Pembuka Kuartal Pertama 2025: Mengukur Ketahanan IHSG dan Wall Street di Pasar Saham
IHSG merupakan salah satu barometer yang bisa menggambarkan kesehatan perekonomian Indonesia hanya dalam beberapa menit bahkan detik. Setiap pergerakan naik atau turunnya grafik bukan hanya sekadar angka, tetapi menggambarkan tingkat kepercayaan investor, stabilitas ekonomi, dan prospek pertumbuhan negara Indonesia di masa depan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) adalah suatu angka indeks yang dihitung dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi sebagai tolok ukur dalam menganalisis pergerakan harga saham dari waktu ke waktu. Indeks ini digunakan untuk membandingkan berbagai kejadian yang berhubungan dengan fluktuasi harga saham sehingga memberikan gambaran menyeluruh mengenai tren pasar dan kondisi ekonomi secara umum. Menurut Hartono J. (2010), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) adalah ukuran kinerja seluruh saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Sebagai barometer utama pasar modal, IHSG mencerminkan kondisi ekonomi nasional dengan memperhitungkan berbagai faktor, mulai dari kebijakan pemerintah, kondisi makroekonomi, hingga sentimen global. Ketika IHSG naik, hal ini menandakan optimisme pasar dan stabilitas ekonomi, sementara kejatuhannya sering kali menjadi sinyal adanya ketidakpastian yang dapat berdampak luas pada investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Pada tanggal 18 Maret 2025, sektor pasar modal Indonesia dikejutkan oleh turunnya IHSG di level yang sangat rendah yaitu sebesar 3,84 % atau setara dengan Rp6.011,84. Akibatnya, Bursa Efek Indonesia terpaksa melakukan trading halt atau pemberhentian perdagangan sementara. Penurunan tajam ini mencerminkan tingginya tekanan jual di pasar yang disebabkan oleh berbagai faktor, seperti ketidakpastian ekonomi global, sentimen negatif investor, atau peristiwa eksternal yang memengaruhi kepercayaan pasar. Hal ini menunjukkan bahwa banyak investor melepas saham mereka sehingga mendorong harga saham turun secara drastis dalam satu hari perdagangan. Salah satu ekonom Universitas Gadjah Mada, Dr. I Wayan Nuka berpendapat bahwa penurunan IHSG bukan sekadar cerminan terhadap kesehatan ekonomi, tetapi juga persepsi investor terhadap stabilitas nasional. Dalam semalam, triliunan rupiah lenyap dari pasar modal, meninggalkan kekhawatiran besar bagi investor dan masyarakat luas. Sementara itu di Wall Street, pembanding IHSG adalah indeks S&P 500 (Standard & Poor’s 500), yaitu merupakan indeks yang mewakili kinerja 500 perusahaan besar di Amerika Serikat dan sering dijadikan acuan utama untuk melihat kondisi pasar saham global. Berbeda dengan IHSG yang mengalami tekanan signifikan, S&P 500 menunjukkan pergerakan yang lebih stabil dalam periode yang sama, mencerminkan perbedaan fundamental antara kedua pasar. Jika IHSG lebih rentan terhadap faktor domestik, S&P 500 cenderung lebih tangguh karena berbagai faktor yang mendukung. Stabilitas S&P 500 di tengah ketidakpastian ekonomi global menjadi cerminan optimisme pasar terhadap pemulihan ekonomi AS. Di sisi lain, pergerakan IHSG yang lebih rentan menunjukkan adanya tantangan struktural yang masih perlu diperkuat untuk menghadapi tekanan eksternal maupun internal.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Pergerakan IHSG di Kuartal Pertama 2025
- Faktor Domestik
- Defisitnya APBN di awal tahun 2025
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terjadi ketika belanja negara lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh, baik dari pajak dan bea cukai, maupun sumber pendapatan lainnya. Defisit ini seringkali menjadi indikator penting dalam menilai kebijakan fiskal suatu negara dan bagaimana pemerintah mengelola keseimbangan antara belanja dan pendapatan.
Sumber : CNBC Indonesia (diolah)
Pada 2023 hingga 2024, pemerintah berupaya menjaga defisit dalam batas aman dengan menyeimbangkan belanja dan pendapatan, didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil serta peningkatan penerimaan negara. Akan tetapi, Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara hingga Februari 2025 mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13%. Hal ini mengundang kekhawatiran masyarakat karena jika APBN mengalami penurunan secara terus-menerus, maka defisit akan melebar dan membahayakan perekonomian negara.
- Penurunan Penerimaan Negara
Berdasarkan data yang diambil dari suarasurabaya.net, Indonesia mengalami penurunan penerimaan negara sebesar 30% yang mencerminkan melemahnya penerimaan negara akibat perlambatan ekonomi, insentif pajak, dan rendahnya kepatuhan pajak. Hal ini mengakibatkan melebarnya defisit APBN karena penerimaan tidak mampu menutupi belanja pemerintah. Kondisi ini meningkatkan risiko fiskal, memicu kekhawatiran investor, dan berkontribusi pada penurunan IHSG. Menurut Maximilianus Nicodemus, Associate Director Pilarmas Investindo Sekuritas, penurunan penerimaan pajak negara mendorong penerbitan utang lebih besar dan pelemahan rupiah sehingga investor cenderung beralih ke aset yang lebih stabil, seperti obligasi.
