EKSTERNALITAS KONSUMSI ROKOK: MEROKOK ATAU TIDAK MEROKOK?

“Take care of the children, tobacco will kill you, and I am living proof of it”

-Wayne McLaren/Marlborro Man

 By: Anindito Widiatmojo e!17

Keberadaan industri rokok di seluruh dunia khususnya Indonesia merupakan hal yang menarik  untuk dibahas. Pernahkah kita berpikir mengapa sebagian orang memilih untuk merokok? Apakah industri rokok memiliki dampak yang besar dari sisi kesehatan dan ekonomi? Jika ada, bagaimanakah dampak yang dihasilkan oleh industri tersebut ?

Realita keberadaan rokok saat ini

Perlu kita ketahui bersama bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat konsumen rokok tertinggi ketiga di dunia setelah India dan China (WHO) dengan persentase 36,3% atau lebih dari sepertiga penduduk Indonesia pada tahun 2017 menjadi perokok. Nila Moeloek selaku Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada saat membuka Indonesian Conference on Tobacco or Health pernah mengungkapkan bahwa sekitar 20% remaja berusia 13-15 tahun adalah perokok. Salah satu tokoh lainnya yang merupakan anggota Komisi Nasional Pengendalian Tembakau juga mengungkapkan terkait statistik perokok di Indonesia yaitu Fuad Baradja, yang pada tahun 2010 pernah mengatakan bahwa 70% perokok di Indonesia tergolong sebagai kelompok masyarakat miskin yang lebih mengutamakan membeli rokok ketimbang susu dan makanan bergizi lainnya untuk anak mereka dan menjadikannya prioritas belanja mereka setelah beras adalah rokok.

Cost yang dikeluarkan dalam konsumsi rokok paling murah di Indonesia adalah Rp  5.833 per bungus (20 batang rokok)    dengan    merek    Menara    9    dan    Pelangi.  Sedangkan,   paling    mahal    adalah    Marlboro    dengan    harga sebesar   Rp   28.333   dan yang  paling  banyak  terjual di  Indonesia  adalah  Gudang  Garam  dengan  harga rata-rata   sebesar   Rp   21.666.   Harga   rata-rata   ini adalah harga yang dijual secara retail dan biasanya memiliki  tingkat  harga  yang  berbeda-beda  di  tiap pedagang retail (WHO, 2017). Data lainnya yang berasal dari Riset Kesehatan Dasar 2013 mengungkapkan bahwa 48,4 juta perokok di Indonesia rata-rata menghabiskan 12 batang rokok tiap hari. Cost yang dikeluarkan untuk rokok setiap hari adalah sebesar Rp 605 miliar atau jika diakumulasikan menjadi Rp 221 triliun per tahun.

Masyarakat Indonesia, berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2016 juga mengalokasikan pengeluaran rokok sebagai ketiga terbesar yaitu 13,8% setelah makanan-minuman jadi dan padi-padian sebesar 29% persen, dan padi-padian 14% persen.

Eksternalitas dan dampak dari rokok

Konsumsi rokok selalu diperdebatkan baik oleh masyarakat maupun pemerintah, karena telah berkontribusi terhadap penerimaan bea cukai dan lapangan pekerjaan. Industri rokok pada tahun 2015 menyumbang lapangan pekerjaan untuk 6,1 juta orang dan berkontribusi terhadap penerimaan bea cukai sebesar 152, 79 triliun rupiah pada tahun 2017.

Di sisi lainnya, eksternalitas dari industri rokok jauh lebih besar dibandingkan dengan benefit yang diperoleh dari industri merokok berupa dampak negatif terhadap    kesehatan    pengguna    rokok.    Rokok merupakan    faktor    utama    yang    menyebabkan terjadinya     osteoporosis,     kebutaan,     impotensi, kehilangan  gigi,  diabetes, mengurangi  kesuburan, katarak,   infeksi   mata,   asma,   pennyakit   jantung  kardiovaskular,    melemahnya    fungsi    paru-paru, berkurangnya      pertumbuhan      paru-paru,      dan aterosklerosis   (Egbe,   Petersen,   &   Weitz,   2016).

Dengan       banyaknya       penyakit       yang       ditimbulkan   dari perilaku   merokok   maka   pasti   akan mengeluarkan    biaya    yang    tidak    sedikit    untuk pengobatan.     Selain     kerugian     kesehatan     dan kerugian  ekonomi  dari  penyakit  yang  ditimbulkan, konsumen  harus  mengeluarkan  biaya  yang  tidak  sedikit   untuk   membeli   rokok.

Berikut adalah kerugian akibat konsumsi rokok menurut Kementerian Kesehatan pada tahun 2015:

Tabel Kerugian Akibat Konsumsi Rokok Tahun 2015

Jenis kerugian: (dalam triliun rupiah)
Total kehilangan tahun produktif (morbiditas, disabilitas, dan kematian dini) 347,06
Belenja kesehatan total (rawat inap) 13,67
Belanja kesehatan total (rawat jalan) 0,05
Belanja rokok 208,83
Total kerugian makro ekonomi 596,61

Sumber: Balitbang Kementerian Kesehatan

Perspektif ilmu ekonomi terhadap perilaku merokok

Sepuluh prinsip ilmu ekonomi yang dikemukakan oleh Gregory Mankiw, tiga diantaranya adalah: prinsip pertama yaitu “People face trade offs”, prinsip ketiga yaitu “Rational people think at the margins”, dan prinsip keempat yaitu “People respond to incentives”

Teori neoklasik mengajarkan bahwa individu berusaha untuk memaksimalkan utilitasnya. Bagi pecandu perokok, mungkin dengan merokok mereka mendapatkan kepuasan berupa ketenangan. Dengan berpengang pada prinsip “People face trade offs”, mereka yang tidak merokok justru beranggapan bahwa perokok telah  mengorbankan uang yang dimilikinya yang seharusnya dapat digunakan untuk beramal, meningkatkan utilitasnya dengan rekreasi, dan lain sebagainya. Dilihat dari sisi waktu, mereka telah mengorbankan waktu untuk merokok yang seharusnya dapat dipakai untuk hal lainnya.

