Flexing those Provider Skills: 

14% Perempuan Indonesia Got the Bag!

Goodbye Stereotype! Hello Female Breadwinner!

“Cari nafkah? Itu urusan suami. Urus rumah dan anak? Tugas istri.” sering terdengar di masyarakat Indonesia. Norma gender tradisional masih menempatkan perempuan di ranah domestik dan laki-laki di ruang publik sehingga peran perempuan seolah ‘ditakdirkan’ hanya untuk mengurus rumah tangga. Penelitian Setyonaluri et al. (2021) mengonfirmasi bahwa pandangan tersebut masih kuat diyakini oleh banyak orang, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, di tengah perubahan sosial dan ekonomi, realitas keluarga modern semakin beragam. Muncul fenomena female breadwinners—perempuan yang menjadi pencari nafkah utama atau satu-satunya dalam keluarga (Drago et al., 2004). Perubahan pola kerja dan struktur keluarga telah menggeser paradigma lama. Rumah tangga masa kini tak lagi sepenuhnya bergantung pada laki-laki sebagai pencari nafkah tunggal. Semakin banyak keluarga menerapkan model dual-earner, yaitu ketika suami dan istri sama-sama bekerja, bahkan dalam sejumlah kasus, perempuan justru memikul peran utama sebagai penopang ekonomi keluarga (Martin & Kats, 2003). Namun, di tengah peran mereka sebagai pencari nafkah utama, para perempuan ini tetap menghadapi tekanan besar. Mereka harus menyeimbangkan tanggung jawab sebagai pekerja sekaligus pengurus rumah tangga, mulai dari mengurus anak hingga memenuhi ekspektasi sosial yang masih bias gender. Beban ganda ini tak jarang menimbulkan kelelahan fisik, emosional, hingga mental yang berdampak pada kualitas hidup dan kesejahteraan perempuan.

Ironisnya, tantangan yang mereka hadapi bertolak belakang dengan semangat Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals /SDGs) khususnya tujuan ke-5 yang menegaskan pentingnya kesetaraan gender dan pengakuan terhadap pekerjaan domestik yang tidak dibayar (unpaid work), serta memberikan akses setara bagi perempuan terhadap hak ekonomi, sumber daya, teknologi, dan layanan dasar.

  1. Mengurai Female Breadwinners di Indonesia: Siapakah Dia?

Dalam lanskap sosial ekonomi modern, peran perempuan dalam menopang ekonomi keluarga semakin terlihat. Female breadwinners adalah fenomena di mana perempuan berperan sebagai pencari nafkah utama dalam rumah tangga, dengan menyumbang porsi pendapatan terbesar atau bahkan menjadi satu-satunya sumber penghasilan keluarga. Peran ini secara hakiki menentang norma gender tradisional yang secara historis menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan dalam peran domestik mengurus rumah tangga.   

Kondisi di Indonesia pada tahun 2024 menunjukkan bahwa sebanyak 14,37% dari total pekerja perempuan di Indonesia merupakan penopang utama ekonomi keluarga. Angka ini mengindikasikan bahwa kurang lebih 1 dari 10 perempuan bekerja memikul tanggung jawab sebagai pencari nafkah utama, yang menempatkan mereka dalam kategori female breadwinners. Fenomena ini dianalisis berdasarkan data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) bulan Agustus 2024. Seorang perempuan dikategorikan sebagai female breadwinner jika mereka bekerja dan menerima pendapatan terbesar, termasuk mereka yang menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam rumah tangga (Drago et al., (2004); Jurczyk et al., (2019)).

Proporsi Pekerja Female Breadwinners terhadap Total Pekerja

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sakernas Agustus 2024, diolah

