By : Research Division, HIMA ESP FEB UNPAD
Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan adanya kenaikan harga tiket pesawat di berbagai maskapai penerbangan di Indonesia. Hal ini membuat masyarkat resah karna seperti yang telah kita ketahui bahwa transportasi udara ini merupakan kebutuhan penting bagi mereka yang hendak pulang ke kampung halaman, berlibur atau pun urusan yang berkaitan dengan pekerjaan. Sehingga memunculkan protes dan desakan yang berujung munculnya beberapa petisi yang diajukan oleh masyarakat berkenaan dengan fenomena kenaikan harga tiket pesawat ini.
Para petinggi maskapai penerbangan berdalih bahwa kenaikan harga tiket pesawat ini merupakan imbas dari semakin besarnya biaya operasional dalam industri penerbangan tersebut karena pelemahan nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus ditanggung penerbangan domestik. Seperti yang kita ketahui bahwa pada tahun 2019 ini bahwa kondisi perekonomian dunia sedang tidak stabil akibat adanya trade war antara Amerika dan Tiongkok.
Beberapa ekonom di Indonesia berpendapat bahwa tidak hanya biaya operasional maskapai penerbangan dan pelemahan mata uang rupiah yang membuat harga tiket pesawat mengalami kenaikan, tetapi adanya indikasi kartel di industri penerbangan di Indonesia yang membuat persaingan bisnis tak sehat di industri ini. Pendapat tersebut diperkuat dengan jumlah pemain di industri penerbangan Indonesia yang hanya dikuasai oleh dua grup besar, yaitu Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group dan adanya indikasi kebijakan kenaikan dan penurunan tarif pesawat yang dilakukan secara bersama – sama oleh para maskapai.
Oligopoli adalah salah satu bentuk pasar persaingan tidak sempurna dimana penawaran satu jenis barang hanya dikuasai beberapa perusahaan biasanya didominasi oleh lebih dari dua perusahaan tetapi tidak lebih dari sepuluh perusahaan. Dalam pasar oligopoli, setiap perusahaan memposisikan dirinya sebagai bagian yang terikat dengan permainan pasar, di mana keuntungan yang mereka dapatkan tergantung dari tindakan pesaing mereka. Praktik oligopoli umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk ke dalam pasar dan perusahaan melakukan oligopoli sebagai salah satu usaha untuk menikmati laba normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas, sehingga menyebabkan kompetisi harga di antara pelaku usaha yang melakukan praktik oligopoli menjadi tidak ada. Pada umumnya produsen di pasar persaingan Oligopoli aktif melakukan promosi atau iklan karena produk yang dijual di pasar ini sifatnya homogen dan dapat saling menggantikan.Struktur pasar oligopoli umumnya terbentuk pada industri-industri yang memiliki capital intensive yang tinggi.
Ada pun beberapa praktek-praktek oligopoli yang dilakukan perusahaan yaitu kartel. Kartel merupakan suatu kerjasama diantara para produsen independen untuk berusaha menghalau persaingan dan menguasai pasar. Kekuatan pasar memungkinkan produsen untuk mengatur harga dengan cara membuat kesepakatan pembatasan ketersediaan produk di pasar, membatasi produksi, dan membagi wilayah penjualan. Ketersediaan produk yang terbatas dapat menyebabkan kelangkaan, sehingga produsen dapat menaikkan harga untuk menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Berikut dampak negatif kartel.
- Kurangnya pengembangan inovasi karena laba yang diperoleh perusahaan cenderung stabil dan pasti.
- Perusahaan tidak memiliki kebebasan untuk melakukan pengembangan inovasi dan ekspansi usaha karena adanya peraturan yang telah disepakati dalam kartel berikut sanksinya.
- Merugikan masyarakat konsumen, karena kekuatan pasar yang dimiliki kartel mengakibatkan harga tidak stabil dan kartel memiliki kuasa untuk menaikkan harga produk sesuai keinginannya.
- Iklim usaha menjadi kurang kondusif karena ketiadaan persaingan sehat diantara para produsen.
- Mempengaruhi daya beli masyarakat, karena harga produk rentan dan tidak stabil.
- Keuntungan yang diperoleh dan dinikmati oleh produsen anggota kartel dimungkinkan terlalu besar dan berjangka panjang.
- Harga produk yang dikuasai kartel dapat memicu inflasi yang merugikan masyarakat secara makro.