Dengan berpengan pada prinsip“Rational people think at the margins” berarti orang yang rasional seharusnya melakukan segala sesuatu dengan marginal benefit > marginal cost. Pecandu rokok merasa bahwa utilitas yang dia dapat dari merokok sebagai benefit lebih besar daripada cost yang mereka keluarkan untuk membeli rokok (dengan asumsi cost lainnya tidak diperhitungkan). Bagi mereka yang bukan perokok justru menganggap bahwa merokok memiliki marginal benefit yang jauh lebih kecil dibandingkan dari marginal cost terhadap perokok aktif berupa cost yang dikeluarkan untuk membeli rokok, dan risiko kesehatan yang dialaminya bersama dengan perokok pasif, serta pemerintah yang menanggung biaya BPJS, dan lain sebagainya. Hal ini menjadi dasar pemikiran bahwa mengonsumsi rokok merupakan perbuatan yang tidak rasional.

Dengan berpegang pada prinsip “People respond to incentives” berarti orang seharusnya melakukan segala sesuatu yang mendatangkan insentif atau manfaat bagi kita. Bagi pecandu rokok, merokok mendatangkan insentif berupa kepuasan yang dihasilkan dari konsumsi dan menganggap telah berkontribusi dalam meningkatkan pendapatan bea cukai dan lapangan pekerjaan. Mereka yang bukan pecandu rokok melihat bahwa rokok tidak mendatangkan insentif sama sekali selain dari komplikasi penyakit yang ditimbulkan dari rokok.

Bagaimanakah solusi mengatasi eksternalitas negatif yang dihasilkan dari rokok?

  1. Teorema coase atau mengatasi dampak dari eksternalitas dapat dilakukan dengan cara negoisasi antara pihak-pihak yang terkait untuk bersama-sama mencari solusinya. Dengan mengacu pada teorema coase, pecandu rokok dengan perokok pasif dapat saling bernegoisasi dengan cara perokok pasif mengingatkan pecandu rokok kalau dia terganggu akibat asap rokok dan menyuruhnya untuk menjauh. Cara ini umumnya tidak terlalu efektif, karena pecandu rokok tidak peduli dengan keberadaan perkokok pasif bahkan bisa saja malah memarahinya.
  2. Regulasi Pemerintah atau kebijakan yang ditetapakan pemerintah. Pemerintah dalam hal ini harus lebih tegas lagi untuk menerapkan peraturan pelarangan merokok di depan umum atau ekstrimnya adalah melarang keberadaan industri rokok di negara tersebut, seperti Singapura, Selandia Baru, Norwegia, dan lain sebagainya. Cara ini rawan ditentang oleh berbagai elemen masyarakat, Asosiasi Rokok, dan lain sebagainya.
  3. Pajak perorangan pada perokok mungkin tidak dapat dilakukan karena banyaknya jumlah perokok dan pengawasannya sulit, tetapi pemerintah dapat memberikan pajak yang lebih tinggi lagi kepada pabrik-pabrik rokok. Dengan demikian, harga rokok pasti akan semakin tinggi yang diharapkan adalah pecandu rokok akan mengurangi jumlah konsumsi rokoknya. Cara ini juga memiliki hambatan, karena rokok sebagai barang yang tergolong inelastis sempurna.

Kesimpulan :
Sesungguhnya perilaku merokok menghasilkan eksternatilas negatif bagi perokok pasif, tetapi perokok pasif tidak dap123456789at mengeliminasi pilihan-pilihan orang yang merokok dalam hal memperoleh utilitas, begitu juga sebaliknya, perokok aktif seharusnya tidak merokok di sembarang tempat.

“Merokok adalah pilihan. Dan kamu bebas memilih, hanya saja jangan sampai terlambat”

Referensi:

https://nasional.tempo.co/read/875384/menteri-kesehatan-sepertiga-penduduk-indonesia-perokok

http://www.tcsc-indonesia.org/70-persen-perokok-tergolong-miskin/

https://www.viva.co.id/berita/bisnis/988881-cukai-rokok-akhir-2017-selamatkan-penerimaan-negara

https://lifestyle.kompas.com/read/2017/03/07/120000923/belanja.rokok.jadi.pengeluaran.terbesar.ketiga.setelah.pangan.

http://jurnal.iseibandung.or.id/index.php/ier/article/view/23/13

http://nationalgeographic.co.id/berita/2018/01/kerugian-ekonomi-di-balik-konsumsi-rokok-indonesia-capai-600-miliar

http://ferryfebub.lecture.ub.ac.id/files/2013/01/Bagian-V-Teori-Eksternalitas.pdf

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s