By : Mizan Hakim
Setnov merupakan mantan ketua golkar dan Setya Novanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan e-KTP. Novanto didakwa menerima duit total USD 7,3 juta. Terdakwa baik secara langsung maupun tidak langsung melakukan intervensi dalam proses penganggaran dan pengadaan barang jasa paket pekerjaan penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan (NIK) secara nasional dan terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (https://news.detik.com/berita/d-3768317/setya-novanto-didakwa-terima-duit-korupsi-e-ktp-usd-73-juta).
Kasus korupsi pengadaan e-KTP dampaknya tak hanya merugikan keuangan negara. Tindak pidana tersebut juga merenggut hak konstitusional masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dalam pesta demokrasi. Sebab, e-KTP menjadi salah satu syarat warga negara mendapatkan haknya dalam pemilu. Dampak korupsi e-KTP bukan hanya menyoal kerugian negara, atau soal marwah kita dalam mengelola negara yang melibatkan eksekutif dan legislatif. Lebih dari itu, berdampak pada kejahatan hak elektoral warga Negara.
Sekarang pertanyaannya apa yang membuat Setnov melakukan hal yang merugikan tidak hanya pada masyarakat melainkan juga terhadap system demokrasi Negara?
Secara umum kita berfikir alasan Setnov yang merupakan saudagar untuk korupsi adalah karena tingkat marginal utility (tingkat kepuasan) yang melanggar hukum Diminishing of Marginal Utility, tetapi sebenernya ada teori yang dapat menjelaskan lebih lengkap mengapa setnov korupsi dari sudut pandang ekonomi.
Tindakan kejahatan yang dilakukan oleh Setnov dapat dilihat dari teori rasionalitas kejahatan, yaitu bagaimana suatu perilaku menyimpang atau kejahatan merupakan sesuatu yang dilakukan secara rasional. Ada dasar pertimbangan seseorang untuk melakukan kejahatan dimana proses keputusannya sama dengan seperti dalam bentuk perilaku normal. Setiap orang dapat dipandang memiliki kemampuan yang rasional dalam mengambil suatu keputusan. Teori rasionalitas kejahatan banyak mengadopsi teori ekonomi dan sosial tentang harapan rasional atas suatu tindakan.
Rasionalitas merupakan suatu pertimbangan atas kesadaran terhadap suatu pilihan bagi seseorang untuk bertindak atas dasar preferensi (nilai, utilitas). Setiap orang berusaha memaksimumkan benefit dan meminimumkan resiko. Aspek-aspek yang menjadi pertimbangan dalam tindakan rasional adalah :
- Kelangkaan Sumber daya
- Biaya opportunitas
- Norma-norma institusional :keluarga, peer group dll
- Akses informasi
Untuk melakukan tindakan rasional seseorang melakukan :
- Utilitas dimaksimumkan
- Preferensi distruktur
- Keputusan dilakukan dengan meminimalkan resiko
- Individu sebagai sentral
Seorang penjahat sebelum melakukan perbuatannya melakukan evaluasi menyangkut:
- Probabilita untuk ketahuan dan tertangkap
- Seriusitas penghukuman yang mungkin dijatuhkan
- Nilai potensial dari jaringan kejahatan yang ada
- Kebutuhan jangka pendeknya terhadap hasil kejahatan
Penentunya adalah banyaknya informasi dan persepsi pelaku terhadap perbuatan jahat tertentu. Kapan seseorang tidak melakukan kejahatan? Jika pendapatan yang diperoleh dari hasil kejahatan di masa depan akan menurun, kesempatan untuk memperoleh penghasilan secara legal tetap tersedia.
