Nimeesha Kalila Anandita, Rani Dwi Meiliana, Muhammad Nibras Shidqi
120610230001, 120610230002, 120610230008
Email: nimeesha23001@mail.unpad.ac.id, rani23001@mail.unpad.ac.id, muhammad23011@mail.unpad.ac.id
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Padjadjaran
PENDAHULUAN
Pertanian memiliki peran vital dalam perekonomian Indonesia, tidak hanya sebagai penunjang utama ketersediaan pangan, tetapi juga sebagai pekerjaan bagi masyarakat. Menurut Undang-undang No. 19 tahun 2013, pertanian adalah kegiatan mengelola sumber daya alam hayati dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja dan manajemen untuk menghasilkan komoditas pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem. Sektor ini telah menjadi bagian fundamental dari kehidupan masyarakat Indonesia sejak lama, terutama karena perannya yang krusial dalam menyokong kebutuhan pangan nasional dan Pembangunan ekonomi. Namun, dalam 10 tahun terakhir, terjadi perubahan substansial dalam minat generasi muda akan bekerja di sektor ini. Generasi muda cenderung memilih sektor lain seperti teknologi, perbankan, dan industri kreatif, yang dinilai sebagai “clean work”, yaitu pekerjaan modern yang tidak melibatkan tenaga fisik. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran mengenai regenerasi petani yang kian stagnan.
Degradasi minat generasi muda perkara sektor pertanian bukanlah masalah yang muncul seketika; beragam faktor andil dalam fenomena ini. Menurut An Nawawi, F., Alfira, Z. N., & Anneja, A. S. (2022), terdapat faktor internal dan eksternal yang menjadi penyebab hal ini.
Secara internal, stigma negatif terhadap pertanian menjadi salah satu hambatan utama. Bekerja di sektor pertanian kerap dianggap tidak bergengsi dan kurang menarik, terutama bagi generasi muda dengan tingkat pendidikan tinggi. Persepsi ini didukung oleh kenyataan bahwa kesejahteraan petani umumnya di bawah standar dibandingkan pekerja di sektor lain seperti perkantoran dan bisnis. Generasi muda, khususnya yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, cenderung untuk mencari pekerjaan di sektor yang dianggap lebih menjanjikan di kota seperti menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan besar. Semakin tingginya tingkat pendidikan yang dimiliki seorang individu, semakin mereka enggan untuk memiliki keinginan atau bahkan pikiran untuk bekerja di sektor pertanian. Mereka lebih memilih untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi pendidikan mereka; pekerjaan yang lebih mudah dalam arti tidak membutuhkan tenaga fisik seperti bertani tetapi mendatangkan insentif yang lebih besar.
Di sisi eksternal, perkembangan teknologi dan globalisasi telah membuka peluang yang lebih menjamin secara finansial dan prestise di sektor teknologi dan bisnis modern. Kondisi pertanian di Indonesia yang stagnan dan minim inovasi memperburuk persepsi generasi muda untuk menempuh karir di sektor pertanian. Ditambah lagi, rendahnya promosi mengenai pentingnya peran pertanian bagi keberlanjutan ekonomi dan sosial semakin mengikis minat generasi muda.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah usaha pertanian menurun signifikan sebesar 7,42% pada tahun 2023 dibandingkan tahun 2013. Penurunan ini diiringi dengan perubahan demografi petani; proporsi petani muda berusia di bawah 44 tahun semakin berkurang. Generasi Z dan Milenial, yang mendominasi usia produktif, hanya menyumbang proporsi kecil sebagai pelaku di sektor pertanian, yakni masing-masing 2,14% dan 25,61%. Sebaliknya, Generasi X, yang sebagian besar berusia 43-58 tahun, masih menjadi mayoritas dengan proporsi 42,39%. Tren ini menunjukkan bahwa sektor pertaniat kurang diminati oleh generasi muda yang semestinya menjadi pemeran utama regenerasi petani. Jika tren ini tidak membaik, produktivitas pertanian dapat terancam, yang selanjutnya memengaruhi ketahanan pangan dan bahkan perekonomian Indonesia secara menyeluruh.
