by Research Division HIMA ESP FEB UNPAD
Tanaman hias Janda Bolong yang tergolong ke dalam keluarga Monstera akhir-akhir ini mengalami lonjakan harga yang sangat tinggi. Harga beberapa jenisnya yang langka, seperti Monstera variegata dan Monstera obliqua, dapat mencapai Rp 90 juta untuk satu potnya, dan bahkan untuk jenis yang sering ditemukan seperti Monstera adansonii pun ikut mengalami kenaikan harga hingga ratusan ribu rupiah. Karena kenaikan harga tersebut banyak orang yang tiba-tiba menjadi penjual tanaman hias ini, dan meskipun memiliki harga yang sangat tinggi saat ini jumlah peminatnya tetap banyak dan justru bertambah, banyak masyarakat awam yang sekarang tertarik untuk memilikinya. Namun, perlu ditelusuri lebih lanjut apakah harga yang tinggi tersebut memang sesuai dengan nilai intrinsiknya atau hanya akibat dari permainan harga oleh para penjual, jangan sampai kita membuat keputusan irasional yang nantinya merugikan.
Hal yang sama juga pernah terjadi pada komoditas lain, seperti batu akik yang sempat menjadi trend di kalangan masyarakat Indonesia pada tahun 2013-2015. Karena permintaan yang sangat tinggi dari masyarakat, harganya sempat melonjak hingga 50 kali lipat dan bahkan ada yang rela untuk membayar puluhan sampai ratusan juta untuk sebuah batu akik. Tercatat dalam sebuah pameran batu akik yang diadakan oleh Kementrian Perindustrian pada 21-24 April 2015, nilai transaksi selama lima hari digelarnya pameran mampu mencapai 2 miliar rupiah. Namun trend tersebut hanya bertahan selama dua tahun saja, pada akhir tahun 2015 harga batu akik sudah mulai turun dan sekarang harganya sudah cenderung normal. Batu akik seharga 10 juta rupiah pada tahun 2014 sekarang harganya bisa turun menjadi 200 ribu rupiah saja.
Kedua kasus diatas memiliki kesamaan faktor penyebab, dimana fenomenanya diawali dengan permintaan yang melonjak. Di saat permintaan terhadap komoditas-komoditas tersebut naik, maka harga akan ikut naik pula. Saat harga sudah mulai naik, muncul keinginan dari masyarakat untuk berspekulasi, mereka beranggapan bahwa harga dari kedua komoditas itu akan terus bergerak naik sehingga akan menguntungkan bila dijual di masa yang akan datang. Pada kondisi inilah pembeli atau konsumen menjadi lebih irasional, dimana keputusan yang diambilnya tidak didasarkan pada pengamatan terhadap nilai sebenarnya dari komoditas dan ketidakpastian masa depan.
Ilmu ekonomi menjelaskan fenomena tersebut dengan konsep bubble economy atau gelembung ekonomi. Bubble economy terjadi saat harga di pasar jauh lebih tinggi dari nilai intrinsiknya, meskipun nilai intrinsik ini tidak dapat diamati di pasar secara langsung, tetapi baru dapat diamati setelah harganya jatuh. Bubble economy diawali dengan meningkatnya harga komoditas tertentu, kemudian orang-orang akan membeli untuk tujuan spekulatif (membeli sekarang untuk dijual di masa yang akan datang dengan mengharapkan keuntungan). Selanjutnya tercipta sebuah euforia yang menyebabkan harga naik drastis hingga berkali-kali lipat yang tidak bertahan lama. Fase berikutnya adalah kelangkaan barang di pasar, pada saat ini beberapa orang mulai menjual stok barang yang sudah mereka beli dengan harga yang lebih tinggi. Rangkaian fenomena ini akan diakhiri dengan anjloknya harga yang biasa disebut dengan peristiwa pecahnya gelembung. Tercatat terjadi beberapa kali fenomena bubble economy dalam sejarah, salah satu yang pertama kali tercatat adalah Tulip Mania di Belanda pada abad ke-17.