  1. Norma Lama vs Realita Baru: Female Breadwinners Mengubah Segalanya

Di balik hiruk-pikuk perdebatan tentang peran gender, sebuah transformasi sunyi tengah terjadi di tengah masyarakat kita. Perempuan kini tak hanya menjadi support system, tetapi juga tulang punggung ekonomi keluarga. Fenomena female breadwinner semakin nyata, bahkan menunjukkan pola menarik dari sisi usia. Secara mengejutkan, kelompok lansia berusia 60 tahun ke atas menyumbang persentase tertinggi dari female breadwinners, yakni mencapai 17,91%. Kelompok usia produktif 35–59 tahun juga memiliki porsi yang signifikan. Distribusi usia ini menunjukkan bahwa tantangan ekonomi yang mendorong perempuan menjadi penopang utama keluarga tidak hanya terjadi pada keluarga muda, tetapi juga dialami oleh perempuan usia paruh baya dan lansia. Menjadi pencari nafkah utama di usia 35–59 tahun seringkali bertepatan dengan puncak beban ganda, ketika perempuan harus mengurus anak yang masih kecil atau remaja, sekaligus menghadapi kemungkinan merawat orang tua yang sudah lanjut usia. Sementara itu, tingginya persentase di usia 60 tahun ke atas dapat disebabkan oleh ketiadaan pasangan (akibat cerai mati atau cerai hidup), pensiun suami yang tidak mencukupi, atau kebutuhan untuk terus menopang anggota keluarga, seperti anak dewasa yang belum mandiri atau cucu. Hal ini mengindikasikan adanya potensi kesenjangan dalam jaring pengaman sosial, sistem pensiun, atau dukungan bagi pekerja lanjut usia. 

Persentase Female Breadwinners Menurut Kelompok Umur

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sakernas Agustus 2024, diolah

Berdasarkan sebaran provinsi, terdapat 23 dari 38 provinsi yang memiliki persentase female breadwinners di bawah angka nasional. Provinsi dengan persentase female breadwinners tertinggi adalah Provinsi DKI Jakarta, sedangkan persentase terendah terdapat di Provinsi Papua Pegunungan. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya norma budaya yang menekankan laki-laki sebagai pencari nafkah utama, sementara perempuan lebih banyak berperan dalam ranah domestik. Berdasarkan penelitian Jayachandran (2015), faktor budaya dan norma sosial yang ada di negara berkembang sangat berpengaruh terhadap partisipasi ekonomi perempuan. Kondisi ini sejalan dengan rendahnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja di wilayah yang memiliki persentase female breadwinners rendah.

Persentase Female Breadwinners Menurut Provinsi

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sakernas Agustus 2024, diolah

Sekitar 64% perempuan yang berperan sebagai pencari nafkah utama tinggal di wilayah perkotaan, sehingga menjadikan kota sebagai ruang tumbuh bagi para female breadwinners. Lingkungan urban menawarkan lebih banyak peluang kerja serta norma sosial yang relatif lebih inklusif terhadap kesetaraan gender sehingga memungkinkan perempuan berpartisipasi aktif dalam dunia kerja. Selain itu, tingginya biaya hidup di kawasan perkotaan juga menjadi salah satu faktor utama yang mendorong perempuan untuk turut berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kondisi ini mendorong banyak perempuan untuk mengambil peran sebagai pencari nafkah utama maupun bekerja bersama pasangan (Glynn, 2019; Chesley, 2016; Jurczyk et al., 2019).

Persentase Female Breadwinners Menurut Daerah Tempat Tinggal

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sakernas Agustus 2024, diolah

Menariknya, hampir 40% perempuan pencari nafkah utama di Indonesia ternyata juga memegang status sebagai kepala rumah tangga. Hal ini menguatkan temuan Chant (2003) bahwa female breadwinners sering ditemukan pada rumah tangga yang dipimpin oleh perempuan. Namun, data menunjukkan bahwa mayoritas female breadwinners bukanlah kepala keluarga, melainkan istri dari pasangan yang memiliki pendapatan rendah atau tidak stabil (Drago et al., 2004). Dalam banyak kasus, mereka tetap bekerja bukan hanya karena terdesak oleh kebutuhan, tetapi juga sebagai strategi untuk menjaga stabilitas finansial keluarga, menabung untuk pendidikan anak, dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan (World Bank, 2019).

Dari sisi status perkawinan, mayoritas female breadwinners di Indonesia adalah perempuan menikah, yang berarti mereka masih berpeluang mendapat dukungan finansial dari pasangan. Namun, berbeda halnya dengan mereka yang belum menikah, bercerai, atau menjadi janda; kelompok ini harus menanggung seluruh beban finansial rumah tangga secara mandiri. Meskipun jumlah anggota keluarga yang dipimpin oleh female breadwinners umumnya berkisar antara dua hingga empat orang, tantangan yang mereka hadapi jauh lebih kompleks. Tidak hanya terbatas pada mencari nafkah, tetapi juga mencakup pekerjaan domestik dan pengasuhan anak. Di tengah tekanan tersebut, mereka tetap harus bersaing di dunia kerja yang belum sepenuhnya adil—menghadapi tantangan berupa diskriminasi gender, kesenjangan upah, hingga terbatasnya akses terhadap pekerjaan yang stabil dan layak (Chant, 2003; Drago et al., 2004).