Situasi ini membutuhkan atensi khusus karena dampaknya tidak hanya terbatas pada kebutuhan pangan nasional, melainkan perekonomian negara. Dengan semakin menurunnya jumlah generasi muda yang terjun ke sektor pertanian, produktivitas pertanian di masa depan dapat terancam. Ketahanan pangan nasional menjadi rentan jika tidak digalakkannya upaya untuk membangun kembali atensi generasi muda akan sektor pertanian. Ketergantungan pada impor pangan akan meningkat, sehingga melemahkan kedaulatan pangan Indonesia dan mengiritasi ketimpangan ekonomi antarwilayah desa dan kota. Sementara itu, kesenjangan antargenerasi dalam sektor pertanian semakin nyata, dengan didominasinya pertanian oleh petani berusia lanjut tanpa penerus dari generasi muda. Akibatnya, regenerasi petani terkekang dan keberlanjutan usaha pertanian semakin rawan. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada ekonomi nasional tetapi juga pada aspek sosial, seperti meningkatnya angka pengangguran di desa dan menurunnya kesempatan mata pencaharian di wilayah agraris. Oleh sebab itu, dibutuhkannya upaya komprehensif yang melibatkan berbagai pihak. Salah satu Langkah penting adalah modernisasi teknologi pertanian dengan teknologi berbasis digital terkini seperti Internet of Things (IoT) dan Artificial Intelligence (AI), yang dapat mendorong efisiensi produksi di sektor pertanian dan menarik perhatian generasi muda. Selain itu, pemberian insentif finansial bagi petani muda, pelatihan keterampilan pertanian, dan diseminasi kesadaran akan pentingnya keberlangsungan sektor ini harus digalakkan. Misalnya, kampanye nasional yang menjabarkan pertanian sebagai sektor modern, berdaya saing tinggi, dan berdampak signifikan bagi pembangunan nasional yang berkelanjutan dapat mengubah persepsi negative yang selama ini melekat.
Keberlanjutan sektor pertanian merupakan prasyarat penting bagi ketahanan pangan, stabilitas sosial-ekonomi, dan pembangunan berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan teknologi, kebijakan insentif, dan edukasi masyarakat, regenerasi sektor ini dapat didorong kembali, sehingga menciptakan fondasi yang lebih kuat bagi masa depan Indonesia. (Nimeesha Kalila Anandita)
PEMBAHASAN
Sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan pangan suatu negara. Namun, belakangan ini minat generasi muda terhadap bidang tersebut semakin menurun. Ada banyak faktor berbeda yang berkontribusi terhadap fenomena ini, mulai dari persepsi negatif terhadap pertanian sebagai kegiatan yang tidak menarik hingga tantangan ekonomi dan lingkungan yang dihadapi petani. Generasi muda sering memandang pertanian sebagai pilihan karier yang tidak menguntungkan, berisiko tinggi, dan bereputasi rendah. Melalui analisis mendalam, subbab ini akan mengkaji berbagai penyebab keengganan sumber daya manusia usia produktif untuk bekerja di sektor pertanian, antara lain persepsi masyarakat, ketidakstabilan kondisi perekonomian, terbatasnya akses terhadap lahan, dan lambatnya suksesi pengelolaan pertanian. Dengan pemahaman tersebut diharapkan dapat ditemukan solusi yang menarik minat generasi muda dan menjamin keberlanjutan industri pertanian di masa depan.
Persepsi Pertanian
Sayangnya, sektor pertanian sering kali dianggap sebagai kegiatan pertanian murni, dan kebijakan pemerintah di sektor pertanian terfokus pada pengelolaan pertanian. Terkait pembahasan dalam esai ini, keinginan generasi muda untuk bekerja di bidang pertanian juga dapat dilihat dari sudut pandang pertanian sebagai kegiatan produksi pertanian.
