By : Research Division, Hima ESP, FEB Unpad
Keberadaan lajang di seluruh dunia khususnya Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dibahas. Pernahkah kita berpikir mengapa sebagian orang pada usia dewasa memilih atau menjadi lajang? Apakah keberadaan lajang dapat ditinjau dari sudut pandang ekonomi? Jika dapat, bagaimanakah sudut pandang ekonomi memandang keberadaan lajang?
Realita keberadaan lajang saat ini
Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik tahun 2017 menurut provinsi yang ada di Indonesia, sebesar 32,43% penduduk Indonesia berumur 10 tahun ke atas memiliki status perkawinan belum kawin atau disebut dengan lajang. Adapun pesentase terbesar untuk status lajang diraih oleh provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 40,47% dan persentase terkecil untuk status lajang diraih oleh provinsi Jawa Timur sebesar 27,85%. Jika dilihat persebarannya dari usia pemuda berdasarkan data Susenas BPS 2014, mayoritas mutlak sebesar 54,11% pemuda masih berstatus lajang.
Keberadaan penduduk dengan status lajang sebelum usia dewasa atau ideal untuk menikah tidak akan menjadi masalah, karena mereka menghadapi short-run trade-off berupa mengobarkan waktu untuk menunda atau tidak menjalin status pernikahan menikah dengan menggunakan waktu untuk menempuh studi baik dalam pendidikan dasar menengah atau kejuruan, hingga jenjang perkuliahan, bekerja dalam bidang apapun yang dapat menambah penghasilan yang digunakan untuk keperluan dalam jangka pendek hingga jangka panjang nanti yang akan digunakan untuk biaya pernikahan, hingga berbagai jenis biaya yang dikeluarkan ketika sudah memutuskan untuk berkeluarga, ataupun waktu untuk menambah koneksi pergaulan sehingga memiliki pergaulan yang lebih luas lagi, dan lain sebagainya. Status lajang pada setiap penduduk yang berada dalam usia dewasa atau ideal untuk menikah akan menjadi masalah di kemudian hari, seperti berkurangnya jumlah penduduk atau turunnya angka fertilitas, tingginya dependency ratio atau berkurangnya penduduk yang berada dalam usia kerja yang dapat menghambat terjadinya regenerasi dalam suatu negara, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut, dapat terjadi dengan asumsi jika jumlah penduduk yang memutuskan untuk lajang hingga usia produktif perempuan untuk melahirkan berakhir memiliki trend yang meningkat secara signifikan. Lantas, bagaimana sudut pandang ekonomi memandang keberadaan lajang?
Lajang dan asymmetric information
Terdapat berbagai bentuk dari market failure, seperti time-inconsistent preferences, non competitive markets, principal agent problems, externalities, asymmetric information, dan lain sebagainya. Asymmetric information adalah suatu keadaan dimana salah satu pihak memiliki informasi yang berbeda atau memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya, terjadi karena ketidaksempurnaan akan pengetahuan. Dalam bidang ekonomi, asymmetric information sering dikaitkan dengan suatu keadaan dimana penjual memiliki informasi lebih banyak daripada pembeli.
Asymmetric information yang menjadi penyebab keberadaan lajang dapat dijelaskan dengan contoh-contoh sebagai berikut: pihak laki-laki maupun pihak perempuan sama-sama tidak mengetahui riwayat hidup mereka termasuk masa lalu mereka, kondisi kesehatan, keluarga, ekonomi, dan lain sebagainya. Informasi yang juga tidak dimiliki oleh pihak laki-laki maupun pihak perempuan adalah karakter pribadi mereka (apakah mereka dapat menjalin hubungan dengan karakter yang mereka miliki masing-masing atau memiliki chemistry yang sama), merasa tidak layak atau tidak sepadan dengan laki-laki atau perempuan yang diincar (keadaan belum tentu seperti demikian), ketidaktahuan laki-laki atau perempuan yang diincar sudah memiliki pasangan atau belum, rasa malu untuk menyatakan perasaan mereka (rasa gengsi jika perempuan yang menyatakan rasa cintanya, atau rasa malu jika laki-laki tersebut ditolak untuk berpasangan oleh perempuan yang diincarnya, dimana terdapat probabilita bahwa mereka memiliki rasa saling mencintai dan dapat menjalin hubungan sebagai pasangan), ketidaktahuan informasi keberadaan laki-laki atau perempuan yang jumlahnya begitu banyak di lingkungan yang belum terjangkau olehnya karena berada diluar lingkungan sekitar, seperti sekolah atau kampus, dan lain sebagainya (terdapat probabilita bahwa kedua pihak akan cocok ketika menjalin hubungan bahkan hingga ke jenjang pernikahan), dan lain sebagainya.
