehingga GDP suatu negara dapat menurun. Larinya modal asing ke negara lain juga, dapat menurunkan competitiveness suatu negara.
Kemudian korupsi juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi melalui: 1) menghambat wirausaha dan bisnis kecil untuk berkembang, 2) rendahnya kualitas public expenditure, 3) menurunnya pendapatan perpajakan, 4) rendahnya kualitas infrastruktur public (Chetwynd et al., 2003)
Hal ini juga menunjukan, bahwa korupsi tidak berpengaruh secara langsung terhadap kemiskinan & ketimpangan ekonomi namun melalui perantara lainnya. Juga kita dapat mengetahui kemiskinan bukan disebabkan oleh korupsi, tetapi korupsi dapat meningkatkan kemiskinan.
Pandangan “Governance Model” beranggapan bahwa korupsi membuat penurunan kapasitas dari pemerintah. Hal ini dapat berupa, menurunnya partisipasi warga negara dalam demokrasi dan kebijakan pemerintah, juga dapat berupa buruknya institusi pemerintahan. Pada intinya hal ini berkaitan dengan tidak konsekuennya pelaksanaan dari good governance. Penurunan implementasi good governance akan menurunkan kualitas dari pelayanan publik sehingga terganggunya pemerintahan. Penurunan pelayanan publik dapat membuat kemiskinan menjadi lebih rentan, karena hilangnya trust (kepercayaan) dari masyarakat. Hilangnya trust akan menurunkan insentif di masyarakat untuk turut serta dalam penurunan kemiskinan (Chetwynd et al., 2003).

Lebih lanjutnya (Alesina & Angeletos, 2005) menyatakan bahwa, pemerintahan yang besar (bigger governance) dalam artian peran serta pemerintah yang terlalu besar dalam pengentasan ketimpangan dan redistribusi akan membuat permasalahan. Permasalahannya adalah kemungkinan peningkatan korupsi dalam upaya peningkatan fairness di masyarakat, melalui dana alokasi untuk proyek public. Hal ini akan meningkatkan non-market income yang berasal dari rent-seeking behavior. Mereka juga menghipotesiskan ketimpangan yang disebabkan faktor non-pasar (seperti rent-seeking dan korupsi) lebih tidak adil, dibandingkan ketimpangan yang disebabkan oleh pasar.
Pengaruh Korupsi terhadap Perekonomian di Indonesia
Indonesia paska terjadinya desentralisasi di tahun 1999, dengan dikeluarkannya UU no. 22 tahun 1999 menunjukan adanya peningkatan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2002a). Hal ini utamanya disebab oleh peningkatan aktivitas suap (bribery) yang semakin deras. Pemerintah daerah yang diberikan kewenangan lebih luas untuk membentuk peraturan local berupa Perda (Peraturan Daerah), menjadikan celah bagi para birokrat nakal yang melakukan rent-seeking behavior.
Praktek ini menelan rata – rata sekitar 0.56% sampai tertinggi 36% biaya operasional dari sampel perusahaan yang mereka ambil di Indonesia. Red tape cost atau harassment ini merupakan akibat dari berbagai peraturan yang dijalankan oleh para birokrat lokal. Perusahaan seringkali terhambat oleh perizinan yang memakan waktu lama dan inefisien, sehingga agar jalan mereka menjadi lebih “mulus” mereka melakukan bribery kepada institusi terkait. Bukan hanya biaya berupa uang yang perlu dikeluarkan, tetapi juga berupa waktu yang dihabiskan untuk melakukan bargaining dengan pejabat local (Henderson & Kuncoro, 2004).
Pada dasarnya kedua belah pihak akan “diuntungkan”, baik birokrat maupun perusahaan. Perusahaan akan memperoleh dispensasi berupa kemudahan perizinan dan birokrat memperoleh keuntungan berupa uang suap. Perusahaan dan birokrat akan saling tawar-menawar layaknya menjual-belikan barang di pasar. Dari sudut birokrat, mereka beranggapan perusahaan dengan supernormal-profit akan menghasilkan fee yang lebih besar. Namun birokrat sendiri belum tentu menjalankan keputusan tawar-menawar tersebut, bila dispensasi yang diterima lebih kecil dari yang diharapkan (Kuncoro, 2004). Transaksi gelap semacam ini yang kemudian membuat penurunan terhadap pertumbuhan ekonomi dari Indonesia (Kuncoro, 2002b).
Lebih lanjutnya (Samputra & Munandar, 2019) menjelaskan bahwa, praktik korupsi di Indonesia membuat kemiskinan di Indonesia menjadi lebih parah. Mereka mengestimasi peningkatan perilaku koruptif dapat meningkatkan kemiskinan rata – rata sekitar 0,0101%. Studi ini mereka lakukan dengan analisis data-panel pada 28 provinsi di Indonesia dari tahun 2009 – 2013.

Terdapat suatu ukuran yang dapat dijadikan untuk menilai persepsi korupsi di suatu negara, ukuran ini disebut IPK (Indeks Persepsi Korupsi). Indeks ini diukur dalam skala 0 (sangat korup) sampai dengan 100 (sangat tidak korup) dan datanya sendiri diambil oleh Transparency International (TI). Indonesia sendiri memiliki nilai IPK yang cenderung menurun dari tahun ke tahun dan pada tahun 2020 ranking IPK Indonesia merupakan yang terbawah untuk tiga tahun terakhir, yaitu urutan ke-102 dengan skor 37. Hal ini dapat dipahami bahwa selama pandemic ini, public menilai korupsi di Indonesia menjadi semakin parah. Ini sebenarnya selaras dengan pernyataan (Alesina & Angeletos, 2005), bahwa semakin besarnya peran pemerintah dalam program penurunan ketimpangan dan redistribusi pendapatan, cenderung meningkatkan potensi korupsi.