Sektor pertanian secara umum sering kali dianggap oleh generasi muda hanya sebatas kegiatan bertani yang kurang menarik. Pelaku harus bekerja di bawah terik matahari dan sumber daya lahan yang kotor. Publikasi tentang pertanian seringkali memuat berita-berita kegagalan pertanian seperti banjir, kekeringan, serangan hama, dan puso, yang mana secara tidak langsung menjadi black campaign bagi mahasiswa pertanian.
Pandangan ini perlu di perlurus, dan juga persepsi pertanian sebagai sesuatu yang kotor, sulit dan berbahaya perlu diubah menjadi persepsi yang bersifat teknis dan berwibawa.
Lingkungan Berisiko Tinggi
Pekerjaan pertanian seringkali dianggap berisiko tinggi, terutama dari sudut pandang lingkungan dari sejumlah faktor yang saling terkait. Salah satu kekhawatiran utama adalah kondisi cuaca yang tidak dapat diprediksi. Pertanian sangatlah bergantung pada kondisi cuaca yang sulit diprediksi dan dipengaruhi oleh perubahan iklim. Ahli lingkungan mencatat bahwa meningkatnya frekuensi dan tingkat keparahan kejadian cuaca ekstrem seperti kekeringan, banjir, dan badai dapat merusak tanaman dan mengancam penghidupan petani. Ketidakpastian ini menjadikan pertanian pada dasarnya berisiko, karena petani dapat menderita kerugian besar akibat faktor-faktor di luar kendali mereka.
Degradasi lingkungan juga menjadi perhatian yang cukup signifikan bagi para pencinta lingkungan dalam hal pertanian. Praktik pertanian yang tidak berkelanjutan bisa menyebabkan degradasi lahan, kelangkaan air, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Dampak lingkungan jangka panjang ini bisa membahayakan kelangsungan hidup pertanian sebagai sebuah profesi di masa depan. Pakar lingkungan menekankan bahwa Kesehatan ekosistem berkaitan erat dengan praktik pertanian, dan juga degradasi sumber daya alam dapat menciptakan situasi genting bagi petani.
Selain itu juga, penggunaan pestisida serta bahan kimia dalam pertanian konvensional dapat menimbulkan risiko Kesehatan bagi para petani dan masyarakat sekitar. Pakar lingkungan sangat prihatin dengan bahaya yang ada akibat dari paparan zat-zat tersebut, yang dapat menimbulkan gangguan Kesehatan yang serius dan berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan.
Ketidakstabilan Ekonomi
Pasar pertanian sangatlah dipengaruhi oleh perubahan konstan berdasarkan permintaan dan penawaran, kebijakan perdagangan global, dan preferensi konsumen. Pakar lingkungan menunjukkan bahwa dinamika pasar ini dapat menyebabkan ketidakstabilan keuangan bagi petani, yang mana mungkin saja para petani menghadapi kesulitan dalam menjual produk mereka dengan harga yang menunguntungkan. Ketidakstabilan ekonomi ini menambah risiko terkait dengan pekerjaan pertanian, karena petani tidak hanya menghadapi tantangan lingkungan tetapi juga kondisi pasar yang tidak stabil.
Petani seringkali beroperasi dengan margin keuntungan yang rendah, hal inilah yang membuat mereka rentan secara ekonomi. Para pakar lingkungan menunjukkan bahwa kerentanan ini diperburuk oleh tantangan lingkungan, seperti kegagalan panen akibat perubahan iklim. Perubahan peraturan juga mempunyai andil dalam operasional pertanian dan profitabilitas, sehingga menambah tingkat risiko. Petani mungkin menghadapi peningkatan biaya atau pembatasan yang dapat berdampak pada operasi mereka, sehingga hal ini menjadikan mata pencaharian pertanian menjadi lebih berisiko.