Beberapa asumsi yang digunakan dalam rasionalitas kejahatan :
- Manusia adalah mahluk rasional
- Rasionalits mencakup kalkukasi tujuan dan cara
- Kebebasan memulih menjadi penjahat atau tidak tergantung pada kalkulasi rasionalitas
- Analisis B/C
- Setiap pilihan adalaj memaksimumkan benefit
- Pilihan dikontrol oleh persepsi dan pemahaman tentang resiko/hukuman
- Negara bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban melalui sistem hukum yang rasional
- Ringan, berat dan keasptian hukum merupakan unsur kunci dalam mengontrol pilihan jahat
Dalam pengambilan keputusan atas suatu tindakan kejahatan, seseorang yang berpikir rasional akan berpikir nilai harapan (expected value) yang diperoleh dengan menganalisis nilai benefit/cost yang diperoleh. Hal yang perlu diperhatikan adalah Tindakan Subjektif (TS) yang dilakukan oleh si pelaku kejahatan yang terdiri dari :
- Nilai keuntungan dari melakukan tindakan kejahatan (Nk)
- Probabilitas/tingkat keberhasilan melakukan kejahatan (Pk)
- Nilai risiko dari melakukan tindakan kejahatan (Nr)
- Probabilitas/tingkat kegagalan dalam melakukan kejahatan (Pr)
Sehingga bisa dirumuskan sebagai berikut :
TS = (Pk x Nk) – (Pr x Nr)
Misalkan Setnov, yang bekerja sebagai PNS, memiliki gaji Rp10 juta/bulan . Dia lalu ditunjuk untuk menjadi ketua di Partai Golkar, dan mengerjakan sebuah proyek sebesar 100M. Dia berfikir bahwa apabila dia melakukan penggelapan dana bersama dengan temannya, dia akan memperoleh kick back sebesar 20%. Tetapi jika dia ketahuan dalam hal melakukan penggelapan dana tersebut, maka seluruh asetnya yang sebesar 50M akan diambil oleh pihak yang berwenang. Jadi penggelapan dana yang dilakukan oleh Setnov menghasilkan Tindakan Subjektif (TS) yang dapat dihitung apabila jika probabilitas dia berhasil melakukan tindakan penggelapan dana tersebut tanpa ketahuan sebesar 80%, dan ketahuan sebesar 20%. Sehingga
TS = (Pk x Nk) – (Pr x Nr)
= (0,8 X 100M(20%)) – (0,2 X 50M)
= 16M – 10M
= 6M
Bagi Setnov, jika ia berfikir sejauh itu, ia akan berpikir bahwa jika ia melakukan tindakan kejahatan yaitu penggalapan dana sebesar 100M, maka ia akan memperoleh Tindakan Subjektif sebesar 6M. Hal ini akan menjadi pertimbangan bagi Setnov dalam melakukan tindakan kejahatan. Selama Tindakan Subjektif (TS) lebih besar dari 0, biasanya pelaku kriminal berani mengambil resiko untuk melakukan tindakan kejahatan tersebut. Tetapi jika Tindakan Subjektif (TS) kurang dari 0, pelaku kriminal akan lebih berhati-hati dalam melakukan tindakan kejahatan. Dia akan berusahan meminimalisir probabilitas/tingkat kegagalan dalam melakukan tindakan kejahatan.
Adapun langkah pencegahan tindak korupsi yaitu:
- Mendorong penggunaan sistem pemerintahan berbasis elektronik (e-government) di daerah.
- Kementrian dan lembaga berkolaborasi dalam mencegah adanya korupsi.
- Peraturan pemerintah (ini berfungsi untuk memastikan kolaborasi yang lebih efektif tanpa mengurangi independensi KPK) yang tepat untuk mengakomodasi kolaborasi pencegahan korupsi antara KPK dengan pemerintah.
Lalu jika pencegahan tidak berhasil maka diperlukan aksi penindakan yaitu siapapun yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi akan ditindak oleh lembaga independen ini tanpa terkecuali. Tentunya pelaksanaan proses peradilan dilakukan sesuai dengan mekanisme sistem peradilan di Indonesia dan berdasarkan hukum dan undang-undang yang berlaku.
Jadi dalam pandangan ekonomi Setya Novanto Tindakan Subjektifnya lebih besar dari 0 maka menurut teori biasanya dia berani mengambil resiko tersebut dalam melakukan tindak kejahatan korupsi E-KTP. Jika Tindakan Subjektifnya kurang dari 0 maka menurut teori biasanya Setnov lebih berhati-hati lagi dalam melakukan tindak kejahatan dengan cara meminimalisir tingkat Probabilitas kegagalan (Pr).
Sumber
- https://nasional.kompas.com/read/2018/03/05/15294561/pencegahan-korupsi-dianggap-lebih-efektif-jika-kementerian-dan-lembaga
- https://guruppkn.com/upaya-pemberantasan-korupsi