Persentase Female Breadwinners Menurut Posisinya dalam Rumah Tangga

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sakernas Agustus 2024, diolah
Persentase Female Breadwinners Menurut Status Perkawinannya

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sakernas Agustus 2024, diolah

Double Shift, Double Pressure: Mengintip Dunia Female Breadwinners

Hari-hari Dewi Pratiwi (38 tahun), seorang manajer senior yang merupakan pencari nafkah utama keluarga, diatur oleh rutinitas yang padat dan terstruktur. Kegiatannya dimulai pukul 05.30 dengan menyiapkan sarapan, dilanjutkan dengan berangkat ke kantor pada pukul 07.15. Aktivitas profesionalnya berlangsung hingga sore hari, termasuk menghadiri rapat terakhir sekitar pukul 17.00. Setelah pulang, ia kembali mengemban tanggung jawab domestik dengan menyiapkan makan malam bagi keluarganya pada pukul 19.30. Pola harian ini menggambarkan beban ganda yang dialami perempuan sebagai penyokong ekonomi sekaligus pengurus rumah tangga. Fenomena yang sebelumnya dianggap anomali kini menjadi realitas bagi 14% rumah tangga di Indonesia. The untold story of Indonesia’s female breadwinners: balancing corporate ladders dengan peran domestik tanpa henti.

 Persentase Female Breadwinners Menurut Status Pekerjaan

Persentase Female Breadwinners Menurut Sektor Pekerjaan

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sakernas Agustus 2024, diolah

Mayoritas female breadwinners memilih jalur wirausaha sebagai sumber pendapatan utama. Status wirausaha baik mandiri, dengan karyawan, maupun dibantu anggota keluarga tanpa bayaran, menawarkan fleksibilitas waktu yang berharga bagi perempuan yang mengemban peran ganda antara mencari nafkah dan mengurus rumah tangga (Budig, 2006). Fleksibilitas ini menjadi solusi krusial dalam menyeimbangkan tanggung jawab profesional dan domestik. Faktor lain yang mendorong pilihan ini adalah keterbatasan akses ke lapangan kerja formal yang mensyaratkan pendidikan tinggi (World Bank, 2019). Sementara itu, 44,95% female breadwinners memilih bekerja sebagai buruh atau karyawan, hal ini karena buruh atau karyawan menawarkan penghasilan tetap bagi mereka dengan modal terbatas (Budig, 2006). 

Sektor formal ini juga lebih mudah diakses perempuan dibandingkan dengan kompleksitas memulai usaha sendiri (ILO, 2020a). Selain itu, sektor perdagangan juga menjadi primadona bagi female breadwinners dengan proporsi tertinggi mencapai 23,61%. Selanjutnya, sektor pertanian dan industri pengolahan juga menjadi pilihan utama dengan masing-masing menyerap 17,86% dan 17,37% dari total perempuan pencari nafkah utama. Pola distribusi ini bukan terjadi secara kebetulan. Studi ILO (2018b) menunjukkan bahwa struktur ekonomi suatu wilayah sangat menentukan peluang kerja bagi perempuan. Daerah dengan dominasi sektor maskulin seperti pertambangan atau konstruksi cenderung menawarkan kesempatan kerja yang lebih terbatas bagi perempuan. Sebaliknya, wilayah dengan perkembangan sektor jasa, perdagangan, dan industri pengolahan yang pesat terbukti lebih ramah terhadap partisipasi tenaga kerja perempuan.

Persentase Female Breadwinners Menurut Jumlah Jam Kerja 

dalam Seminggu Terakhir

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sakernas Agustus 2024, diolah

Berdasarkan data tersebut mayoritas female breadwinners menjalani jam kerja normal antara 15–34 jam per minggu, sejalan dengan standar regulasi internasional. Namun, terdapat fakta yang mengejutkan bahwa 21,07% dari mereka terpaksa bekerja lebih dari 49 jam seminggu—masuk dalam kategori jam kerja berlebihan (excessive working hours). Tingginya jam kerja ini sering kali dipicu oleh tuntutan ekonomi yang mendesak, seperti upah rendah yang memaksa mereka mengambil shift tambahan, atau pekerjaan di sektor informal yang tidak memiliki batasan jam kerja jelas. Selain itu, minimnya dukungan kebijakan perusahaan terhadap pekerja perempuan, seperti ketiadaan fleksibilitas waktu atau cuti berbasis kebutuhan keluarga, turut memperburuk situasi ini. Kondisi jam kerja yang melampaui batas ini bukanlah tanpa risiko, karena dapat secara signifikan mengancam kesehatan fisik dan mental, menurunkan produktivitas kerja, serta mengganggu keseimbangan antara kehidupan pribadi dan profesional mereka (OECD, 2021).

