Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator untuk mengukur kinerja perekonomian suatu negara. PDB juga sering dipakai sebagai alat untuk mengukur kesejahteraan suatu negara. Namun, statistik yang terdapat di dalam PDB tidak dapat menggambarkan keadaan ekonomi suatu negara yang sesungguhnya. Hal itu disebabkan karena adanya aktivitas atau transaksi ekonomi yang tak tercatat dalam pembukuan resmi yang dipresentasikan oleh PDB atau biasa disebut shadow economy. Akibat dari adanya shadow economy dalam sebuah negara adalah perhitungan PDB bisa jadi tidak sesuai dengan kondisi ekonomi yang sebenarnya karena belum memasukkan seluruh kegiatan atau transaksi ekonomi yang berlangsung sehingga akan terdapat bias dalam perhitungan PDB.
Studi mengenai shadow economy sampai saat ini masih menjadi tantangan tersendiri karena belum adanya definisi yang akurat untuk mendefinisikan shadow economy, sulitnya menghitung skala kegiatan yang termasuk didalamnya dan bagaimana mengukur potensi kerugian negara akibat aktivitas tersebut. Hal ini sudah terlihat dari kata ‘shadow’ sendiri yang berarti menggambarkan sesuatu yang tersembunyi atau tidak transparan. Selain itu, aktivitas shadow economy dalam banyak kasus menyiratkan penghindaran pajak secara langsung atau tidak langsung sehingga hal-hal yang berkaitan dengan penghindaran pajak pasti akan mempengaruhi penerimaan negara.
Aktivitas shadow economy terjadi karena beberapa alasan, antara lain karena ketatnya regulasi pemerintah, misalnya dalam hal perpajakan, bisnis dan investasi, serta regulasi lainnya. Hal ini dapat mengurangi keuntungan yang dicapai oleh individu atau badan (perusahaan) dan dapat menyebabkan upaya beberapa pihak untuk melanggar aturan tersebut. Di Indonesia terdapat tiga sektor usaha yang diyakini melakukan aktivitas shadow economy dan menjadi fokus Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yaitu sektor usaha pertanian, kehutanan dan perikanan yang memiliki rasio pajak 0,89%; sektor transportasi dan pergudangan dengan rasio pajak 5,5%; dan sektor informasi dan komunikasi dengan rasio pajak 7,3% (DDTC). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa aktivitas shadow economy ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam penerimaan pajak. Shadow economy juga diperkirakan sebesar kisaran 8.3 persen hingga 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), PDB Indonesia pada triwulan II tahun 2021 mencapai lebih dari Rp 4.175,8 triliun. Jika data ini digunakan sebagai acuan maka shadow economy Indonesia menjapai Rp 417.5 trilun di waktu yang sama. Hal ini membuat kondisi perekonomian Indonesia menjadi terdistorsi dan tumbuh di bawah potensi rill.
Sumber: BPS
Untuk mengukur shadow economy bisa dipresentasikan melalui beberapa pendekatan yaitu pendekatan langsung yang dilakukan di tingkat mikro yang bertujuan untuk menentukan ukuran shadow economy pada satu titik waktu tertentu dan pendekatan tidak langsung yang dilakukan dengan memanfaatkan indikator ekonomi makro untuk proksi perkembangan shadow economy dari waktu ke waktu. Terdapat beberapa alasan dilakukannya pendekatan tersebut terhadap shadow economy. Pertama, untuk menghindari terjadinya bias dalam perhitungan PDB karena belum memasukkan transaksi ekonomi yang terjadi di dalam shadow economy. Kedua, peningkatan aktivitas shadow economy dipandang sebagai reaksi dari pihak yang merasa keberatan atas pajak yang ditagih oleh pemerintah sehingga lebih memilih “exit option” dibandingkan dengan “voice option”. Ketiga, untuk mengurangi potensi kerugian pajak akibat dari banyaknya pengusaha yang melakukan transaksi di shadow economy.
