Press Release Economic Discussion 1: Penggunaan Utang Luar Negeri Dalam Penanganan Krisis di Indonesia

by Research Division HIMA ESP FEB Unpad

Utang luar negeri (foreign debt) selalu menjadi isu yang tidak terlepas dalam perbincangan ekonomi dan politik. Pada sisi ekonomi, pemerintah mengeluarkan utang negara sebagai alat untuk menjadi sumber dana dalam membiayai berbagai program pemerintah dan juga melakukan intervensi pasar terhadap sektor riil. Namun secara politik, utang negara utamanya yang didanai dari luar negeri sering menjadi bahan bagi kubu-kubu oposisi sebagai amunisi untuk menyerang kebijakan pemerintah.

Utang luar negeri ini memiliki hubungan yang kuat dalam situasi krisis. Bila kembali pada tahun 97/98 lalu, utang luar negeri swasta yang terlalu besar menjadi salah satu penyebab krisis menerpa Indonesia, sehingga membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia menukik kebawah di angka -13,3%. Utang luar negeri swasta yang terlalu besar ini disinyalir terjadi sebagai akibat minimnya pengawasan pemerintah saat itu terhadap aliran utang luar negeri swasta dan lemahnya sistem perbankan nasional kala itu (Tarmidi, 1998).

Smentara itu, pemerintah pada kala itu melakukan kesepakatan dengan IMF melalui LoI (Letter of Intent) pada 31 Oktober 1997 agar Indonesia diberikan bantuan pinjaman selama tiga tahun berturut senilai US$ 43 milyar yang kemudian berlanjut oleh LoI lain pada Januari dan April 1998 dengan syaratnya adalah menutup 16 bank yang sudah tidak memiliki harapan untuk “hidup” dan salah satu yang paling kontroversial adalah memotong bantuan subsidi kepada rakyat miskin. Walaupun bantuan dari IMF tersebut telah datang tetapi nyatanya tidak memberi dampak yang terlalu signifikan, bahkan pada akhir Desember nilai tukar rupiah berada di angka Rp5.700/US$ yang sebelumnya hanya berkisar Rp2000/US$ dan utang pemerintah di angka US$ 174,2 milyar (Ketika Indonesia Bertekuk Lutut Kepada IMF – Tirto.ID).

Perkembangan terakhir di kuartal IV 2020 lalu nilai Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia mencapai US$ 417,5 milyar. Dimana dari nilai total tersebut utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$ 209,2 milyar dan utang dari swasta termasuk BUMN sebesar US$ 208,3 milyar. Namun, sejak tahun 2019 ULN Indonesia sudah mencapai posisi yang cukup besar, yaitu di angka US$ 402,8 miliar. Hal ini berdasar pada International Debt Statistic (IDS) yang dirilis oleh World Bank pada 2020 lalu, dari laporan ini juga disebut bahwa Indonesia menempati urutan ke-7 negara dengan ULN terbesar di dunia (Indonesia Jadi Negara Dengan Utang Luar Negeri Terbesar Ke-7 Di Dunia Halaman All – Kompas.Com).

Dari perkembangan dua krisis tersebut terlihat bahwa utang luar negeri memiliki peranan yang erat dalam pengentasan krisis. Namun, perlu juga dipertanyakan mengenai dampak lanjutan terhadap perekonomian dari ULN. Disisi lain juga perlu dipertanyakan mengenai apakah ada metode lain untuk menjadi sumber dana pemulihan ekonomi setelah krisis.

Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia Selama Krisis

Seperti yang dibahas pada pendahuluan lalu bahwa salah satu sumber dana yang digunakan pemerintah sebagai instrument untuk memulihkan perekonomian pasca krisis atau mendorong perekonomian ketika badai resesi di depan mata adalah menggunakan ULN. Begitupun yang terjadi di Indonesia pada saat krisis 97/98, krisis finansial 2008, dan sekarang krisis kesehatan.

