The Future of Banking ; FinTech or TechFin ?
Ada banyak gesekan di sekitar hari-hari ini. Bank yang mendapatkan digital dan bank yang tidak; fintech yang ingin mengubah segalanya dan fintech yang tidak; mata uang digital untuk menggantikan mata uang fiat dan mata uang fiat yang akan digital; kehancuran, gangguan dan kekecewaan; dan lainnya. Itu hanya menunjukkan dunia perubahan besar yang kita alami sekarang. Apa yang ada saat ini adalah perubahan besar untuk semuanya. Ini adalah revolusi keempat kemanusiaan itu sendiri. Cara hidup, berhubungan, berdagang, dan berpikir secara fundamental beralih ke konektivitas digital alih-alih konektivitas fisik. Inilah sebabnya mengapa ada begitu
banyak gesekan.
Sampai akhir abad ke-20, bahkan saat Christensen menulis teori disrupsi (1997), business model bank di seluruh dunia masih sama. Secara singkat, Core System perbankan konvensional diolah oleh kekuatan internal dan menjadi sebuah tradisi yang turun-temurun. Data dan sistem tersebut berkembang dengan kemampuan mereka. Secara tidak langsung, bank menerima titipan uang dari nasabah, lalu diputar melalui usaha-usaha perbankan. Bank memberi pinjaman dan memungut jaminan serta biaya. Dengan pengelolaan dan hak kepemilikan terhadap asset.
Namun, perkembangan dunia dalam mengenal internet, yang biasa dipakai untuk kegiatan komersial (Web 2.0), memunculkan berbagai jenis cara-cara baru. Semua orang bisa berjejaring tanpa kantor, tanpa jaminan, tanpa asset. Internet merupakan inovasi manusia cikal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini secara tidak langsung mengubah fondasi kehidupan dan konsumsi. Efektif dan efisien merupakan tujuan utama. Kebutuhan manusia yang berkembang layaknya deret geometri dan sumber daya yang layaknya barisan aritmatika. Benar, kelangkaan, yang tidak sebatas perkembangan barang dan jasa juga kelangkaan atas pemikiran rasional manusia menentukan masalah kelangkaan berikutnya,
Bertambah dan semakin rumit, tidak terprediksi bagaikan koin mata uang yang dipandang hanya nilainya dan tidak dapat dikenal jika salah kaprah. Mari kita istilahkan Bank Tradisional sebagai Gajah. Gajah merupakan hewan besar, dengan bagian tubuh berharga, kokoh, berwibawa namun susah diajak untuk menari, Seperti itulah bank-bank konvensional, tidak berbeda dengan perusahaan manufaktur yang sudah lebih dari 25 tahun atau hotel-hotel branded, airlines bintang lima, retail atau taksi konvensional dalam mengahadapi era disrupsi. Semua kini dituntut bertransformasi.
Bagaikan seekor Gajah yang Kokoh, Kuat dan Perkasa namun susah untuk diajak berlari. Sama halnya dengan Bank Konvensional bagaikan kaki gajah yang dengan mudah mendapatkan dana dan menyalurkannya kembali menggunakan belalainya. Namun, Gajah – gajah besar tersebut mulai dikerubungi burung-burung kecil. Mereka mengambil bisnis dari elemen-elemen perbankan semisal remitansi, kredit perumahan, sampai alat pembayaran. Merekalah fintech 1.0 yang hidup dari melemahnya daya saing, dan unbundling perbankan.
Lambat-laun Fintech 1.0, menjadi pasar besar dan mengubah pola perbankan namun mereka besar di luar bank konvensional dengan core system yang berbeda. Mereka melihat pasar dari kekuatan teknologi (AI, APIs, Analitics, VR, Cloud Computing, dan mobility). Kekuatannya pun ada pada jaringan (mempertemukan) dan kemampuan mesin mendeteksi karakter dan kebutuhan nasabah. Wajar kalau mereka merajutnya ke dalam platform, bukan korporasi biasa.