Adapun ragam jenis kartel, salah satumya. Kartel harga, jenis kartel ini bertujuan untuk mengatur harga produk yang diproduksi oleh para produsen yang tergabung dalam kartel. Pada jenis kartel ini ditentukan harga jual minimum produk. Setiap produsen anggota kartel dilarang untuk menjual produknya dengan harga lebih rendah dari harga minimum yang telah ditentukan dan disepakati bersama. Namun, anggota kartel tidak dilarang untuk menjual produknya dengan harga lebih tinggi, dengan catatan segala risiko kerugian jika tidak laku di pasaran menjadi tanggung jawab sendiri. Kartel harga ini merupakan indikasi adanya kartel penerbangan di Indonesia.
Kartel yang paling umum dan terlihat secara langsung adalah OPEC (Oil and Petrolium Expoting Countries) dimana terdapat beberapa anggota dari berbagai negara. OPEC sendiri melakukan kartel harga minyak dengan cara menentukan kuota export dari masing-masing anggota negaranya. Fakta terbaru dari OPEC dan mitranya, koalisi 24 negara yang dikenal sebagai OPEC+, awal tahun ini sepakat untuk mengurangi produksi sebesar 1,2 juta barel per hari karena ekonomi global yang goyah dan booming produksi minyak shale Amerika Serikat (AS) mengancam akan menyebabkan kelebihan suplai global. Kesepakatan itu menggantikan putaran sebelumnya yang dimulai pada Januari 2017. Strategi itu nerupaya keras untuk menopang harga menghadapi prospek pertumbuhan global yang memburuk dan perang dagang yang tampaknya tidak bisa diselesaikan antara AS dan China.
Untuk mencegah terjadinya kartel di Indonesia maka pemerintah pada tahun 2000 mendirikan sebuah lembaga yang mengawasi persaingan para pelaku usaha, yaitu Komisi Pengawasan Persaingan Usaha atau biasa disingkat KPPU. KPPU memiliki tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penilaian dan mengambil tindakan terhadap perusahaan yang melakukan praktik persaingan tidak sempurna. Kasus yang baru-baru ini ditangani oleh KPPU adalah praktik kartel dalam penjualan sepeda motor jenis skuter matic oleh PT Yamaha Indonesia dan PT Astra Honda Motor Indonesia (AHM) yang selanjutnya melalaui pengadilan yang memutuskan untuk menghukum denda kepada keduanya dengan total Rp 47,5 miliar kepada negara.
Saat ini, KPPU mulai menyelidiki kasus dugaan kartel harga setelah masyarakat resah dengan tarif tiket pesawat yang tak kunjung turun, meski masa-masa low season terjadi awal tahun lalu. Walhasil, KPPU menganalisis dugaan persaingan usaha tidak sehat dengan data dan fakta yang terjadi mulai November 2018 lalu. Di dalam kasus ini, KPPU menetapkan tujuh pihak terlapor, yakni Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, NAM Air, Lion Air, Wings Air, dan Batik Air. Ketujuh maskapai itu diduga melanggar pasal 5 dan 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal 5 beleid tersebut mengatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. Sementara itu, pasal 11 menyebut bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan pemasaran suatu barang dan jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Mengutip data CAPA Centre for Aviation, selama ini pangsa pasar terbesar penumpang udara di Indonesia dikuasai oleh Lion Group. Lion dengan tiga bendera maskapainya yakni Lion Air, Batik Air, dan Wings Air, pada 2017 lalu menguasai 50 persen pangsa pasar. Garuda Indonesia Group, melalui Garuda Indonesia dan Citilink ada di posisi kedua dengan pangsa pasar 33 persen. Sedangkan Sriwijaya Group dengan Sriwjaya Air dan NAM Air ada di posisi ketiga dengan market share 13 persen. Indikasi oligopoli di industri penerbangan tercermin dari semakin sedikitnya pelaku usaha penerbangan di tanah air. Sebelumnya pangsa pasar angkutan udara dikuasai oleh tiga grup besar, yakni: Garuda Indonesia, Lion Air Grup, dan Sriwijaya Air Grup. Namun, saat ini persaingan makin sedikit setelah Sriwijaya Grup bergabung dengan Garuda Indonesia melalui kerja sama operasi (KSO) yang sudah dijalin oleh dua perusahaan maskapai itu. Dengan adanya KSO ini, maka sebagian besar aktifitas bisnis dari mulai operasional maupun finansial Sriwijaya diatur oleh Garuda Indonesia lewat anak usahanya Citilink Indonesia. Aktifitas ini jelas mengurangi persaingan di industri penerbangan nasional. Para pemain besar industri ini pun bisa lebih leluasa ‘bersepakat’ mengatur tarif. Persekongkolan kartel makin terlihat ketika pelaku industri penerbangan nasional kompak menurunkan tarif tiket pesawat di waktu bersamaan. Pada 13 Januari, misalnya, sejumlah maskapai penerbangan yang tergabung dalam Indonesia National Air Carrier (Inaca) sepakat menurunkan harga tiket pesawat sebesar 20-60 persen. Berikut data market share dari industri penerbangan di Indonesia.