Sumber : BPS

            Kita melihat pada grafik 1 diatas merupakan perkembangan ULN pemerintah Indonesia sebelum dan pasca Krisis 97/98. Terlihat suatu perbedaan yang signifikan dari jumlah ULN pemerintah sebelum dan sesudah krisis. Dari grafik tersebut terlihat bahwa perkembangan ULN pemerintah sebelum krisis 97/98 cenderung stabil, bahkan sempat mengalami penurunan pada tahun 1994 dan 1995. Namun ketika memasuki periode 1996/1997 terjadi kenaikan sekitar 32% dan di periode berikutnya yaitu 1997/1998 naik sekitar 20%. Hal ini disinyalir akibat dari krisis yang sudah mulai berkecamuk saat itu yang telah memaksa 16 bank swasta ditutup, dengan kata lain pada periode ini pemerintah masih berupaya untuk menghindari krisis. Akan tetapi nyatanya krisis sudah tidak dapat terbendung, ketiadaannya modal dalam negeri dalam menghidupkan perekonomian nasional memaksa pemerintah untuk melakukan pinjaman ke luar negeri. Akibatnya ULN pemerintah meroket sampai mengalami kenaikan sebesar lebih dari 300% (Atmadja, 2000).

Dapat terlihat pada grafik 2 dibawah krisis tahun 1998 dengan krisis 2008 terjadi perbedaan yang cukup signifikan. Bila kita lihat pada saat mendekati krisis di 1998 terjadi kenaikan hingga lebih dari 300% namun ketika terjadi krisis finansial global 2008 kenaikan hanya berkisar di sekitar 10% dari tahun sebelumnya. Hal ini dianggap oleh ekonom bahwa pemerintah lebih siap dalam menghadapi krisis tersebut. Hal ini ditopang oleh hadirnya tiga peraturan pemerintah yang mencakup peran BI sebagai lender of the last resort, peningkatan peran LPS, dan penguatan Jaring Pengaman Sosial. Hal ini membuat kepercayaan pemain saham di BEI dapat terpulihkan sehingga sedikit demi sedikit memulihkan keadaan.

Sumber : SULNI BI

Sumber :  SULNI Desember 2020

             Perkembangan dari ULN Pemerintah & Bank Sentral menunjukan perkembangan yang relative stabil dari tahun ke tahunnya. Tetapi mengalami lonjakan yang cukup besar di 2015, 2016, dan 2017. Utamanya di 2016, meningkat sekitar 14%. Sedangkan di 2019 ke 2020 cenderung stabil. Akan tetapi perlu juga diperhatikan pengawasan ULN secara keseluruhan, yakni dengan memperhatikan perkembangan ULN Swasta di Indonesia. Seperti yang disampaikan sebelumnya Indonesia memasuki 10 besar Negara dengan ULN yang tinggi. Selain itu juga nilai Debt to GDP yang cukup besar di tahun pandemi ini perlum menjadi hal yang diperhatikan (Utang Luar Negeri RI Di Masa Pandemi).

Perekonomian dan Kehadiran Utang Luar Negeri

Dalam mempersoalkan utang luar negeri, tentunya kita tidak hanya membahas sisi negatif dari utang luar negeri namun juga sisi positif dari utang luar negeri. Sering kali ketika membahas isu seperti ini kita melupakan kenyataan bahwa beberapa aspek dari utang dapat membantu perekonomian. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa utang luar negeri dapat berdampak buruk terhadap perekonomian bila tidak sesuai proporsi. Ibarat dokter yang mengobati pasien, pemerintah bila menggunakan utang dengan takaran yang sesuai dapat memberikan kemanfaatan yang bisa membuat perekonomian bugar. Sebaliknya bila takarannya berlebih alhasil perekonomian dapat “overdosis” terhadap utang tersebut.