Selain itu, melalui publikasinya Susilowati juga menjelaskan bahwa dampak petani yang menua dan penurunan jumlah petani muda yang berpartisipasi di sektor pertanian. Pergeseran demografis ini dapat menyebabkan kurangnya inovasi dan teknik pertanian modern, sehingga memperburuk ketidakstabilan ekonomi. Petani muda sering kali bersedia menerapkan teknologi dan metode baru yang dapat meningkatkan produktivitas dan keuntungan. Namun, minat generasi muda terhadap pertanian menurun karena persepsi prestise yang rendah dan risiko yang tinggi, sehingga sektor ini mungkin kesulitan beradaptasi terhadap perubahan kondisi ekonomi.
Singkatnya, ketidakstabilan ekonomi yang dihadapi petani merupakan permasalahan yang memiliki banyak sisi, dipengaruhi oleh fluktuasi pasar, terbatasnya diversifikasi, perubahan demografi dan kebutuhan akan kebijakan yang mendukung. Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang menantang bagi petani, sehingga sulit mencapai keberhasilan ekonomi berkelanjutan di sektor pertanian.
Akses Lahan yang Terbatas
Pekerja muda yang mulai bekerja di sektor pertanian mempunyai kemampuan keuangan yang terbatas untuk memiliki lahan yang luas, kecuali mereka mewarisi atau menggarap tanah milik orang tuanya. Dengan luas lahan kurang dari 0,25 hektar, memulai usaha pertanian berbasis lahan atau pertanian konvensional (misalnya usaha tani tanaman pangan) sangat tidak menarik bagi para petani muda. Hasil analisis Lokollo et al. (2007), dengan menggunakan data sensus pertanian tahun 1983 dan 1993, menunjukkan adanya penurunan jumlah petani berusia di bawah 35 tahun, yang sebagian besar hanya memiliki lahan sekitar 0,25 hektar.
Suksesi Lambat dalam Manajemen Pertanian
Suksesi yang lambat dalam pengelolaan pertanian mengacu pada pengalihan tanggung jawab pengelolaan secara bertahap dan seringkali tidak efektif dari satu generasi petani ke generasi berikutnya. Permasalahan ini sangat penting dalam konteks angkatan kerja pertanian yang menua, dimana petani lanjut usia pensiun atau mengurangi keterlibatan mereka di bidang pertanian. Dalam publikasinya, Susilowati mengemukakan bahwa seiring dengan mundurnya para petani tua, kesenjangan dalam transfer pengetahuan dan keterampilan penting yang diperlukan untuk pengelolaan pertanian yang efektif semakin melebar. Kurangnya suksesi yang cepat dan efektif dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan inovasi di bidang pertanian, yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan sektor pertanian.
Dampak suksesi yang lambat dalam pengelolaan pertanian tidak hanya berdampak pada pertanian individu; hal ini dapat menyebabkan stagnasi pada seluruh sektor pertanian. Susilowati menunjukkan melalui publikasinya bahwa praktik-praktik yang sudah ketinggalan zaman bisa bertahan tanpa kontribusi ide-ide dan teknologi baru yang bisa dihadirkan oleh generasi muda. Stagnasi ini dapat memperburuk tantangan yang dihadapi sektor pertanian, termasuk ketidakstabilan ekonomi dan berkurangnya daya saing. Oleh karena itu, mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan suksesi yang lambat sangat penting untuk memastikan masa depan pertanian berkelanjutan dan menarik generasi muda untuk bergabung dalam sektor ini.
