Seberapa Bahaya Impulsive Buying Behaviour?

by Research Division HIMA ESP FEB UNPAD

Impulsive buying behaviour atau perilaku pembelian secara impulsif telah menjadi topik yang menarik untuk diteliti sejak abad ke-20 dan menjadi fenomena yang memicu para peneliti perilaku konsumen untuk membahasnya. Impulsif sendiri berarti bahwa individu melakukan tindakan tanpa perencanaan sebelumnya atau hanya berdasar pada perasaan mereka. Oleh karena itu, perilaku pembelian impulsif adalah perilaku di mana individu membeli barang tanpa mempertimbangkan konsekuensinya atau dalam ilmu ekonomi, melakukan pembelian tanpa menghitung biaya peluangnya. Hal ini didukung dengan pendapat dari Rook dan Fisher (Negara dan Dharmmesta, 2003 dalam Yoshi, 2016) yang menyatakan bahwa impulsive buying adalah kecenderungan konsumen untuk membeli produk secara spontan, refleks, tiba-tiba, dan otomatis tanpa perencanaan.

Berdasarkan penelitian Ian Zimmerman, seorang psikolog eksperimental yang mempelajari perilaku konsumsi masyarakat, mengatakan bahwa terdapat beberapa implikasi yang dapat mengkategorikan seseorang adalah pembeli impulsif, antara lain:
1. Pembeli impulsif sadar secara sosial, status, dan menitikberatkan pada citra diri sendiri. Pembeli yang impulsif menjadikan citra dirinya sebagai aspek yang harus menonjol di dalam masyarakat. Mereka peduli tentang apa yang orang katakan tentang mereka, bagaimana tanggapan orang, dan akankah orang menyukai mereka dengan citra seperti itu.
2. Pembeli impulsif cenderung mengalami kecemasan dan kesulitan mengendalikan emosinya. Karena terlalu memikirkan apa yang dikatakan orang lain, mereka mengintimidasi diri sendiri dengan pikiran orang lain secara berlebihan. Di sisi lain, pembeli impulsif cenderung kurang bahagia sehingga berbelanja dapat menjadi cara untuk menaikkan mood mereka. Faktor lain yang menjadi penyebabnya adalah karena kecemburuan sosial. Terkadang, ketika seseorang melihat sosial media, mereka akan melihat apa yang muncul dalam feed teman mereka, pakaian apa yang mereka gunakan, gaya hidup seperti apa yang mereka lakukan, dll. Dengan kondisi tersebut, pembeli impulsif mungkin tidak senang dengan apa yang telah temannya capai, dan membuat mereka mencari “pelampiasan” sehingga seringkali mereka membeli barang hanya untuk melampiaskan ketidaksenangannya.

Perilaku pembelian impulsif dapat dipengaruhi dari sisi internal, eksternal, demografi, kebudayaan sosial, serta kondisi produk itu sendiri. Faktor internal meliputi kepribadian, keadaan emosional, kesenangan, hedonisme, lingkungan sosial, dan karakteristik seseorang untuk mencari perhatian, sedangkan dari faktor eksternal dipengaruhi oleh promosi toko, kualitas pelayanan, anjuran teman atau keluarga, dan merchandise toko tersebut. Usia, gender, pendapatan, tingkat pendidikan, kondisi sosial-ekonomi, dan budaya termasuk dalam hal-hal yang mempengaruhi pembelian impulsif dari sisi demografi dan sosio-ekonomi, sedangkan dari sisi kondisi produk itu sendiri dapat meningkatkan pembelian impulsif melalui kesediaan waktu konsumen, kesediaan uang yang dimiliki, karakteristik produk, dan munculnya produk keluaran terbaru. Keempat aspek tersebut dapat saling terhubung secara sadar maupun tidak sadar sebagai landasan seseorang melakukan pembelian impulsif.