Sebagai negara berkembang tidak dipungkiri bahwa rendahnya kemampuan penyerapan pajak sebagai akibat kemampuan pertumbuhan GDP yang belum signifikan. Ditambah lagi dengan kesadaran akan pajak yang masih rendah juga kondisi struktur social ekonomi yang cenderung belum memumpuni tentunya berpengaruh atas penerimaan pajak kepada Negara (tax rate). Penerimaan dalam negeri yang rendah tersebut akan membuat dana untuk membiayai proyek dan program pemerintah tersendat sehingga utang baik itu luar negeri maupun dalam negeri diperlukan.

Begitupun ketika perekonomian menghadapi krisis. Dalam menghadapi beberapa krisis penggunaan utang, utamanya utang luar negeri seringkali menjadi alternative dalam upaya membantu perekonomian dalam keluar dari krisis tersebut. Tetapi pada beberapa kasus seperti halnya yang disampaikan pada beberapa kasus di Indonesia membawa dampak buruk pada perekonomian. Beberapa dampak tersebut diantaranya:

Pertama, adanya resiko debt trap kepada perekonomian. Debt trap merupakan bentuk tindakan politik ekonomi, dimana suatu negara yang memiliki dana berlebih akan menempatkan bantuan pinjaman kepada negara yang kekurangan dana dalam membantu suatu proyek atau program tertentu. Namun, bantuan tersebut mencakup dana pinjaman yang proporsinya amat besar pada biaya proyek dengan tenor yang berlangsung lama sehingga membuat negara peminjam tidak mampu untuk membayar angsuran dan bunganya, akibatnya mengharuskan proyek atau program tersebut malah jatuh ke tangan negara pemberi pinjaman.

Hal ini seperti yang terjadi pada proyek pembangunan Pelabuhan Magampura Mahinda Rajapaksa di Srilangka. Proyek tersebut merupakan kerjasama dengan Bank Exim China. Bank Exim mendanai 85% dari pembangunan pelabuhan tersebut, dengan nilai US$ 361 juta dan bunga tahunan 6,3%. Namun, karena Srilangka tidak mampu membayar pinjaman atas proyek tersebut membuat kepemilikannya jatuh ke China Merchants Port Holding Company pada 2017(‘Debt Trap’’ Diplomacy Is a Card China Seldom Plays in Belt and Road Initiative | The Japan Times).

Kedua, pembiayaan dengan utang luar negeri dapat berpengaruh pada sustainabilitas fiscal suatu negara. Apabila deficit anggaran pemerintah dalam memulihkan krisis terus menerus terjadi sehingga deficit tersebut perlu dibiayai oleh utang, dalam hal ini utang luar negeri maka akan berpengaruh terhadap kemampuan fiscal dari anggaran pemerintah di masa depan. Sustainabilitas fiscal sendiri berarti kemampuan pemerintah dalam mengatur penggunaan utang, sehingga pada jangka panjang mampu terus stabil. Jika penggunaan utang dimasa kini ternyata menaruh tanggungan berupa angsuran dan bunga yang secara signifikan membebankan struktur anggaran di masa mendatang, maka hal ini akan berpengaruh pada keberlanjutan fiscal dari Negara tersebut.

Ketiga, permasalahan unpleasant arithmetic. Permasalahan ini diajukan oleh Thomas Sargent dan Neil Wallace dari University of Minnesota, mereka beragumen “debt financing of a deficit may in the long run be more inflationary than money financing” (Dornbursch & Fischer, 1994). Ini berarti, bila pemerintah terus menerus menggunakan utang negara sebagai instrument pembayaran deficit dalam hal ini juga bila utang luar negeri digunakan terus-menerus dalam memulihkan dampak dari krisis, maka akan ada suatu titik dimana penerbitan utang negara sudah tidak mampu lagi membiayainya sehingga pemerintah harus mencetak uang melalui bank sentral, tetapi karena utang negara yang menempuk sebagai akibat penumpukan principal dan bunga dari utang periode sebelumnya, efek inflasi akan melebihi efek dari pembayaran melalui high power money. Walaupun pendekatan ini nampaknya terlalu monetaris, tetapi juga perlu diwaspadai oleh pemerintah.

