By: Muhammad Dzaki Fahd Haekal e!17
Dalam Waktu Enam Tahun Terakhir Suriah telah diporak porandakan oleh perang sipil yang brutal. Perang sipil tersebut telah membawa kehancuran dan keputusasaan kepada Suriah. Perang yang berawal dari demonstrasi massa yang damai berubah menjadi perang sipil multi-faksi. Bagi kebanyakan orang perang sipil di Suriah merupakan hasil dari kekecewaan rakyat Syria terhadap perpolitikan di Suriah, namun banyak orang yang melupakan faktor ekonomi yang mendorong kenapa perang ini terjadi dan juga dampak secara ekonominya.
Kondisi Ekonomi dan Politik Syria Sebelum Perang
Setelah kematian Presiden Hafez Al-Assad, Bashar Al-Assad menggantikan posisinya sebagai pemimpin Suriah. Setelah ia menjabat sebagai presiden Suriah, ia secara bertahap melakukan proses untuk meliberalisasi ekonomi Suriah, hal tersebut dikarenakan berkurangnya produksi dan cadangan minyak di Suriah yang berdampak langsung pada ketahanan fiskal Suriah. Hal tersebut secara bertahap merubah sistem ekonomi kapitalisme negara yang diimplementasikan oleh Hafez Al-Assad sebelumnya. Perubahan ini ditujukan untuk mendesentralisasi, menderegulasi, dan juga untuk mendiversifikasi sistem ekonomi yang asalnya dikelola oleh negara secara ketat. Liberalisasi yang bertahap ini berhasil menciptakan pembaharuan kebijakan-kebijakan ekonomi seperti pemberian izin terhadap bank-bank swasta untuk beroperasi dan juga pembukaan kembali pasar saham di Damascus setelah tutup selama 40 tahun. Dalam masa awal kepresidenan Bashar Al-Assad ini juga memiliki ekonomi yang stabil dan juga tingkat inflasi yang rendah, dengan tingkat utang berada 31% dari GDP dan pertumbuhan GDP non-minyak berada 4.4% pada tahun 2009. Invetasi asing juga menyumbang 1.3% terhadap GDP Suriah.
Meskipun tingkat inflasi rendah dan juga ekonomi yang stabil, Suriah memiliki masalah dengan kemiskinan dan juga pengangguran. Tingkat kemiskinan di Suriah terus meningkat dari awal tahun 2000 sampai perang sipil pecah pada tahun 2011. Dengan persentase kemiskinan nasional meningkat sekitar lebih dari 16% pada tahun 2006 dan 2007. Dan seperti yang kita tahu dari media, bahwa para demonstran yang akhirnya berubah menjadi pemberontak kebanyakan berasal dari daerah pedesaan. Lalu apa hubungannya dengan kemiskinan dan pengangguran di Suriah? Penting untuk dimengerti bahwa kebanyakan orang dari pedasaan Suriah memberontak terhadap pemerintah Suriah disebabkan oleh kesenjangan ekonomi di Suriah tinggi. Indikator kemiskinan di wilayah pedesaan Suriah lebih tinggi dibandingkan dengan indikator kemiskinan di wilayah perkotaan Suriah, hal tersebut dikarenakan liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh Bashar Al-Assad lebih menguntungkan bagi orang yang tinggal di kota dibandingkan orang yang tinggal di pedesaan. Bukan karena itu saja, penduduk pedesaan yang kebanyakan petani pun terkena imbas yang cukup parah dari kekeringan yang melanda Suriah sebelum perang pecah. Wilayah timur laut Suriah memiliki tingkat kemisikinan terparah dengan perkiraan 15% pada tahun 2007, dan menyumbang lebih dari separuh populasi orang miskin di Suriah. Hal tersebut membuat banyak orang dari pedesaan Suriah pindah ke wilayah pelabuhan atau wilayah perkotaan bagian selatan Suriah dan menjadikan wilayah tersebut menjadi wilayah termiskin di Suriah. Meskipun populasi di wilayah kota dan pesisir meningkat, namun ketersediaan lapangan pekerjaan tidak berubah membuat tingkat pengangguran terus meningkat menjadi 16% pada tahun 2006 dan tahun 2007 dan 22% nya adalah kaum muda. Hal tersebut juga diperburuk dengan kondisi sector bisnis di Suriah yang buruk. Pada tahun 2009, Suriah berada dalam posisi 137 dari 181 negara pada indikator bisnis, yang artinya Suriah memiliki kinerja buruk dalam bidang keuangan, penegakan kontrak, dan pendaftaraan property. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya distribusi pekerja yang berpendidikan dan juga korupsi yang merajalela di Suriah.