Dengan berkembangnya teknologi ditambah dengan keadaan pandemi yang mengharuskan orang untuk berada di rumah, aspek eksternal seperti letak toko secara fisik kini tidak lagi menjadi fokus utama konsumen. Para produsen bersaing dengan strategi marketing melalui pengadaan diskon, iklan, peluncuran merchandise khusus toko tersebut dan secara berjangka mengeluarkan produk-produk baru secara online. Strategi ini terbukti dapat menjadikan brand lebih dikenal masyarakat dan meningkatkan penjualan produknya.

Sumber: Statista.com

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh statista.com, menyebutkan jumlah pengunjung situs e-commerce pada September 2020 paling banyak terdapat pada Shopee, diikuti oleh Tokopedia, Bukalapak, dan Lazada Indonesia. Para pengguna e-commerce tersebut meningkat setiap harinya. Tentu saja untuk memikat calon pembeli yang lebih banyak, setiap e-commerce memberikan promosi yang dapat dikatakan tidak masuk akal. Sebut saja flash sale di mana barang dijual dengan harga semurah-murahnya hingga Rp 99, potongan diskon besar-besaran, dan event rutin setiap bulan mulai dari 9.9, 10.10, dst. Strategi pemasaran “Gratis ongkir hari ini saja” tampaknya telah berhasil menarik konsumen, terbukti sejak Februari 2016 saat Shopee merilis layanan gratis ongkos kirim ke seluruh Indonesia, meningkatkan pengguna Shopee sebanyak dua kali lipat. Hal ini dilakukan untuk menarik calon pembeli lebih luas dan diharapkan dapat terus berbelanja di e-commerce tersebut. Selain diskon, desain visual website, fitur yang tersedia, tata layout, kemudahan pencarian barang, dan navigasi website juga menjadi faktor yang diperhatikan oleh e-commerce.

Berbagai penawaran menarik dari e-commerce tersebut menjadi alasan terbesar adanya perilaku pembelian secara impulsif. Contohnya, kita mengunjungi salah satu e-commerce untuk membeli sepatu yang telah lama diinginkan. Setelah membuka aplikasinya, kita akan disuguhkan dengan beranda yang berisi banyak sekali penawaran menarik. Terlihat adanya  flash sale yang menawarkan kemeja, topi, tas dengan harga miring. Tanpa berpikir panjang, kita langsung memasukkan barang tersebut ke keranjang. Ditambah dengan semakin mudahnya sistem pembayaran saat ini, semakin membuat pembelian barang terasa sangat mudah dan cepat. Pada akhirnya, kita tidak hanya membeli sepatu, tetapi juga kemeja, topi, dan tas. Hal ini jika terjadi secara terus menerus akan menjadi boomerang untuk diri sendiri akibat tidak dapat “mengerem” pembelian barang yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.

Richard Taler yang merupakan seorang profesor di bidang ekonomi memenangkan hadiah nobel ekonomi tahun 2017 atas karyanya mengenai ekonomi perilaku atau behavioral economics yang merupakan studi tentang psikologi yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan dalam ekonomi. Penerapan ilmu behavioral economics lebih terkait dengan ekonomi normatif. Salah satu pembahasan dalam behavioral economics adalah suatu kondisi yang disebut dengan herd behavior. Herd Behavior menurut Banerjee (1992, hal.798) adalah kondisi di mana seseorang melakukan apa yang orang lain lakukan bahkan saat hasil informasi yang didapatkan menyarankan mereka untuk melakukan hal yang berbeda dari sebelumnya. Di sisi lain, menurut Hwang dan Salmon (2004, hal. 585) mengatakan bahwa herd behavior adalah situasi ketika seseorang memutuskan untuk meniru keputusan orang lain daripada mengikuti keyakinan dan informasi yang mereka dapatkan. Dalam kasus pembelian impulsif, mereka yang sebelumnya tidak tertarik dengan penawaran dari berbagai e-commerce kemudian melihat kerabat maupun keluarga yang telah melakukan pembelian dan setia mengikuti event promo rutin setiap bulan itu, akan mulai tertarik untuk mengikutinya dan lama kelamaan akan menjadikan hal tersebut sebagai sebuah kebiasaan baru  yang disadari maupun tidak disadari.