Keempat, permasalahan distribusi utang antar-generasi. Utang Pemerintah saat ini dapat dikatakan cukup besar bila dibandingkan oleh pemerintahan sebelumnya. Utang luar negeri pemerintah pada kuartal IV tahun 2020 mencapai US$ 209,2 milyar, nilai utang ini nantinya akan menjadi tanggungan untuk generasi yang akan datang karena bila utang pemerintah pada saat ini tinggi juga akan berpengaruh pada generasi mendatang. Akumulasi dari pembayaran bunga dimasa yang akan datang, akan membuat nilai dari pajak yang akan ditanggung oleh generasi mendatang lebih besar dari saat ini.

Permasalahan distribusi utang antar-generasi ini menjadi perdebatan panas antara kaum tradisionalis dan Barro-Ricardian. Pada satu sisi para tradisionalis percaya melalui deficit anggaran akan mendorong masyarakat untuk dapat menaikan konsumsinya karena pemerintah bisa melakukan pemotongan pajak ataupun pemberian subsidi. Tetapi, disisi lain Barro-Ricardian berargumen bila deficit nantinya dibiayai dengan utang pemerintah, maka akan membuat masyarakat enggan untuk meningkatkan pengeluarannya sebab Barro dan Ricardo percaya bahwa individu dalam memandang pendapatan yang mereka miliki secara myopia (Mankiw, 2010).

Sumber : IMF

   Walaupun berbagai dampak kepada perekonomian dengan hadirnya utang luar negeri tetapi bila kita melihat posisi nisbah Debt to GDP Indonesia sendiri, masih relative aman. Persentase D to GDP Indonesia pada 2020 mengalami lonjakan yang tadinya hanya berada di angka 29,8% ke angka 39,4%. Walaupun demikian Utang Pemerintah Indonesia masih dibawah batas maksimal 60% yang ditetapkan UU no. 17 tahun 2003. Akan tetapi pemerintah juga harus berhati-hati, dengan angka lonjakan yang terjadi di 2020. Utamanya dengan keberlanjutan fiscal untuk jangka panjang, serta upaya untuk memperbaika sisi penerimaan dalam negeri setelah pandemi ini.

Pertanyaan Diskusi

  1. Seberapa urgent suatu negara harus berutang dalam penanganan krisis dalam negeri?
  2. Bagaimana peran generasi muda dalam menghadapi permasalahan utang luar negeri?
  3. Seberapa besar resiko Indonesia untuk terjebak debt trap?

Hasil Diskusi

Kelompok 1

Kelompok 1 menyoroti urgensi pentingnya utang ketika pandemi Covid-19 membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di level negatif. Hal ini menjadi penting karena ketika pertumbuhan ekonomi yang rendah menyebabkan adanya penurunan antara kemampuan perekonomian-baik fiskal, moneter dan ouput-dalam memenuhi kebutuhan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang negatif membuat berbagai sumber penerimaan negara juga mengalami penurunan, sementara secara bersamaan pereokonomian juga membutuhkan stimulus untuk dapat kembali berjalan sehingga dalam kondisi ini utang luar negeri memiliki peranan yang penting untuk menstimulus kegiatan ekonomi nasional untuk menutup gap yang terjadi saat krisis akibat pandemi.

Kemudian mengenai peranan generasi muda dalam menyikapi utang luar negeri, kelompok 1 berfokus pada peranan langsung generasi muda terhadap penguatan kontribusi pembayaran pajak dan partisipasi di pasar modal. Hal ini dianggap penting untuk menjaga kekuatan sektor keuangan dan pendapatan negara dalam menunjang berbagai program pemerintah. Selain itu, generasi muda dapat melakukan berbagai inovasi yang dapat meningkatkan daya saing bangsa, baik di sektor industri, perdagangan, energy dan lainnya.