Bila dibandingkan dengan negara – negara tetangga yang berdekatan dengan Indonesia, kita masih tertinggal jauh. Negara Singapura memiliki nilai IPK 85, hal ini menjadikannya berada di urutan ke-3 dunia. Kemudian Brunei dengan nilai 60 dan berada di urutan ke-35 dunia. Ataupun Malaysia yang saat ini di urutan 57 dengan IPK 51. Bahkan Timor Leste berada di atas Indonesia dengan nilai 40 dan urutan ke-85 dunia. Jelas hal ini menunjukan betapa parahnya kondisi korupsi di Indonesia. Juga dapat dikatakan usaha pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari kata “selesai”. Hal ini bila merujuk (Kuncoro, 2002a) terjadi karena rendahnya kualitas SDM dari para birokrat dan terjadinya disfungsi dalam pelaksanaan fungsi pemerintahan.
Kemudian dari sisi good governance yang menjadi pokok dari model “Governance”, kita dapat menilai dari enam indikator yang diterbitkan WGI (Worldwide Government Indicator), salah satu proyek dari World Bank. Hal ini dapat kita lihat dari Peraga 3, sepanjang 2016 – 2018, cenderung terjadi penurunan pada aspek: Political Stability, Voice & Accountability, dan Regulatory Quality, sedangkan sisanya terjadi kenaikan atau stagnan. Sedangkan Ketika memasuki 2019 Voice & Accountability, Rule of Law, dan Control of Corruption mengalami penurunan, utamanya pada Control of Corruption. Government Effectiveness di 2019 cenderung stagnan di 0,18. Terakhir di tahun 2019 Political Stability dan Regulator Quality cenderung menaik.
Kesimpulan
Korupsi merupakan bentuk dari penyalahgunaan kekuasaan dan perlu dipahami secara multidimensi. Pengaruh korupsi terhadap perekonomian masih diperdebatkan, namun terdapat kecenderungan bahwa korupsi akan memberikan penurunan bagi perekonomian. Korupsi meskipun bukan penyebab dari kemiskinan, namun memperburuk kemiskinan dan ketimpangan melalui perlambatan pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia sendiri korupsi terjadi akibat dari peraturan dan perizinan usaha yang dihadapi perusahaan. Sehingga berpengaruh pada aspek – aspek ekonomi di Indonesia.
Referensi
Alesina, A., & Angeletos, G. M. (2005). Corruption, inequality, and fairness. Journal of Monetary Economics, 52(7), 1227–1244. https://doi.org/10.1016/j.jmoneco.2005.05.003
Chetwynd, E., Chetwynd, F., & Spector, B. (2003). Corruption and Poverty: A Review of Recent Literature Final Report.
Dincer, O. C., & Gunalp, B. (2011a). Corruption, Income Inequality, and Poverty in the United States. SSRN Electronic Journal, June. https://doi.org/10.2139/ssrn.1158446
Freckleton, M., Wright, A., & Craigwell, R. (2012). Economic growth, foreign direct investment and corruption in developed and developing countries. Journal of Economic Studies, 39(6), 639–652. https://doi.org/10.1108/01443581211274593
Gründler, K., & Potrafke, N. (2019). Corruption and economic growth: New empirical evidence. European Journal of Political Economy, 60, 101810. https://doi.org/10.1016/j.ejpoleco.2019.08.001
Henderson, J. V., & Kuncoro, A. (2004). Corruption in Indonesia. NBER Working Paper Series, 10764(August), 1–36.
Kuncoro, A. (2002a). Corruption and Economic Growth in Indonesia. Economics and Finance in Indonesia, 50, 79–112. https://ideas.repec.org/a/lpe/efijnl/200203.html
Kuncoro, A. (2004). Bribery in Indonesia: Some evidence from micro-level data. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 40(3), 329–354. https://doi.org/10.1080/0007491042000231511
Mathur, A., & Singh, K. (2013). Foreign direct investment, corruption and democracy. Applied Economics, 45(8), 991–1002. https://doi.org/10.1080/00036846.2011.613786
Méon, P. G., & Weill, L. (2010). Is Corruption an Efficient Grease? World Development, 38(3), 244–259. https://doi.org/10.1016/j.worlddev.2009.06.004
Nawatmi, S. (2014). Korupsi dan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Pasifik. Jurnal Bisnis Dan Ekonomi (JEB), 21(1), 73–82. https://www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/fe3/article/view/3173
Nugraheni, H., Lestari, T. W., & Sukini. (2017). Analisis Faktor – Faktor yang Memengaruhi di Kawasan Asia Pasifik. Jurnal Ekonomi Dan Kebijakan Pembangunan, 5(2), 32–44.
Samputra, P. L., & Munandar, A. I. (2019). Korupsi, Indikator Makro Ekonomi, dan IPM terhadap Tingkat Kemiskinan di Indonesia. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 12(1), 35–46. https://doi.org/10.24843/jekt.2019.v12.i01.p04
Setyadharma, A. (2007). The Causal Relationship between Corruption and Poverty: A Panel Data Analysis. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Indonesia, 22, 277–291. https://core.ac.uk/download/pdf/297708535.pdf