Selain itu, terdapat sebuah  kesalahan dalam menilai yang disebut anchoring bias. Anchoring bias adalah kesalahan dalam menilai sesuatu hanya berdasarkan informasi yang telah didapatkan pertama kali dan melalui dengan titik referensi yang mudah diakses dan membuat penyesuaian dari nilai tersebut (Tversky & Kahneman, 1975). Contohnya, saat melihat sebuah tas dengan harga Rp 500.000 kemudian diskon 75% , harganya menjadi Rp 125.000. Besar kemungkinan kita akan membelinya karena merasa diuntungkan dengan adanya diskon dan diskon tersebut tidak akan selalu ada. Namun, jika sejak awal ditampilkan harga tas tersebut adalah Rp 125.000 tanpa diskon, mungkin perlu beberapa kali berpikir sebelum membelinya. Hal ini menjadi berbahaya jika kita tidak dapat mengendalikan untuk melakukan pembelian barang yang sebenarnya tidak diperlukan hanya berdasarkan pada diskon sebagai bentuk promosi semata.

Dampak yang dapat terjadi setelah melakukan pembelian impulsif antara lain:
1. Pembeli impulsif yang terus menerus membeli barang hanya berdasarkan pada perasaan akan menjadi individu yang konsumtif dan selalu menganggap lumrah perilakunya tersebut.
2. Keuangan yang terganggu. Pembeli impulsif akan mengalami permasalahan pada keuangannya akibat sering terjadi pengeluaran yang tidak terencana dan akan mengganggu pembagian keuangan untuk kebutuhan lain. Lebih parah lagi apabila sampai harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan yang lain.
3. Pembeli impulsif tidak jarang mengalami penyesalan setelah membeli barang karena dasar atas pembelian tersebut hanya sebatas keinginan untuk memuaskan hati sementara, bukan menjadi sebuah kebutuhan.

Untuk menghindari pembelian secara impulsif, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan, diantaranya adalah membuat anggaran belanja, mengurutkan skala prioritas, jangan berbelanja saat stres, sediakan waktu untuk berpikir sebelum membeli, dan disiplin dengan diri sendiri.

Perkembangan teknologi membuat semakin mudahnya proses berbelanja ditambah dengan promosi yang gencar dilakukan oleh para pelaku usaha membuat kita secara sadar maupun tidak, melakukan pembelian impulsif. Pembelian impulsif yang hanya didasarkan pada perasaan dan tanpa perencanaan sebelumnya dapat menjadi permasalahan yang serius ketika individu tidak mampu untuk menahan dirinya dalam berbelanja. Pada jangka panjang, dikhawatirkan kondisi ini akan menjadi perilaku yang tertanam di dalam diri dan memberikan banyak dampak negatif.

Referensi

Banerjee, A. V. (1992). A Simple Model of Herd Behavior. The Quarterly Journal of Economics, Volume 107, Issue 3, 797-817.

Beritasatu. (2016, Februari 26). Gratis Ongkir, Pengguna Shopee Naik Dua Kali Lipat. Retrieved from https://www.beritasatu.com/feri-awan-hidayat/archive/351576/gratis-ongkir-pengguna-shopee-naik-dua-kali-lipat

Muruganantham, G., & Bhakat, R. S. (2013). A Review of Impulse Buying Behavior. International Journal of Marketing Studies; Vol. 5, No. 3, 149-160.

Novia, & Harmon. (2016). Faktor Penentu Perilaku Impulsive Buying Pada Fashion Business Di Kota Bandung. Jurnal Bisnis dan Investasi Volume 2 No. 3, 121-133.

SehatQ, & Indonesia, K. K. (2020, Mei 12). Alasan Orang Melakukan Impulse Buying dan Cara Menghindarinya. Retrieved from https://www.sehatq.com/artikel/alasan-orang-melakukan-impulse-buying-dan-cara-menghindarinya

Statista. (2020, September 28). Top 10 e-commerce sites in Indonesia as of 2nd quarter 2020, by monthly traffic. Retrieved from https://www.statista.com/statistics/869700/indonesia-top-10-e-commerce-sites/

Tversky, A., & Kahneman, D. (1975). Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases. Springer, 141-162.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s