Terakhir, mengenai resiko debt trap, kelompok 1 memiliki pandangan bahwa Indonesia jauh dari resiko debt trap. Hal ini dikarenakan pos utang luar negeri negara dapat membantu menstimulus kegiatan ekonomi, mulai dari pemberian vaksin untuk mempercepat mobilitas perekonomian dan pemberian stimulus fiskal melalui belanja pemerintah pusat.

Kelompok 2

Menurut kelompok 2, pada kondisi pandemi saat ini urgensi utang luar negeri tidak terlalu besar karena pemerintaah masih dapat menggunakan opsi untuk merelokasi anggaran. Relokasi anggaran ini merupakan suatu langkah nyata pada perubahan prioritas program pemerintah pusat. Selain itu, pemerintah juga masih dapat mengurangi belanja pada sektor impor, selain untuk mengurangi pengeluaran sehingga dapat direalokasi, dan dapat meningkatkan semangat perekonomian dalam negeri.

Lebih spesifik dari sebelumnya, kelompok 2 menekankan generasi muda untuk melakukan inovasi dan berekspansi di dunia digital. Hal ini didasarkan pada aksesibilitas generasi muda pada dunia digtal yang telah begitu luas dan mudah, tujuannya adalah untuk menghindari hambatan aktivitas perekonomian konvensional yang terhambat pada mobilitas fisik akibat pembatasan selama pandemi.

Potensi debt trap Indonesia cukup besar, karena kemampuan Indonesia untuk membayar utang tidak begitu baik. Hal ini diakibatkan oleh tingkat utang Indonesia yang selalu mengalami kenaikan. Meskipun demikian, Indonesia juga pernah bisa melunasi utang luar negerinya kepada IMF ketika menangani krisis moneter tahun 1997-1998.

Kelompok 3

Menurut kelompok 3, penggunaan utang luar negeri dalam pemulihan ekonomi dari krisis saat ini memiliki urgensi yang cukup tinggi. Meskipun demikian, ada syarat yang diperhatikan oleh negara untuk melakukan pinjaman yang aman, salah satunya adalah dengan memperhatikan nilai secara riil antara utang dengan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Selain itu, perlu juga diperhatikan waktu jatuh tempo, besaran bunga, dan faktor lainnya yang paling menguntngkan, atau minimal memberikan biaya terkecil, agar keberlanjutan fiskal dan hubungan internasional dapat tercapai.

Peranan generasi muda yang diharapkan untuk mengatasi utang luar negeri adalah dengan meningkatkan kepedulian terhadap kewajiban pajak, karena dapat membantu pos penerimaan negara. Selain itu, generasi muda juga didorong untuk mulai mencintai produk dalam negeri, sehingga defisit neraca perdagangan dapat setidaknya berkurang di sektkor individu.

Kelompok 4

Kondisi krisis akibat pandemic seperti saat ini tidak terlalu urgent untuk melakukan pinjaman ke luar negeri, tetapi meskipun dilakukan merupakan hal yang wajar karena hamper seluruh negara juga mengalami kenaikan utang luar negeri. Utang ini dibutuhkan karena kondisi output negara yang lebih rendah dari biasanya, sehingga utang diperlukan untuk menutupi kekurangan anggaran, namun harus tetap dalam level yang wajar. Pemerintah juga dirasa masih dapat menggunakan opsi peningkatan pajak dan stimulus bagi aktivitas ekspor.

Dalam langkah memilih opsi pinjaman yang telah dilakukan, proporsi utang luar negeri Indonesia sebenarnya masih dibawah batas yang telah ditentukan undang -undang, yaitu 60% dari PDB, batas ini diperlukan sebagai acuan untuk pemerintah untuk mengukur seberapa mampu perekonomian menghasilkan output untuk tetap dapat menjaga solvabilitasnya. Selain itu, diharapkan juga utang dialokasikan untuk kegiatan yang produktif.