Lantas bagaimana dengan Bank Konvensional besar ? Respon mereka sangat penting dalam hal ini, ditambah dengan berkembangnya zaman yang mengharuskan manusia semakin mudah dan seharusnya masalah peningkatan peran masyarakat pada keberlangsungan keuangan di Indonesia sudah dengan mudah terselesaikan. Namun, data menunjukkan di tahun 2014, terdapat 64 % dari total penduduk Indonesia yang kurang beruntung dan belum memiliki akses jasa keuangan formal (Unbanked Population). Bank Konvensional pastinya berusaha mengembangkan peran mereka pada masalah kepuasan konsumen denga mengadopsi nilai teknologi. Tetapi jalurnya bukanlah Fintech melainkan Techfin.
A. Fintech
Sebenarnya apakah Fintech, mengapa sangat penting dan sering menjadi sumber permasalahan yang terjadi di Indonesia, khususnya. Bukan hanya pada masalah Ekonomi, juga Politik, Hukum, HAM, Pertahanan,dan banyak hal. Fintech (teknologi keuangan) bisa diseret dari perkembangan sejarah yang panjang. Terkadang dikaitkan dengan aplikasi seluler seperti mobile banking atau uang seluler. Tujuan dari pembangunan ekonomi ini adalah untuk mencapai masyarakat tanpa uang tunai. Teknologi memainkan peran kunci yang sangat penting di sektor keuangan. Mengutip dari Forbes, 65 tahun terakhir menjadi titik kunci utama pengembangan inovasi berkelanjutan. (Desai, 2016).
Upaya pertama yang terkenal untuk menciptakan inklusi keuangan dan masyarakat tanpa uang tunai terjadi pada 1950-an ketika kartu kredit diperkenalkan untuk meringankan beban membawa uang tunai. Pada 1960-an, ATM diperkenalkan untuk menggantikan teller dan cabang. Namun, perdagangan saham elektronik pertama dimulai pada 1970-an. Sistem pencatatan yang lebih maju diperkenalkan di dunia perbankan pada 1980-an. Pada 1990-an, model bisnis Internet dan e-commerce berkembang pesat. Hasilnya adalah pengenalan situs pialang saham online yang ditujukan untuk investor ritel, menggantikan model pialang saham ritel yang digerakkan oleh telepon.
Melalui beberapa dekade pengembangan, teknologi keuangan menjadi menyusup ke dalam kehidupan kita sehari-hari dan digunakan setiap hari. Selama lebih dari lima dekade, perkembangan fintech juga mengembangkan manajemen risiko yang lebih komprehensif, pemrosesan perdagangan, manajemen keuangan, dan alat analisis data di tingkat kelembagaan, baik di sektor perbankan dan perusahaan jasa keuangan. Melalui beberapa dekade pengembangan, teknologi keuangan menjadi menyusup ke dalam kehidupan kita sehari-hari dan digunakan setiap hari. Selama lebih dari lima dekade, perkembangan fintech juga mengembangkan manajemen risiko yang lebih komprehensif, pemrosesan perdagangan, manajemen keuangan, dan alat analisis data di tingkat kelembagaan, baik di sektor perbankan dan perusahaan jasa keuangan. Ada beberapa bukti mengenai perkembangan sektor keuangan seperti perusahaan fintech besar yang telah membangun infrastruktur kelembagaan (Thomson Reuters, Sun Gard dan Misys).
B. TechFin
Lantas sama dengan Fintech, techfin berkembang dengan arah yang sama ialah perkembangan teknologi dengan perbedaan berdasarkan institusi yang memegang. TechFin, digunakan sebagai perbandingan pada ‘FinTech’. Mungkin banyak berasumsi bahwa itu berarti Teknologi Keuangan, tetapi Google bahkan tidak tahu apa artinya itu dan malah menunjukkan banyak halaman yang terkait dengan FinTech .
Istilah ini berawal dari Jack Ma, pendiri dan ketua eksekutif Alibaba Group. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di People’s Daily pada Juni 2013, ia menyatakan sebagai berikut: “There are two big opportunities in future financial industry. One is online banking, all the financial institutions go online; the other one is internet finance, which is purely lead by outsiders.”