Berdasarkan deskripsi bubble economy di atas, fenomena melonjaknya harga batu akik termasuk ke dalam fenomena bubble economy. Dapat dikatakan seperti itu karena harga batu akik saat trend berbeda jauh dengan harganya saat keadaan normal. Hal ini menunjukkan bahwa harga batu akik saat trend melebihi nilai intrinsiknya. Selain itu, banyak juga penjual batu akik yang beralih profesi saat harga batu akik turun drastis. Artinya, saat terjadi trend banyak pembeli batu akik dadakan yang hendak menjualnya kembali di masa yang akan datang untuk mendapatkan keuntungan, namun meninggalkan bisnisnya saat harga sudah anjlok.
Untuk kasus trend Janda Bolong ini, kelima fase tersebut pun telah terjadi. Dimulai dengan kenaikan harganya di pasar yang menurut Bhima Yudistira, ekonom Indef kemungkinan besar dipengaruhi oleh permainan harga oleh para pedagang atau biasa disebut dengan kartel. Setelah itu semakin banyak spekulan yang memainkan harga agar bisa mendapat keuntungan yang lebih besar lagi. Isu-isu seperti kelangkaan semua jenis tanaman ini pun ikut membuat harganya bertambah mahal, padahal tidak semua jenis tanaman ini berstatus langka, bahkan sebagian besar jenisnya merupakan tanaman liar yang dapat dengan mudah ditemukan. Hanya ada beberapa jenis tanaman Janda Bolong yang langka, seperti Monstera variegata yang sudah mengalami mutasi genetik alami sehingga memiliki perpaduan warna hijau dan putih kekuningan. Namun kondisi di pasar memperlihatkan kenaikan harga yang signifikan di sebagian besar jenis tanaman Monstera ini, termasuk dengan Monstera adansonii yang sebenarnya hanya berharga puluhan ribu saja. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi fenomena bubble economy, terutama pada jenis yang sebenarnya tidak langka seperti Monstera adansonii.
Oleh karena itu, beberapa hal perlu diperhatikan dalam menghadapi sebuah trend. Pertama, disarankan untuk mengetahui secara mendalam mengenai nilai intrinsik sebuah komoditas, dalam kasus Janda Bolong bisa dipraktikkan dengan mencari tahu apakah tanaman yang kita beli benar-benar bernilai tinggi karena kelangkaannya atau justru bernilai rendah karena mudah ditemukan. Kedua, jika sudah memutuskan untuk membeli, lebih baik tidak membeli dalam jumlah besar karena sering terjadi ketidakpastian di pasar. Ketiga, jika sudah terlanjur membeli sebaiknya tetap dirawat untuk menambah ragam koleksi tanaman hias dan menghindari kerugian yang lebih besar ketika membuangnya.
REFERENSI
Okezone.(2020, September 29). Harga Janda Bolong Tembus Ratusan Juta Rupiah, Fenomena Gelembung Ekonomi. diakses dari https://economy.okezone.com/read/2020/09/29/320/2285365/harga-janda-bolong-tembus-ratusan-juta-rupiah-fenomena-gelembung-ekonomi
The New York Times (2013, Mei 2013). Bernanke, Blower of Bubbles?. diakses dari https://www.nytimes.com/2013/05/10/opinion/krugman-bernanke-blower-of-bubbles.html?src=me&ref=general
Kompas (2015, September 10). Harga Batu Akik Terjun Bebas, Dibeli Rp 10 Juta, Dijual Rp 200.000. diakses dari https://regional.kompas.com/read/2015/09/10/13534201/Harga.Batu.Akik.Terjun.Bebas.Dibeli.Rp.10.Juta.Dijual.Rp.200.000?page=all
Robert C Shiller. Irrational exuberance. Philosophy & Public Policy Quarterly, 20(1):18–23, 2000.
Angelos Dassions. An Economic Bubble Model and Its First Passage Time. London School of Economics. London: 2018.