By : Research Division HIMA ESP FEB UNPAD
Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 18.000 pulau dan tersebar sejauh 1,95 juta kilometer persegi. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mengakomodasi lebih dari 264 juta individu (menempati posisi ketiga negara dengan populasi penduduk terbanyak). Populasi yang masif tersebut memiliki kontribusi yang signifikan terhadap produk domestik bruto yang sekarang menempati posisi pertama di kawasan asia tenggara (3.111.768 juta USD). Namun, keadaan di pasar ketenagakerjaan dapat dinilai mengkhawatirkan, dengan utilisasi dan perkembangan pekerjaan yang lambat. Disisi lain, secara keseluruhan, rata – rata upah sudah meningkat dan terdapat penurunan pekerjaan di sektor informal. Hal ini tentunya positif namun tidak sepenuhnya, karena mereka yang berpindah dari sektor informal ke formal merupakan pekerja kontrak jangka pendek atau bahkan memiliki pendapatan dibawah gaji minimal yang telah ditentukan. Pekerjaan kontrak jangka pendek akan memiliki dampak negatif terhadap tenaga kerja karena hal ini menyebabkan perusahaan untuk tidak melakukan investasi ke human capital dan skill sehingga menyebabkan stagnasi pada kualitas tenaga kerja. Kualitas dari tenaga kerja akan memiliki pengaruh terhadap produktivitas secara keseluruhan yang akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Hukum dan kebijakan mengenai ketenagakerjaan diatur dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003. Undang – undang tersebut terdiri dari 18 bab yang mencakup banyak peraturan, dimulai dari definisi hukum, penetapan gaji, relasi industri, pemutusan kerja, tindakan illegal dalam ketenagakerjaan dan lain – lain. Sistem yang sekarang diterapkan di Indonesia menyebabkan banyak orang untuk sulit mengembangkan karir dan tidak menjamin kestabilan dalam pekerjaan. Hukum yang berhubungan seperti pemutusan kerja, asuransi pengangguran dan pilar lainnya dalam ketenagakerjaan harus dapat dikaji kembali agar dapat mempromosikan pengembangan human capital demi meningkatkan produktivitas dan output.
Kami ini akan menjelajahi regulasi, hukum dan keadaan serta dampak dari sistem ketenagakerjaan di Indonesia. Kami juga akan mengeksplorasi solusi yang mungkin dapat diterapkan untuk meningkatkan fungsi daripada undang – undang ketenagakerjaan di Indonesia.
Undang – undang dan Keadaan Ketenagakerjaan Di Indonesia
Hukum dan regulasi mengenai ketenagakerjaan di Indonesia di atur dalam undang-undang nomor 13 tahun 2003. Undang – undang ini mengandung 18 bab yang mengatur segala aspek dalam dimensi ketenagakerjaan. Aspek yang diatur dalam UUD tersebut secara detail dapat di uraikan sebagai berikut:
- Bab 1: Ketentuan Umum
- Bab 2: Landasan, Asas dan Tujuan
- Bab 3: Kesempatan dan Perlakuan yang Sama
- Bab 4: Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi Ketenagakerjaan
- Bab 5: Pelatihan Kerja
- Bab 6: Penempatan Tenaga Kerja
- Bab 7: Perluasan Kesempatan Kerja
- Bab 8: Penggunaan Tenaga Kerja Asing
- Bab 9 : Hubungan Kerja
- Bab 10: Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan
- Bab 11: Hubungan Industrial
- Bab 12: Pemutusan Hubungan Kerja
- Bab 13: Pembinaan
- Bab 14: Pengawasan
- Bab 15: Penyidikan
- Bab 16: Kentutan Pidana dan Sanksi Administratif
- Bab 17: Ketentuan Peralihan
- Bab 18: Ketentuan Penutup
Pembahasan ini akan fokus kepada bab 10 yaitu perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan, dan bab 12 yaitu pemutusan hubungan kerja. Saya membahas 2 bab ini secara spesifik karena kedua bab ini memiliki pengaruh paling besar dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia.