Insentif Tidak Mencukup
Faktor lainnya adalah pull factor atau faktor eksternal, seperti insentif yang lebih tinggi untuk bekerja di sektor non-pertanian dan persepsi pekerja muda non-pertanian di perkotaan lebih bergengsi. Mereka lebih memilih merantau ke kota meski hanya bekerja sebagai kuli bangunan atau pekerjaan informal lainnya. Bagi mereka yang berpendidikan tinggi, mereka bekerja pada pekerjaan formal seperti PNS, industri, jasa dan sektor lainnya. Fenomena ini terjadi secara seragam di sebagian besar ekosistem pertanian (Susilowati et al. 2012). Selain itu, seiring dengan meningkatnya pencapaian pendidikan, pilihan lapangan kerja yang dianggap lebih terjangkau menjadi lebih penting dan selektif. Bekerja di sektor non-pertanian di kota menjadi pilihan dibandingkan kembali ke pedesaan dan bekerja di bidang pertanian. (Muhammad Nibras Shidqi)
Untuk menjamin keberlanjutan sektor pertanian demi keberlangsungan hidup Masyarakat, ketahanan pangan, dan ekonomi negara, diperlukan strategi yang inovatif dan sesuai dengan perkembangan zaman guna meningkatkan daya tarik generasi muda terhadap sektor ini. Menurut Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia (2020) dalam Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2020-2024, menyebutkan strategi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia pertanian dalam hal regenerasi dan penumbuhan minat generasi muda pertanian dapat dilakukan dengan langkah operasional.
Langkah-langkah tersebut berupa inisiasi penumbuhan wirausahawan muda pertanian bekerja sama dengan pihak Perguruan Tinggi dan swasta. Kementerian Pertanian, melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian (BPPSDMP), telah meluncurkan program Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian (PWMP) pada 2016 lalu yang diharapkan program ini mampu mendorong mahasiswa menjadi wirausahawan atau penggerak lapangan kerja di sektor pertanian. Selain itu, pelibatan mahasiswa, alumni, dan pemuda tani penting untuk mengintensifkan pendampingan pembangunan pertanian. Berikutnya, penumbuhan kelompok usaha bersama (KUB) yang difokuskan bidang pertanian maju, modern, dan mandiri bagi pemuda petani. Menurut Tenaga Ahli Menteri Pertanian, Afnan Malay, KUB merupakan wadah untuk menampung profesionalitas kelompok muda yang dianggap mampu memberikan kontribusi dalam membangkitkan sektor pertanian. Terakhir, pelatihan magang bagi pemuda tani dalam bidang pertanian. Program pelatihan magang ini bertujuan untuk memberikan pengalaman kerja, pengetahuan, serta keterampilan bagi generasi muda sehingga mampu meningkatkan daya tarik mereka untuk terjun ke sektor pertanian.
Sejalan dengan hal tersebut, Susilowati (2016) menyatakan bahwa terdapat beberapa kebijakan yang dapat diterapkan dalam meningkatkan daya tarik generasi muda untuk bekerja di sektor pertanian, antara lain: (1) upaya mengubah pandangan generasi muda terhadap sektor pertanian yang dianggap sebagai bidang tradisional dan kurang menjanjikan, (2) pengembangan agroindustri, (3) inovasi teknologi, (4) insentif, (5) pengembangan pertanian modern, (6) pelatihan serta pemberdayaan petani muda, dan terakhir (7) memperkenalkan pertanian mulai sejak dini kepada generasi muda.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, generasi muda menganggap petani merupakan pekerjaan yang tidak bergengsi dan ditujukan untuk individu yang tidak berpendidikan tinggi. Untuk mengubah persepsi tersebut perlu meyakinkan generasi muda bahwa pertanian bukanlah pekerjaan kotor, tidak bergengsi, atau hanya diperuntukkan bagi mereka yang berpendidikan rendah saja melainkan pertanian merupakan bidang yang menjanjikan dan kontemporer. Generasi muda saat ini mahir dalam penggunaan teknologi dan mampu menggunakan peralatan-peralatan canggih yang mampu mempermudah bidang pertanian saat ini. Selain itu, dalam hal pemasaran, saat ini sudah banyak pasar pertanian online sehingga generasi muda mampu melihat potensi pekerjaan di sektor pertanian sebagai pekerjaan yang menarik dan penuh peluang.