Informasi tentang pengukuran shadow economy sangat penting untuk membuat keputusan yang efektif dan efisien tentang alokasi sumber daya suatu negara, terutama didalam negara dengan tingkat perekonomian yang masih berkembang. Secara khusus, untuk negara-negara berkembang seperti sebagian besar ekonomi ASEAN, kehadiran shadow economy sangat mempengaruhi pendapatan negara dan merupakan masalah yang serius, karena dapat meningkatkan ketimpangan pendapatan masyarakat, menghambat investasi dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Keberadaan dan pertumbuhan shadow economy tidak dapat dihindarkan terlepas dari tingkat perkembangan ekonomi bagi negara manapun. Selama 20 tahun terakhir, ukuran shadow economy negara-negara ASEAN pada umumnya meningkat termasuk Indonesia. Berikut data shadow economy di negara ASEAN tahun 2003-2015
Sumber: Schneider, F (2017)
Saat ini perekonomian Indonesia sangat terbebani dengan shadow economy yang salah satunya berasal dari aktivitas Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT). Shadow economy diperkirakan sebesar kisaran 8.3 persen hingga 10 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Upaya mengatasi kegiatan shadow economy di Indonesia telah dilaksanakan kebijakan pemerintah untuk memperkecil penerimaan pajak yang hilang akibat kegiatan tersebut yaitu tax amnesty. Diberlakukannya tax amnesty diharapkan menjadi salah satu strategi yang baik dalam membangun perpajakan nasional sebagai upaya memperkecil kegiatan underground economy dan memperkecil penerimaan pajak yang hilang akibat kegiatan tersebut. Selain itu juga, pemerintah perlu menetapkan langkah yang sistematik dan sinergisitas antara pemangku kepentingan.
Kesimpulan
Aktivitas shadow economy merupakan aktivitas baik legal maupun ilegal yang berkontribusi dalam perhitungan PDB, tetapi tidak terdeteksi. Kegiatan shadow economy membuat kinerja ekonomi suatu negara untuk mengukur nilai GDP menjadi bias. Disisi lain, kegiatan ekonomi bayangan ini bisa menciptakan kehilangan potensi pendapatan pajak sehingga merugikan negara. Aktivitas ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi, terjadi diseluruh kegiatan ekonomi sebagian negara, bahkan negara yang memiliki PDB yang jauh di atas Indonesia. Namun, dengan berbagai upaya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, negara akan mampu mengurangi dampak negatif dari kegiatan shadow economy.
Referensi
Yulianti, Avi, 7111414003. (2018, December 18). Penilaian underground economy Indonesia dengan Pendekatan Moneter. PENILAIAN UNDERGROUND ECONOMY INDONESIA DENGAN PENDEKATAN MONETER. Retrieved September 19, 2022, from http://lib.unnes.ac.id/36649/
Rezky, N. P. (n.d.). View of kajian kegiatan shadow economy di indonesia: Sebuah Studi Literatur. Retrieved September 19, 2022, from http://journal.widyatama.ac.id/index.php/jabe/article/view/617/470
Yulianti, A. (n.d.). Bab I pendahuluan 1.1. Latar Belakang – Unand. Retrieved September 19, 2022, from http://scholar.unand.ac.id/29489/2/BAB%20I%20Pendahuluan.pdf
Mohamad, H. I. (2020, January 20). Realitas Pahit “Shadow economy”. Majalah Pajak. Retrieved September 19, 2022, from https://majalahpajak.net/realitas-pahit-shadow-economy/
Lestyarini, S. (n.d.). Bab I pendahuluan 1.1 Latar Belakang – Universitas Airlangga official. Pengaruh Shadow Dan Digital Economy Terhadap Inklusi Keungan di Negara OECD. Retrieved September 19, 2022, from https://repository.unair.ac.id/98042/4/4.%20BAB%20I%20PENDAHULUAN%20.pdf
Azhar, F. H., & Damu, G. P. (n.d.). Kajian Underground Economy dan Kaitannya dengan Penerimaan Pajak di Indonesia. View of kajian underground economy Dan Kaitannya dengan Penerimaan pajak di Indonesia. Retrieved September 19, 2022, from https://prosiding.stis.ac.id/index.php/semnasoffstat/article/view/415/144
Lestari, D., Hudayah, S., & Busari, A. (n.d.). Understanding the ‘Shadow economy’ in smes – a malpractice from Indonesia, 2009-2020. Understanding the ‘Shadow Economy’ in SMES – a Malpractice from Indonesia, 2009-2020. Retrieved September 20, 2022, from http://sister.untagsmg.ac.id/index.php/fe/article/view/2558
Saputra, A. H., & Nugroho, R. (2017). Faktor – Faktor Yang menentukan besaran shadow economy pada BRICS countries Dan Indonesia. FAKTOR – FAKTOR YANG MENENTUKAN BESARAN SHADOW ECONOMY PADA BRICS COUNTRIES DAN INDONESIA, 1, 29–38. https://doi.org/10.31092/jia.v1i1.68