Bab 10 : Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan
Pada bab 10 terdapat 3 dimensi utama yaitu perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan ketenagakerjaan. Ketiga dimensi tersebut dijabarkan dalam 35 pasal yaitu pasal 67 -101. Pada pembahasan ini kami akan hanya membahas pasal 88 – 98. Pasal 88 – 98 meregulasi beberapa aspek dalam hal kompensasi dan pengupahan, hal ini meliputi upah minimum, upah lembur (overtime), metode pengupahan, penalti pengupahan, sistem perpajakan upah, struktur pengupahan dan upah pesangon. Terdapat beberapa pasal yang kontroversial dalam bab ini seperti pada pasal 89. Pada pasal 89 mengatur kebijakan penentuan upah minimal di Indonesia/ Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa upah minimum dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan hirarki pemerintahan, yaitu, upah minimum tingkat provinsi, provinsi dalam sektor tertentu dan pada tingkat kabupaten / kota. Hal ini menimbulkan adanya perbedaan upah minimal antar provinsi ataupun bahkan dalam satu provinsi yang sama. Disatu sisi, sistem pengupahan ini cukup baik, karena upah disesuaikan dengan biaya hidup pada daerah tertentu, namun sistem ini menyebabkan inefisiensi dan merefleksikan pembangunan yang tidak merata di seluruh Indonesia. Perbedaan upah yang signifikan dapat menyebabkan adanya perpindahan tenaga kerja dan lapangan kerja ke provinsi yang berbeda-beda. Pada saat ini upah minimum tertinggi di Indonesia terdapat di DKI Jakarta dengan nilai Rp 4.267.349 dan terendah dengan nilai Rp 1.705.000 di Kabupaten Gunung Kidul. Hal inilah yang menyebabkan tenaga kerja untuk berpindah – pindah dan menyebabkan stagnasi dalam pertumbuhan dan perkembangan di daerah dengan upah yang dinilai kecil. Hal ini juga dapat menyebabkan eksternalitas seperti daerah tertentu menjadi lebih “overcrowded” seperti Jakarta.
Bab 12 : Pemutusan Hubungan Kerja
Pada bab 12 terdapat 22 pasal (150 – 172) yang mengatur secara mendetail mengenai segala basis dan komplikasi terhadap proses pemutusan kerja di Indonesia. Dalam bab ini kami akan fokus mengenai hukum pesangon di Indonesia. Pesangon adalah upah yang diberikan kepada tenaga kerja jika terjadi pemutusan hubungan kerja. Pesangon tidak diberikan jika tenaga kerja tersebut masih dalam masa testing, meninggal, dan jika tenaga kerja mengundurkan diri tanpa paksaan (pasal 151 ayat 3).
Pasal 156 membahas mengenai struktur dari pesangon. Terdapat 3 upah yang terdapat dalam pembayaran pesangon yaitu upah dasar, upah penghargaan dan upah penggantian hak. Upah dasar dan upah penghargaan didasarkan oleh periode lama pekerja tersebut bekerja. Semakin lama periodenya maka upah tersebut akan menjadi sangat besar sedangkan komponen upah penggantian hak didasarkan oleh lama cuti tahunan yang belum dibayarkan, ongkos pulang, penggantian perumahan, dan perjanjian kerja. Pada scenario terekstrim biaya pesangon yang harus dibayarkan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja sama dengan 12-15 bulan gaji karyawan tersebut.
Hukum ini membuat cost untuk memecat pekerja menjadi sangat mahal karena adanya struktur pesangon. Regulasi ini memiliki objektif untuk melindungi pekerja dan mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja. Namun regulasi ini menyebabkan perusahaan untuk enggan menerima atau menetapkan pekerja full time dan memberikan insentif untuk memperkerjakan para tenaga kerja dengan sistem kontrak.