Dia tidak secara eksplisit menyebutkan perbandingan antara FinTech dan TechFin dalam kutipan ini. Namun, tiga tahun kemudian, dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan oleh South China Morning Post ia menggunakan istilah TechFin : “Fintech takes the original financial system and improves its technology. TechFin is to rebuild the system with technology. What we want to do is to solve the problem of a lack of inclusiveness.”
Jadi apakah kesimpulannya ?
Techfin merupakan perkembangan teknologi beserta perubahan atas efisiensi terhadap pelayanan keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan kepuasan dan kemudahan masyarakat mengakses layanan dan produk layanan jasa keuangan dengan memerhatikan perkembangan teknologi. Lebih lanjut, Techfin bertujuan untuk membangun kembali sistem yang ada dengan teknologi untuk menyelesaikan permasalahan inklusifitas.
C. Peran Bank Tradisional pada Perkembangan Fintech ATAU Techfin
Industri perbankan mengalami gangguan dengan laju yang meningkat. Selama beberapa
tahun terakhir, lembaga keuangan tradisional dan perusahaan fintech non-tradisional telah mulai memahami bahwa kolaborasi mungkin merupakan jalan terbaik untuk pertumbuhan jangka panjang. Pada saat yang sama, perusahaan teknologi besar menawarkan jasa keuangan, menciptakan solusi techfin.
Dasar pemikiran untuk kolaborasi adalah kemampuan untuk menyatukan kekuatan bank dan perusahaan fintech bersama-sama untuk menciptakan entitas yang lebih kuat daripada yang bisa dihasilkan oleh masing-masing unit. Bagi sebagian besar organisasi fintech, keunggulan utama adalah pola pikir inovasi, kelincahan (kecepatan untuk menyesuaikan), perspektif yang berpusat pada konsumen, dan infrastruktur yang dibangun untuk digital. Ini adalah keuntungan yang tidak dimiliki kebanyakan lembaga keuangan lama. Atau, sebagian besar lembaga perbankan memiliki skala, pengakuan merek yang lebih kuat dan kepercayaan yang mapan. Mereka juga memiliki modal yang memadai, pengetahuan tentang kepatuhan terhadap peraturan, dan jaringan distribusi yang mapan.
Menurut World Fintech Report 2018 dari CapGemini dan LinkedIn, bekerja sama dengan Efma, “Sebagian besar perusahaan fintech yang sukses telah berfokus pada fungsi atau segmen yang sempit dengan tingkat gesekan yang tinggi atau yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan tradisional, tetapi telah berjuang untuk menghasilkan skala keuntungan sendiri. Lembaga keuangan tradisional memiliki basis pelanggan yang luas dan kantong yang dalam, tetapi dengan sistem warisan yang menahannya. Tantangannya adalah kemampuan untuk membangun sebuah lingkungan di mana kolaborasi dapat berkembang sebagai lawan untuk menahan atribut penerima dari masing-masing mitra.
Pertanyaan Untuk Didiskusikan
- Bagaimana layanan keuangan konvensional saat ini bergeser ke layanan berbasis teknologi keuangan ?
- Seperti apa potensi risiko yang mungkin terjadi dari perkembangan besar-besaran atau proliferasi industri fintech ?
- Bagaimana langkah terbaik dalam mengembangkan Youth Inclusion pada sektor keuangan melalui Fintech atau Techfin ? Keyword : Unbanked Population
- Jika anda diberikan pilihan, manakah yang lebih baik, Fintech or Techfin ? Apakah langkah selanjutnya dalam mengusung nilai kesinambungan ?
Kelompok 1 ; Afifah Nada Kamilah, Aditya Maulana Zaqi, Daffarel Putra, Adian Ramadhan, Nazhifa Nur Kencana, Dzaki Fahd Hakeal, Hana Fauza.