Lajang dan Ekonomi
Keberadaan lajang selain disebabkan oleh adanya asymmetric information, juga disebabkan oleh status ekonomi ataupun kondisi perekonomian. Menurut Monroe, kaum milenial mengklaim bahwa keberadaan lajang disebabkan oleh kesulitan ekonomi atau preferensi pribadi dan menyatakan bahwa mereka sedang menunggu untuk mendapatkan karier dan stabilitas ekonomi sebelum menikah (Monroe, 2015). Lalu, kekhawatiran akan economic shock dari resesi menyebabkan penurunan dalam tingkat perkawinan. Untuk generasi milenial, ada kekhawatiran bahwa penurunan dalam perkawinan mungkin dapat lebih tajam, karena economic shock dari resesi membuat pernikahan tertunda bagi banyak kaum muda dan tingkat perkawinan akan kembali secara perlahan ke tingkat pra-resesi (Martin et all, 2014). Selain itu, karakteristik tenaga kerja, upah, kemiskinan, dan perumahan ikut menentukan tingkat perkawinan dalam suatu negara. Berdasarkan Gurrentz, menggunakan perkiraan lima tahun (2012-2016) dari Survei Komunitas Amerika di tingkat negara, studi ini menemukan bahwa karakteristik tenaga kerja, upah, kemiskinan, dan perumahan (misalnya, biaya perumahan dan pengaturan hidup) semuanya terkait dengan tingkat pernikahan di antara kaum muda, tetapi ada faktor-faktor dalam setiap kategori ekonomi yang cenderung lebih erat terkait dengan tingkat pernikahan daripada yang lain (Gurrentz, 2018).
Solusi mengatasi lajang
Pada masa sekarang, penggunaan media sosial banyak digunakan untuk berbagai kepentingan, yang mana salah satunya ialah dalam mencari pasangan. Beberapa kaum millenial berpendapat bahwa mencari pasangan melalui media sosial dapat mempermudah dalam menyeleksi individu yang ingin berkenalan dengan mereka. Dengan kata lain, media sosial dapat membantu lajang dalam mementukan pilihan ketika berkenalan dengan orang lain, dimana setiap individu, termasuk lajang memiliki preferensi yang berbeda-beda, khususnya dalam memilih pasangan.
Lajang dalam mencari pasangan melalui media sosial akan memilih secara rasional atau disebut juga dengan “rational” behaviour. Dalam ilmu ekonomi, terdapat konsep “preferensi”: setiap individu yang merasa ketika “A lebih baik daripada B” akan dimasukan dalam pertimbangan, individu tersebut merasa lebih baik dalam situasi A daripada B. Konsep ini dapat menjelaskan bahwa lajang dapat memilih pasangan yang diinginkan sesuai dengan preferensinya melalui media sosial yang salah satu caranya adalah bisa dengan memakai fitur match atau memasukan kategori pasangan yang diinginkan dalam aplikasi khusus mencari pasangan. Ketika hasil dari pencarian menghasilkan banyak individu yang bisa diajak untuk berkenalan, maka lajang yang menggunakan media sosial untuk mencari pasangan akan membandingkan berbagai pilihan yang keluar. Apakah individu “A lebih baik daripada B” dan individu “B lebih baik daripada C”, maka dapat dikatakan bahwa individu “A lebih baik daripada C” atau individu “A dan B sama-sama menarik”. Kemudian daripada itu dalam memilih pilihan, lajang juga dapat memilih individu yang paling mendekati preferensinya, sehingga dapat dijadikan sebagai prioritas pilihan. Dengan begitu, setiap lajang dapat dengan mudah menyeleksi calon-calong pasangan yang diinginkan, tetapi masih sesuai dengan preferensi dan juga tingkah laku rasional sesuai dengan konsep “preferensi” dalam ilmu ekonomi.
Kesimpulan
Keberadaan lajang dalam sudut pandang ekonomi disebabkan oleh terjadinya asymmetric information sebagai bentuk dari kegagalan pasar, status ekonomi individu tersebut, hingga keberadaan perekonomian di negara tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi keberadaan lajang adalah dengan memanfaatkan teknologi, yaitu media sosial atau aplikasi khusus mencari pasangan yang dapat disesuaikan dengan preferensi masing-masing. Dengan kata lain, media sosial sebagai wadah dalam mencari pasangan akan mempermudah lajang dalam menyeleksi calon pasangan, dimana hal ini dapat dijelaskan konsep “preferensi” dalam ilmu ekonomi.
REFERENSI
BPS. (2017). Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun ke Atas menurut Provinsi , Jenis Kelamin, dan Status Perkawinan, 2009-2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Setiawan, A., Ramdani, K. D., & Budiatmojo, E. (2014). Statistik Pemuda Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Nicholson & Snyder. (2010). Microeconomic Theory