Situasi perkekonomian tersebut juga diperburuk dengan konidisi perpolitikan dan kebebasan berbicara di Suriah. Kebebasan berpolitik di Suriah sangatlah dibatasi, hal tersebut dapat dilihat dari kondisi perpolitikan Suriah yang tidak demokratis dengan pemilihan presiden dipilih oleh partai yang berkuasa yaitu partai Baath dan disetujui oleh referendum populer yang dibuat oleh pemimpin itu sendiri. Kondisi kebebasan mengemukakan pendapat pun tidak jauh beda dengan kondisi perpolitikan tersebut. Di dalam hukum Suriah menyebutkan bahwa setiap publikasi yang dapat mengganggu persatuan nasional dilarang, dengan kata lain setiap publikasi yang bertentangan dengan pemerintah dilarang. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya junalis, cendikiawan, dan juga sastrawan yang ditangkap karena dituduh melawan pemerintah.
Dampak Secara Ekonomi dari Perang Sipil di Suriah
Perang sipil di Suriah memiliki dampak yang besar terhadap Suriah, tak terkecuali dampak secara ekonomi. Dengan tingkat inflasi yang terus meningkat dan pendapatan per-kapita terus menurun, sulit untuk Suriah untuk keluar dari permasalahan ini. Perang sipil mendorong jutaan populasi Suriah terjerumus ke dalam kemiskinan dan pengangguran. Data dari Syrian Center for Policy and Research (SCPR) memperkirakan sekitar 60% angkatan kerja di Suriah menjadi pengangguran sejak perang meletus dan sekitar 3 juta dari mereka kehilangan pekerjaan karena perang. Tingkat kemiskinan pun naik sekitar 80% pada tahun 2014 yang asalnya hanya 27% pada tahun 2011. Perang sipil ini juga berubah menjadi krisis kemanusiaan dengan perkiraan 250.000 orang telah terbunuh dalam konflik ini, 4.6 juta orang telah meninggalkan Suriah, dan sekitar 7.6 juta orang kehilangan tempat tinggal mereka.
Dalam sektor ekonomi, perang sipil di Suriah ini telah merusak sektor ekonomi di Suriah. Perkiraan dari SCPR dan Economic Intelligence Unit memperkirakan bahwa ekonomi Suriah telah berkurang secara real sebanyak 57% sejak 2010. Dengan rata-rata 14% GDP non-minyak dan gas telah berkurang sejak 2011 dan rata-rata 28% GDP minyak dan gas berkurang dalam periode yang sama. Jumlah produksi minyak di wilayah yang dikuasai oleh pemerintah telah berkurang secara drastis menjadi 9000 barrel per hari pada tahun 2014 dari 386.000 barrel per hari pada tahun 2010. Produksi gas pun berkurang drastis menjadi 0.5 juta kaki kubik per hari pada tahun 2014 dari 1.1 juta kaki kubik per hari pada tahun 2010.
Pada sektor non-minyak pun Suriah mengalami kemunduran yang cukup buruk, terutama dibidang agrikultur. Produksi cereal Suriah berkurang sebanyak 20%, produksi produk dari hewan ternak berkurang sebanyak 30%, dan produksi buah-buahan berubah menjadi 400.000 ton per tahun pada tahun 2015 dari 1 juta ton per tahun pada tahun 2010. Pada bidang manufaktur dan jasa pun Suriah mengalami kemunduran yang besar. Hal tersebut dikarenakan kebanyak pelaku usaha kecil menengah dan juga pengusaha besar telah meninggalkan Suriah sejak perang meletus.
Inflasi terus meningkat di Suriah dengan Consumer Product Index (CPI) meningkat sekitar 300% sejak perang meletus sampai pada tahun 2015. Hal tersebut menunjukan kombinasi kekurangan pasokan barang-barang pokok, pemotongan subsidi pemerintah, dan depresiasi mata uang Suriah.
Dalam sektor ekstenal, konflik, sanksi ekonomi, dan juga embargo memperburuk kondisi di Suriah. IMF memperkirakan bahwa pada tahun 2015 defisit perdagangan Suriah meningkat menjadi 13% dari GDP Suriah, dibandingkan dengan deficit perdagangan Suriah pada tahun 2010 yang hanya 0.6% dari GDP Suriah. Hal tersebut juga diperburuk dengan berkurangnya cadangan kas internasional yang hanya tersisa sebanyak satu juta dollar. Hal tersebut disebabkan oleh sanksi yang diberikan Uni Eropa dan Amerika Serikat yang membekukan asset luar negeri Suriah. Nilai mata uang Suriah pun terus berkurang, dengan nilai mata uang Suriah (Pound Suriah) kehilangan nilainya sebanyak 85% terhadap dollar AS.