Dalam menghadapi permasalahan utang ini, generasi muda dapat mengubah mindset untuk tidak lagi mengandalkan impor. Kenapa impor? Karena saat kekuatan produk dalam negeri meningkat dengan tidak tergantung pada impor, maka stabilitas ekonomi dan pemenuhan kebutuhan domestik tidak akan terpengaruh oleh fluktuasi ekonomi negara lain dan dunia. Selain itu, generasi muda juga dapat melakukan banyak inovasi pada bidang keilmuan masing-masing dan dapat ikut serta dalam mengkritisi berbagai kebijakan utang luar negeri yang dilakukan pemerintah.

Utang luar negeri beresiko pada investasi dan penjatahan kredit bagi negara yang tidak dapat melakukan pelunasan utang. Hal ini akan menghambat investasi pada negara karena investor tidak akan tertarik untuk menanamkan modalnya akibat adanya kekhawatiran negara tidak dapat menghasilkan output dan keuntungan yang diproyeksikan. Resiko debt trap bagi Indonesia tidak terlalu besar, tetapi masih ada karena rasio debt to GDP Indonesia masih berada di bawah batas minimum.

Penutup

Pada dasarnya, utang dapat membantu menstimulus kegiatan ekonomi dalam rangka keluar dari krisis perekonomian. Hanya saja perlu diperhatikan rasio terhadap PDB, pos anggaran utang, besaran bunga, masa jatuh tempo, dan masih banyak lagi factor yang harus diperhatikan. Generasi muda memiliki peranan yang besar karena jumlahnya yang besar dan jangkauan pada media yang mudah dan luas, sehingga setiap gerakan yang dilakukan generasi muda akan memberikan dampak gerakan yang luas. Indonesia juga perlu waspada pada debt trap karena akan sangat merugikan perekonomian di masa mendatang, mulai dari kesulitan mendapat investor, penjatahan kredit, dan hingga rusaknya hubungan dengan negara atau lembaga internasional lain. 

Referensi

Atmadja, A. S. (2000). Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia: Perkembangan dan Dampaknya (Adwin Surya Atmadja) UTANG LUAR NEGERI PEMERINTAH INDONESIA : PERKEMBANGAN DAN DAMPAKNYA. Akuntansi Dan Keuangan, 2(1), 83–94. http://puslit.petra.ac.id/journals/accounting/

‘Debt trap’’ diplomacy is a card China seldom plays in Belt and Road initiative | The Japan Times.’ (n.d.). Retrieved March 11, 2021, from https://www.japantimes.co.jp/opinion/2020/09/01/commentary/debt-trap-diplomacy-bri-china/

Dornbursch, R., & Fischer, S. (1994). Macroeconomics (6th ed.). McGraw-Hill.

Indonesia Jadi Negara dengan Utang Luar Negeri Terbesar ke-7 di Dunia Halaman all – Kompas.com. (n.d.). Retrieved March 5, 2021, from https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/14/154032365/indonesia-jadi-negara-dengan-utang-luar-negeri-terbesar-ke-7-di-dunia?page=all

Ketika Indonesia Bertekuk Lutut kepada IMF – Tirto.ID. (n.d.). Retrieved March 7, 2021, from https://tirto.id/ketika-indonesia-bertekuk-lutut-kepada-imf-czic

Mankiw, N. G. (2010). Macroeconomics (7th ed.). Worth Publishers.

Tarmidi, L. T. (1998). Krisis moneter indonesia : sebab, dampak, peran imf dan saran * ). 1–25.

Utang Luar Negeri RI di Masa Pandemi. (n.d.). Retrieved March 5, 2021, from https://www.cnbcindonesia.com/news/20201117183015-8-202557/utang-luar-negeri-ri-di-masa-pandemi

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s