Dari sisi tempat kerja, 60,79% female breadwinners bekerja di usaha perorangan, suatu pola yang mencerminkan dominasi status pekerjaan mereka pada kategori wirausaha serta buruh atau karyawan. Pola ini tidak semata-mata mencerminkan preferensi individu, melainkan bentuk strategi adaptif terhadap dua realitas utama: kebutuhan akan fleksibilitas waktu yang tinggi dan keterbatasan akses terhadap sektor formal (Budig, 2006). Namun, hal ini tidak terlepas dari tantangan struktural yang mempersempit ruang gerak ekonomi mereka. Keterbatasan akses terhadap sektor formal ini, selanjutnya, diperparah oleh keterbatasan akses terhadap modal finansial, ketimpangan peluang pendidikan, dan minimnya pelatihan keterampilan profesional. Kondisi tersebut berkontribusi secara signifikan pada fenomena di mana banyak female breadwinners terperangkap dalam pekerjaan berpendapatan rendah dengan tingkat ketidakpastian ekonomi yang tinggi (ILO, 2020b). 

Rata-Rata Pendapatan Female Breadwinners dengan Status Bukan Sebagai Buruh/ Karyawan dan Pengeluaran Per Kapita Menurut Provinsi

Rata-Rata Pendapatan Female Breadwinners Dengan Status Sebagai Buruh/ Karyawan dan Upah Minimum Regional Menurut Provinsi, 2024

Sumber: Badan Pusat Statistik, Sakernas Agustus 2024, diolah

Dilihat dari sisi pendapatan, female breadwinners yang bekerja dengan status berusaha maupun pekerja bebas cenderung memiliki rata-rata pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran per kapita bulanan di tingkat provinsi. Namun, kondisi ini tidak serta merta mengindikasikan bahwa pendapatan mereka mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam satu bulan. Rata-rata pengeluaran per kapita berfungsi sebagai proksi untuk mengestimasi biaya minimum yang dibutuhkan seseorang guna memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Pada kenyataannya, ketika harus menanggung anggota rumah tangga lainnya, total pengeluaran harus disesuaikan dengan mengalikan nilai per kapita sesuai dengan jumlah tanggungan. Dengan demikian, pendapatan yang tampak “lebih tinggi” secara nominal belum tentu memadai untuk memenuhi kebutuhan kolektif rumah tangga.

Pola serupa juga terlihat pada female breadwinners berstatus buruh atau karyawan, di mana mayoritas menikmati pendapatan di atas upah minimum provinsi. Standar upah minimum ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan hidup layak satu pekerja, tanpa mempertimbangkan beban tanggungan keluarga. Fakta ini menyoroti paradoks menarik bahwa pendapatan yang tampak memadai bagi individu tunggal seringkali menjadi tidak cukup ketika harus direntangkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumah tangga yang menjadi tanggungan mereka.

Policy Matters for Women Who Provide

Meskipun secara kuantitatif jumlah female breadwinners masih tergolong minoritas, hanya mencakup sekitar 10% dari total angkatan kerja, kontribusi mereka terhadap ketahanan ekonomi rumah tangga tidak dapat diabaikan. Perempuan dalam posisi ini menghadapi tantangan multidimensional, yakni bertanggung jawab atas kebutuhan domestik sekaligus menjalankan peran sebagai penyedia kebutuhan ekonomi. Namun, dalam menjalankan kedua fungsi tersebut, mereka masih menghadapi berbagai bentuk ketimpangan dan kesenjangan struktural di kedua ranah tersebut. Di ranah domestik, beban kerja rumah tangga yang tidak terbagi secara proporsional menciptakan time poverty, sementara di sektor ekonomi mereka masih berhadapan dengan kesenjangan upah berbasis gender (gender pay gap), keterbatasan akses terhadap pekerjaan layak, serta perlindungan sosial yang minim. Kondisi paradoksal ini menunjukkan bahwa meskipun peran female breadwinners semakin vital, sistem sosial-ekonomi yang ada belum sepenuhnya beradaptasi untuk mendukung posisi mereka.