Salah satu alasan generasi muda tidak tertarik bekerja di sektor pertanian adalah karena pandangan terkait kegiatan pertanian yang identic dengan on farm dan menggunakan system yang konvensional. Oleh karena itu, pengembangan agroindustri dan modernisasi pertanian dengan menerapkan inovasi teknologi digital menjadi sangat sejalan dengan Revolusi Industri 4.0 yang membuat kegiatan pertanian menjadi lebih efisien dan menarik bagi generasi muda. Modernisasi pertanian ini mencangkup pada penggunaan Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), human machine interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi printing 3D. Contohnya adalah penggunaan sensor cerdas untuk memantau kondisi lahan, sistem irigasi otomatis berdasarkan data yang ditangkap oleh sensor, penggunaan robot dan drone untuk melakukan penyemprotan atau panen dengan efisien, aplikasi smart farming yang terhubung dengan Internet of Things (IoT), serta penggunaan AI dalam melakukan analisis data pertanian.
Pemberian insentif oleh pemerintah di sektor pertanian sangat penting untuk menarik minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian. Insentif yang diberikan dapat berupa insentif pelatihan terkait teknik budidaya pertanian, subsidi, dukungan peralatan pertanian modern, pemberian hak penguasaan tanah, atau dalam bentuk lainnya. Dilansir dari situs resmi DPR RI (https://jdih.dpr.go.id, diakses 15 November 2024) baru-baru ini disebutkan bahwa pemerintah berencana memberikan insentif sebesar Rp10 juta perbulan bagi petani milenial guna menarik minat generasi muda di sektor pertanian. Rencana ini mendapat dukungan dari Komisi IV DPR RI, yang menganggap insentif tersebut sangat penting untuk meningkatkan petani dan mendorong generasi muda terjun ke sektor pertanian. Selain itu, Fraksi Gerindra, yang kerap disapa Titiek, juga berharap insentif ini mampu mendorong perkembangan industri pertanian menjadi lebih modern dan efisien, serta dapat memperluas peluang bagi generasi muda untuk berkontribusi dalam menciptakan ketahanan pangan berkelanjutan.
Menumbuhkan minat generasi muda penting dilakukan mulai sejak usia dini dengan mengajak mereka terlibat langsung dalam kegiatan pertanian. Melalui dengan mengajarkan hal-hal kecil terkait pertanian kepada anak-anak usia dini mampu menumbuhkan ketertarikan mereka terhadap pertanian. Untuk mendorong minat dalam bekerja di sektor pertanian, kurikulum ekstrakurikuler di sekolah mulai dari TK hingga SMA perlu ditingkatkan. Selain itu, sangat penting bagi orang tua untuk memahami pentingnya keberlanjutan pertanian demi menjaga ketahanan pangan, serta melakukan sosialisasi dan kerjasama berkelanjutan antara penyuluh dan petani muda guna mempertahankan dan meningkatkan minat generasi muda dalam sektor ini. (Rani Dwi Meiliana)
KESIMPULAN DAN SARAN
Ketahanan pangan dan perekonomian Indonesia sangat bergantung pada sektor pertanian. Namun, sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menarik minat generasi muda. Berbagai faktor internal dan eksternal terus mengurangi minat generasi muda terhadap sektor ini, seperti pandangan generasi muda terhadap pertanian sebagai pekerjaan yang tidak menarik dan penuh risiko, ketidakstabilan ekonomi, ketidakpastian lingkungan, keterbatasan akses terhadap lahan, lambatnya suksesi pengelolaan pertanian, dan kurangnya insentif. Menurunnya minat generasi muda dalam bekerja di sektor pertanian dapat mengancam ketahanan pangan nasional, meningkatkan ketergantungan pada impor, dan memengaruhi stabilitas ekonomi negara jika tidak segera diatasi. Oleh karena itu, untuk menjamin bahwa sektor pertanian akan terus berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan sosial Indonesia, diperlukan perhatian dan langkah strategis untuk memastikan keberlanjutannya.