Kelompok 2 ; Aurellia Puteri Arfita, Tiara Handita, Shania Puteri Azaria, M. Nadif Ardana, Fauzzan Awabin, Harsa Pratama, Shania Puteri Azaria, Zora Amanda Faisa.
Kelompok 3 ; Nurul Dita Nadhilah, Salsabila Kusuma Wardani, Trisha Devita Indraswari, Fariza Zahra Indraswari, Fariza Zahra Kamilah, Patron
Hasil Pemaparan
- Bagaimana layanan keuangan konvensional saat ini bergeser ke layanan berbasis teknologi
keuangan ?
Kelompok 1 :
Kami merasa dimudahkan dengan adanya layanan keuangan berbasis teknologi dibanding dengan layanan keuangan konvensional
Kelompok 2 :
Praktis, kemudahan dalam penggunaan aplikasi dan mempersingkat waktu menjadi titik kelebihan dari layanan keuangan berbasis teknologi
Kelompok 3 :
Kelompok 3 memaparkan bahwa layanan keuangan konvensional harus dapat berinovasi untuk berkompetisi dengan layanan keuangan online. Kelompok ini menyarankan lembaga keuangan konvensional untuk membuat produk digital dengan pendekatan offline melalui teknologi aksesoris untuk dapat bertranskaski tanpa menggunakan handphone.
- Seperti apa potensi risiko yang mungkin terjadi dari perkembangan besar-besaran atau
proliferasi industri fintech ?
Kelompok 1 :
Layanan keuangan berbasis teknologi menimbulkan banyak risiko diantaranya menciptakan masyarakat yang konsumptif, defaulting, cyber crime (pencurian data) dan suku bugga yang tinggi dibanding layanan keuangan konvensional.
Kelompok 2 :
Cyber crime menjadi resiko utama yang pada layanan keuangan berbasis teknologi. Tidak terdapatnya bentuk fisik dan wawasan yang minim tentang teknologi, masyarakat awam akan rawan terkena resiko hacking,
Kelompok 3 :
Kelompok 3 menenkankan bahwa layanan keuangan teknologi dapat menyebabkan unemployment pada bidang tersebut karena para pekerjanya diganti dengan mesin (automation)
- Bagaimana langkah terbaik dalam mengembangkan Youth Inclusion pada sektor keuangan
melalui Fintech atau Techfin ? Keyword : Unbanked Population
Kelompok 1 :
Kelompok 1 berfokus pada peningkatan sosialisasi fintech di Indonesia sebagai salah satu solusi, selain itu standarisasi pada regulasi dan mengembangkan wawasan generasi muda terhadap fintech juga menjadi kunci utama dalam menyelesaikan masalah ini.
Kelompok 2 :
Kelompok ini menyarankan adanya campaign dengan skala nasional melalui sosialisasi, iklan dan promosi.
Kelompok 3 :
Kelompok 3 menyarankan adanya sosialisasi secara mendalam ke penjuruh daerah untuk meningkatkan wawasan masyarakat tentang keberdaan fintech
- Jika anda diberikan pilihan, manakah yang lebih baik, Fintech or Techfin ? Apakah langkah
selanjutnya dalam mengusung nilai kesinambungan ?
Kelompok 1 :
Kelompok 1 menjelaskan kelebihan dari masing – masing layanan keuangan tersebut. Fintech mempermudah banyak orang dan praktis, namun harus ada regulasi yang pasti untuk melindungi konsumen. Tech fin lebih terjamin dari sisi keamanannya dan mekanisme simpan pinjam. Selain itu mereja juga memaparkan 4 poin utama dalam mengembangkan fintech yaitu; sosialisasi, inovasi, regulasi dan kolaborasi
Kelompok 2 :
Kelompok 2 lebih cenderung memilih fintech karena lebih praktis
Kelompok 3 :
Fintech diangap lebih baik karena lebih luas, menyeluruh dan baik. Mereka juga memaparkan Sosialisasi secara menyeluruh dengan pendekatan adaptif terhadap kalangan masyarakat yang berbeda mulai dari kelas atas, menengah dan bawah