Fakta ini menegaskan bahwa female breadwinners seharusnya menjadi fokus utama dalam penyusunan kebijakan publik. Hasil temuan dalam tulisan ini menunjukkan perlunya kebijakan yang mendorong perempuan untuk mengakses pendidikan serta pelatihan keterampilan, demi meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka dan keluarganya. Selain itu, pembangunan yang merata di seluruh wilayah Indonesia menjadi aspek krusial untuk memastikan bahwa para perempuan pencari nafkah ini memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses fasilitas pendidikan dan pekerjaan yang layak. Faktor krusial lainnya terletak pada pentingnya melakukan redistribusi peran domestik yang lebih proporsional antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, regulasi pasar tenaga kerja yang memungkinkan laki-laki mengambil cuti untuk terlibat aktif dalam pengasuhan dan pekerjaan rumah tangga bisa jadi langkah penting. Selain berfungsi sebagai upaya pencegahan terhadap kelelahan fisik dan stres kronis pada female breadwinners, kebijakan ini juga dapat membuka peluang lebih besar bagi mereka untuk mengakses pekerjaan penuh waktu yang menawarkan perlindungan hukum, jaminan sosial, dan kondisi kerja yang layak.

Referensi

Akbariandhini, M., & Prakoso, A. F. (2020). ANALISIS FAKTOR TINGKAT PENDIDIKAN, JENIS KELAMIN, DAN STATUS PERKAWINAN TERHADAP PENDAPATAN DI INDONESIA BERDASARKAN IFLS-5. JPEKA : JURNAL PENDIDIKAN EKONOMI, MANAJEMEN DAN KEUANGAN, 13-22.

Badan Pusat Statistik. (2024a). Indikator pasar tenaga kerja Indonesia Agustus 2024 (Vol. 15 No. 2). BPS.

Badan Pusat Statistik. (2024b). Keadaan angkatan kerja di Indonesia Agustus 2024 (Vol. 46 No. 2). BPS.

Budig, M. J. (2006). Gender, self-employment, and earnings: The interlocking structures of family and professional status. Gender & Society, 20(6), 725–753. https://doi.org/10.1177/0891243206293232

Chant, S. (2003). Female household headship and the feminisation of poverty: Facts, fictions and forward strategies (Gender Institute Working Paper). London School of Economics.

Chesley, N. (2016). What does it mean to be a ‘breadwinner’ mother? Journal of Family Issues, 1–26. https://doi.org/10.1177/0192513X16676857

Drago, R., Black, D., & Wooden, M. (2004). Female breadwinner families: Their existence, persistence, and sources. IZA Discussion Paper No. 1308. https://doi.org/10.1177/1440783305058465

Glynn, S. J. (2016, December 29). Breadwinning mothers continue to be the U.S. norms. https://doi.org/10.1177/0192513X19843149

GSMA. (2020). Connected women: The mobile gender gap report 2020. UKAID.

International Labour Organization. (2021). The role of domestic workers in the global economy.

Jayachandran, S. (2015). The roots of gender inequality in developing countries. Annual Review of Economics, 7, 63–88. https://doi.org/10.1146/annurev-economics-080614-115404

Jurczyk, K., Jentsch, B., Sailer, J., & Schier, M. (2019). Female breadwinner families in Germany: New gender roles? Journal of Family Issues, 40(13), 1–25. https://doi.org/10.1177/0192513X19843149

Martin, G., & Kats, V. (2003). Families and work in transition in 12 countries, 1980–2001. Monthly Labor Review, 127(9), 3–31. https://www.bps.go.id

Organisation for Economic Co-operation and Development. (2021). OECD compendium of productivity indicators 2021. OECD Publishing.

Pusparini, G. A., Lestari, S., Dwi, E., & Santoso, J. (2022). Minimalisasi gender gap pada kondisi sosial ekonomi penduduk lanjut usia di Indonesia tahun 2020 melalui keberadaan active ageing. Jurnal Neo Societal, 7(4), 171–180. http://dx.doi.org/10.52423/jns.v7i4.24588

Setyonaluri, D., et al. (2021). Social norms and women’s economic participation in Indonesia. Investing in Women, Proppera, dan Universitas Indonesia.

SMERU Research Institute. (2014). Menguak keberadaan dan kehidupan perempuan kepala keluarga: Laporan hasil sistem pemantauan kesejahteraan berbasis komunitas (SPKBK-PEKKA).

Sofiani, T. (2017). Perlindungan hukum pekerja perempuan sektor informal. Jurnal Muwazah, 9(2), 138–150.

World Bank. (2019). Women, business and the law 2019: A decade of reform. World Bank.

Leave a comment