Dapatkah Suriah Membangun Ekonominya Kembali?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus menanyakan pertanyaan lain yaitu bagaimana konflik ini akan berakhir? Dengan menjawab pertanyaan tersebut kita dapat mengetahui apa langkah yang keputusan pemerintah Suriah setelah perang ambil untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial di Suriah. Hal tersebut tentu akan menjadi pekerjaan yang berat mengingat kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik tersebut. Jika melihat pada konflik serupa yang terjadi pada masa lampau, butuh waktu yang lama dan usaha yang cukup hebat untuk memperbaiki kondisi negaranya tersebut. Lebanon contohnya, butuh sekitar 20 tahun untuk mengembalikan GDP mereka kepada kondisi sebelum perang. Melihat kerusakan yang ditimbulkan dari perang sipil Suriah, diperkirakan membutuhkan lebih dari 20 tahun untuk mengembalikan GDP Suriah ke GDP sebelum perang meletus. Namun bukan berarti Suriah tidak bisa mengembalikan GDP-nya ke kondisi sebelum perang lebih cepat, dengan membuat kebijakan reformasi ekonomi yang tepat Suriah mungkin dapat membangun ekonomi mereka kembali lebih cepat. Namun hal tersebut merupakan hal yang sulit untuk dilakukan karena memperbaiki ekonomi Suriah berarti memperbaiki Suriah secara keseluruhan.
Membangun Suriah menjadi seperti sedia kala merupakan tugas yang sangat sulit, hal tersebut dikarenakan pemerintah Suriah tidak hanya dihadapkan dengan permasalahan ekonomi saja tetapi mereka juga dihadapkan dengan permasalahan sosial politik yang telah mengakar didalam masyarakat Suriah. Namun permasalahan yang paling serius yang dihadapi oleh pemerintah Suriah adalah bagaimana mereka memperbaiki infrastruktur mereka yang hancur. Diperkirakan biaya yang dibutuhkan untuk membangun kembali infrastuktur Suriah yang hancur adalah sekitar 100 sampai 200 juta dollar untuk memperbaiki infrastruktur yang rusak, yang artinya Suriah membutuhkan dana sekitar 120% dari GDP Suriah sebelum perang untuk memperbaiki infrastuktur yang rusak tersebut.
Suriah juga perlu menangani permasalahan sosial yang ditimbulkan oleh perang saudara ini. Kemiskinan, kerusakan pada fasilitas medis dan pendidikan, dan juga perpindahan populasi Suriah secara massal adalah masalah yang harus ditangani oleh pemerintah Suriah. Dengan populasi Suriah yang telah berkurang sekitar 20-30%, sekitar 50% nya kehilangan tempat tinggal, kebanyakan angkatan kerja berpendidikan dan terlatih telah meninggalkan Suriah, dan kebanyakan anak-anak Suriah sudah tidak bersekolah lagi membuat pengembalian dan pengembangan sumber daya manusia akan menjadi pekerjaan yang sulit untuk pemerintah Suriah.
Lalu apa yang harus pemerintah Suriah lakukan untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka? Hal pertama yang pemerintah Suriah harus lakukan adalah mengalokasikan sumber daya yang ada untuk membangun kembali kehidupan rakyat Suriah yang kehilangan tempat tinggalnya dan juga mendorong rakyat Suriah yang telah meninggalkan Suriah untuk kembali. Hal tersebut harus dilakukan untuk mengembalikan sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan Suriah untuk membangun kembali ekonominya. Selanjutnya adalah untuk melakukan reformasi dibidang ekonomi, reformasi dibidang ekonomi tersebut sebaiknya berfokus pada dua hal yaitu mengembangkan sektor non-migas untuk mengatasi produksi minyak dan migas yang menurun, dan juga mempertahankan kesinambungan fiskal dan menyediakan jaminan sosial untuk para pengangguran. Suriah juga harus menangani permasalahan ketimpangan sosial dan ekonomi yang telah menjadi masalah bahkan sebelum perang meletus. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperbaiki infrakstruktur di wilayah pedesaan, menyediakan jaminan sosial bagi rakyat miskin dan pengangguran, melakukan desentralisasi dalam hal ekonomi dan juga pemberian kuasa lebih terhadap pemerintah lokal juga dapat membantu mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi di Suriah. Dan hal yang terakhir yang pemerintah Suriah lakukan adalah melakukan liberalisasi ekonomi yang bertujuan untuk menambah pendapatan negara dan menciptakan lapangan pekerjaan dengan cara mendiversifikasi ekonomi dan juga meningkatkan investasi asing di Suriah.
Kesimpulan
Perang sipil Suriah telah membawa kehancuran terhadap Suriah, dan juga membawa masalah ekonomi besar ke Suriah. Untuk membangun kembali ekonomi Suriah akan menjadi tugas yang sulit bagi Pemerintahan Suriah yang bisa memakan waktu puluhan tahun untuk membawa ekonomi Suriah ke kondisi sebelum perang, tetapi dengan beberapa sumber daya yang dikelola dengan baik, Suriah dapat membangun kembali perekonomian mereka.
Sumber
https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2011/syria
Gobat, J., & Kostial, K. (2016). Syria’s Conflict Economy. IMF Working Paper, 29. Retrieved from https://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2016/wp16123.pdf
https://www.hrw.org/world-report/2017/country-chapters/syria
http://time.com/48294/syria-economy-30-years-unrwa/