Implikasi dari Keadaan dan Regulasi Ketenagakerjaan Di Indonesia
Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia adalah sebuah instrumen untuk memastikan dan melindungi hak-hak pemberi kerja maupun pekerja. Hubungan yang baik diyakini dapat memberi manfaat bagi pemberi kerja maupun pekerja sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan. Sampai tingkat tertentu, undang-undang ketenagakerjaan Indonesia dapat dibilang bagus dan mampu dalam mendefinisikan, menentukan, dan menegakkan sistem ketenagakerjaan yang menguntungkan kedua belah pihak. Namun, sistem dalam undang-undang yang ada saat ini cenderung tidak mendorong kemajuan karir dan pekerjaan yang stabil. Beberapa aturan yang mempengaruhi kondisi ini adalah Pasal 89 dan Pasal 156 yang meregulasi perhitungan upah pemutusan kerja. Sistem upah minimum Indonesia saat ini juga tergolong rumit karena adanya 3 jenis upah minimum, yaitu Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK), dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP). Sistem upah minimum ini membingungkan dan menyulitkan bagi perusahaan. Sementara itu, Pasal 156 bertujuan untuk melindungi pekerja dari PHK namun perhitungan upah PHK dinilai tidak seimbang dan lebih menguntungkan pekerja dan memberi risiko besar bagi perusahaan untuk mempekerjakan karyawan dengan jangka panjang. Pemerintah Indonesia juga masih belum efektif dalam menegakkan hukum ketenagakerjaan, hal ini terlihat dari masih banyaknya pekerja anak yang menghantui sistem ketenagakerjaan Indonesia. Hukum-hukum ketenagakerjaan mengenai PHK, kontrak kerja jangka pendek, dan pilar-pilar lainnya perlu untuk dilihat kembali dan direvisi untuk mendorong pembangunan skill dan meningkatkan produktivitas. Jika hukum-hukum ketenagakerjaan ini tidak direvisi maka perusahaan akan tetap mempekerjakan karyawan kontrak jangka pendek, yang membuat stagnasi skill karyawan dan mengurangi pertumbuhan. Hal ini juga merugikan pekerja karena mereka hanya memiliki pendapatan dalam periode tertentu dan setelah periode tersebut berakhir akan ada banyak tenaga kerja yang kesulitan mendapatkan pekerjaan baru.
Solusi yang Memungkinkan
Ada 3 masalah utama yang akan kami bahas. Permasalahan pertama adalah mengenai tingginya jumlah pekerja anak di Indonesia. Mengenai isu ini, penulis meyakini bahwa Indonesia sudah berada pada arah yang tepat dalam hal kebijakan seperti contohnya kebijakan wajib belajar 12 tahun. Regulasi ini sudah cukup efektif, namun penegakan lebih lanjut tetap dibutuhkan untuk terus mengurangi jumlah pekerja anak. Permasalahan kedua adalah sistem upah minimum yang rumit. Menghapus keseluruhan sistem upah minimum tidaklah efektif dan problematik dalam jangka pendek. Melainkan, menurut penelitian yang ditulis Emma R. Allen, Upah minimum sektoral merupakan sistem yang dapat meningkatkan upah minimum hingga 30 persen di daerah-daerah tertentu (citation). Perhitungan yang berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) ini dapat digunakan untuk menciptakan basis untuk beralih menuju collective bargaining. Permasalahan terakhir adalah besarnya upah pemutusan kerja yang memberi resiko besar bagi perusahaan dan mendorong mereka untuk menggunakan kontak jangka pendek dan menurunkan investasi human capital. Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan dan mengevaluasi kembali tingkat upah pemutusan kerja untuk mendorong pekerjaan jangka panjang yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Terakhir, pemerintah perlu untuk terus mendorong kesetaraan jenis kelamin di tempat kerja dengan regulasi-regulasi baru.
Kesimpulan
Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang menampung 264 juta orang, Indonesia merupakan perekonomian terbesar di Asean. Hal ini tersebut direfleksikan dari GDP Indonesia sebesar 3.1 juta dollar amerika (peringkat pertama di wilayah ASEAN). Namun keadaan ketenagakerjaan di Indonesia sangat mengkhawatirkan karena utilisasi dan pertumbuhan perkembangan keadaan pekerjaan sangatlah lambat. Di satu sisi rata -rata upah minimal meningkat dan terjadi penurunan dalam pekerjaan sektor informal, namun hal ini tidak sepenuhnya terlihat positif. Hukum dan regulasi ketenagakerjaan di Indonesia diatur dalam undang – undang nomor 13 tahun 2003. Undang – undang tersebut mengandung 18 bab yang mengatur segala jenis dimensi dalam perspektif ketenagakerjaan. Terdapat 2 bab yang memiliki pengaruh signifikan terhadap lingkungan ketenagakerjaan di Indonesia yaitu bab 10 dan bab 12. Kami menemukan bahwa kedua keadaan kedua peraturan tersebut berkontribusi besar terhadap keadaan ketenagakerjaan pada saat ini. Sistem penentuan gaji minimum yang tidak efektif dan biaya pesangon yang sangat besar menyebabkan kondisi ketenagakerjaan yang sub-optimal. Akibatnya, banyak perusahaan yang mengadakan pekerjaan dengan sistem kontrak jangka pendek yang menyebabkan stagnasi dalam perkembangan human capital dan retannya kepastian dalam memperoleh pekerjaan jangka panjang.