Upaya mengubah pandangan generasi muda terhadap sektor pertanian menjadi salah satu langkah strategis. Perlu ditekankan bahwa pekerjaan di sektor pertanian dapat menjadi pekerjaan modern yang memiliki nilai potensial tinggi dengan penerapan inovasi teknologi. Untuk meningkatkan daya tarik generasi muda terhadap sektor ini, modernisasi pertanian dan pengembangan agroindustri harus menjadi prioritas utama. Selain itu, pemerintah harus memperkuat kebijakan insentif berupa pelatihan, dukungan peralatan pertanian modern, hak penguasaan lahan, serta insentif berupa subsidi.
Tidak lupa, penting untuk mengenalkan sektor pertanian sejak usia dini melalui integrasi kurikulum pendidikan dan kegiatan ekstrakurikuler yang dapat dimulai melalui pengajaran hal-hal kecil terkait kegiatan pertanian agar dapat menumbuhkan minat mereka secara alami. Terakhir, pentingnya kolaborasi antara pemangku kebijakan baik pemerintah, pihak Perguruan Tinggi, dan swasta dalam membangun program wirausaha petani muda serta memberikan pelatihan dan pendampingan.
Dengan upaya-upaya ini, diharapkan mampu meningkatkan minat generasi muda terhadap sektor pertanian supaya tetap menjadi pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan di Indonesia.
Daftar Pustaka
Arvianti, E. Y., Masyhuri, Waluyati, L. R., & Darwanto, D. H. (2019). Gambaran Krisis Petani Muda di Indonesia. Jurnal Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, 166-180.
Aziza, T. N., Surito, & Darmi. (2022). PETANI MILENIAL: REGENERASI PETANI DI SEKTOR PERTANIAN. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 1-11.
Azmi, Y., Yulistiyono, A., Karyasa, T. B., Putra, R. P., Salama, S. H., Thamrin, N. T., . . . Rizki, F. H. (2022). Pertanian Terpadu. Padang: PT Global Eksekutif Teknologi.
Badan Pusat Statistik. (2023). Mencatat Pertanian Indonesia untuk Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani: Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 Tahap I.
Fami, A., Naillafatich, I. V., Mulyono, Y. R., Musthafa, R. A., Nurwullan, E., Margaretha, & Ekayujaya. (2021). Petani Mileial Petani Tidak Harus Kotor. Balai Besar Pengkaji dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP).
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2020). Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2020-2024.
KOMISI IV DPR RI. (2024, November 6). Komisi IV DUkung Rencana Pemberian Insentif RP10 Juta per Bulan untuk Petani Milenial. Retrieved from Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI: https://jdih.dpr.go.id/berita/detail/id/52354/t/Komisi+IV+Dukung+Rencana+Pemberian+Insentif+Rp10+Juta+per+Bulan+untuk+Petani+Milenial
Nawawi, F. A., Alfira, Z. N., & Anneja, A. S. (2022). Faktor Penyebab Ketidaktertarikan Generasi Muda Pada Sektor Pertanian Serta Penanganannya. Prosiding Seminar Nasional Ilmu Ilmu Sosial (SNIIS), 585-593.
Oktafiani, I., Sitohang, M. Y., & Saleh, R. (2021). Sulitnya Regenerasi Petani pada Kelompok Generasi Muda. Jurnal Studi Pemuda, 1-17.
Pertanian23. (2024). Kementerian Pertanian Bentuk Gerakan Pemuda Tani Indonesia. Retrieved from Politeknik Pembangunan Pertanian Yogyakarta Magelang.
Susilowati, S. H. (2016). FENOMENA PENUAAN PETANI DAN BERKURANGNYA TENAGA KERJA MUDA SERTA IMPLIKASINYA BAGI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 35-55.