Warga Aceh misalnya, untuk ke Jakarta mereka lebih memilih terbang ke Kuala Lumpur, Malaysia, terlebih dahulu sebelum ke Ibu Kota. Sebab, harga tiket pesawatnya lebih murah ke negeri jiran terlebih dahulu ketimbang langsung ke Bandara Soekarno-Hatta dengan membandingkan harga tiket untuk keberangkatan Minggu (13/1/2019). Tiket penerbangan dari Banda Aceh menggunakan maskapai Air Asia pukul 11.10 via Kuala Lumpur dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta pukul 19.30 hanya Rp 716.800. Bandingkan dengan penerbangan jam yang sama menggunakan maskapai Lion Air dari Banda Aceh pukul 06.00 WIB via Bandara Kuala Namu, Medan, seterusnya menggunakan maskapai Batik Air dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, pukul 12.20 WIB dengan harga Rp 3.012.800. Maka dari itu, dampak dari jika adanya kartel di penerbangan Indonesia akan merugikan konsumen.
Pertanyaan Untuk di Diskusikan
- Apakah menurut kalian kedua grup besar dari industri penerbangan Indonesia melakukan kartel? Apa buktinya dan kenapa hal tersebut dapat terjadi?
- Apa dampak yang mungkin terjadi jika terdapat kartel industri penerbangan di Indonesia?
- Bagaimana langkah terbaik untuk mengatasinya jika terdapat kartel industri penerbangan di Indonesia?
Kelompok 1 ; Rizky Kusuma Wardana, Fidia, Marchya Andisa, Ujang Riana, M. Dzaki Fahd Haekal, M. Zidan Fauzy, Nurul Dita Nadhilah
Kelompok 2 ; Alex, Hana Hauzia, Aditya Maulana Zaqi, M. Rayhan Devan, Nazhifah Nur Kencana, Sofia Carolina, Zahra Avia, Fiedanty Salsabilla
Kelompok 3 ; Kenang, M. Fauzan Awwabin, Wasistha Maharani, Fizri Nur Azizah, Afifah Nada Kamilah, Noviani, Rifa Kirana, Andiena Fitri Pramastya
Hasil Pemaparan :
- Apakah menurut kalian kedua grup besar dari industri penerbangan Indonesia melakukan kartel? Apa buktinya dan kenapa hal tersebut dapat terjadi?
Kelompok 1 :
KPPU masih menginvestigasi kasus tersebut dan belum merilis hasil, maka menurut kami tidak ada kartel di industri penerbangan di Indonesia. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kenaikan harga tiket, salah satunya adalah variable cost yang semakin mahal akibat implikasi dari rupiah yang terdepresiasi ditengah perang dagang.
Kelompok 2 :
Belum bisa dikatakan ada kartel di industri penerabangan di Indonesia, karena permintaan bersifat elastis dan inelastis. Selain itu, sifat alamiah oligopoli yaitu perusahaan mengikuti perusahaan lain.
Kelompok 3 :
Adanya kartel pada industri penerbangan di Indonesia karena adanya indikasi perubahan harga tiket yang dilakukan bersama-sama oleh pemain di industri tersebut.
- Apa dampak yang mungkin terjadi jika terdapat kartel industri penerbangan di Indonesia?
Kelompok 1 :
Jika terdapat kartel di industri penerbangan di Indonesia maka konsumen akan dirugikan.
Kelompok 2 :
Terjadi inflasi terhadap harga tiket sehingga konsumen dirugikan.
Kelompok 3 :
Mempengaruhi daya beli masyarakat akibat inflasi yang terjadi sehingga merugikan konsumen karna hanya menguntungkan satu pihak, yaitu produsen tersebut.
- Bagaimana langkah terbaik untuk mengatasinya jika terdapat kartel industri penerbangan di Indonesia?
Kelompok 1 :
KPPU mencari bukti dan melaporkan adanya indikasi kartel di Industri penerbangan di Indonesia sehingga pemerintah dapat menjatuhkan sanksi.
Kelompok 2 :
Di sanksi berdasarkan Undang-undang yang berlaku dan membuka pasar industri penerbangan luar negeri untuk masuk agar persaingan industri penerbangan di dalam negeri menjadi sehat kembali.
Kelompok 3 :
Melakukan proses yang lebih intens mengenai penyelidikan adanya indikasi kartel di industri penerbangan Indonesia.