- Kebijakan Kontroversial
Kebijakan pemerintah yang kontroversial dapat memicu sentimen negatif di pasar keuangan, seperti yang terjadi pada anjloknya IHSG baru-baru ini. Salah satu kebijakan yang disorot adalah penghapusan pencatatan utang Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang menimbulkan kekhawatiran tentang transparansi sektor keuangan. Hal ini mendorong aksi jual saham, terutama di sektor perbankan BUMN. Dr. Rijadh Djatu Winardi dari UGM menyoroti bahwa ketidakjelasan aturan ini semakin melemahkan kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi nasional. Selain faktor domestik, ketidakpastian ekonomi global juga berkontribusi terhadap penurunan IHSG. Direktur Utama BEI, Iman Rachman, menjelaskan bahwa volatilitas IHSG dipengaruhi oleh faktor global, termasuk kebijakan moneter dunia yang membuat investor bersikap lebih berhati-hati. Kombinasi antara kebijakan domestik yang kurang tepat dan tekanan eksternal ini memperburuk kondisi pasar, menandakan perlunya evaluasi kebijakan yang lebih matang dan responsif.
- Faktor Global
- Penurunan Peringkat Saham oleh Lembaga Internasional
Penurunan peringkat saham Indonesia oleh Morgan Stanley dan Goldman Sachs mencerminkan meningkatnya risiko ekonomi domestik dan melemahnya prospek pasar keuangan. MSCI Indonesia diturunkan ke ‘underweight’ akibat ketidakpastian ekonomi dan penurunan return on equity (ROE), yang menunjukkan berkurangnya profitabilitas perusahaan dan daya tarik investasi. Goldman Sachs juga memangkas peringkat Indonesia, memperburuk sentimen investor dan mendorong arus keluar dana asing. Kondisi ini menekan IHSG, melemahkan rupiah, serta meningkatkan volatilitas pasar keuangan. Untuk menarik investasi, pemerintah mungkin harus menaikkan imbal hasil obligasi yang dapat memperbesar biaya pinjaman bagi negara dan sektor swasta, memperlambat ekspansi ekonomi, serta membuat investor semakin berhati-hati terhadap pasar Indonesia.
- Adanya Ketegangan Geopolitik
Meningkatnya ketegangan antara Rusia dan negara-negara Barat, termasuk sanksi ekonomi serta potensi eskalasi konflik, menambah ketidakpastian di pasar global. Di sisi lain, perang dagang antara Amerika Serikat dan China memicu kebijakan proteksionisme, tarif tinggi, serta gangguan rantai pasok, yang semakin menekan pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam kondisi seperti ini, investor cenderung menghindari aset berisiko di negara berkembang seperti Indonesia, memilih untuk menarik dana mereka dari IHSG dan mengalihkan investasi ke instrumen yang lebih aman, seperti obligasi Amerika Serikat atau emas.
S&P 500 Bertahan: Mengapa Pasar AS Lebih Stabil?
Selama periode Januari–Maret 2025, pergerakan S&P 500 mengalami kestabilan yang lebih baik dibandingkan IHSG. Meskipun kedua indeks mengalami koreksi, S&P 500 tampak lebih tangguh dengan pola pemulihan yang lebih cepat. Sementara itu, IHSG cenderung mengalami volatilitas yang lebih tinggi. Perbedaan ini mencerminkan adanya perbedaan yang signifikan antara pasar Amerika Serikat dan Indonesia dalam menghadapi dinamika ekonomi secara lokal maupun global. Berikut merupakan grafik pergerakan kedua indeks saham pada periode yang sama berdasarkan data yang diambil melalui TradingView.com
Grafik pergerakan Indeks S&P 500 selama kuartal pertama di 2025
Grafik pergerakan IHSG selama kuartal pertama di 2025
Berdasarkan data yang bersumber dari id.investing.com, berikut merupakan ringkasan data terkait pergerakan indeks S&P 500 dan IHSG:
Sumber data : id.investing.com (diolah)
Sumber data : id.investing.com (diolah)
Terlihat bahwa kedua index sama-sama mengalami penurunan pada tiga bulan pertama di tahun ini. Pada Januari 2025, S&P 500 dibuka pada 5.903,26 USD dan mencapai level tertinggi di 6.128,18 USD. Meskipun sempat menyentuh harga terendah 5.773,31 USD, indeks akhirnya ditutup di 6.040,53 USD, mencatat kenaikan 2,70% dibandingkan harga pembukaan. Namun, di bulan Februari, terjadi penurunan dengan harga pembukaan 5.856,74 USD harga tertinggi 6.147,43 USD dan harga terendah 5.837,66 USD. Indeks ditutup di 5.954,50 USD, mengalami penurunan 1,42% dari bulan sebelumnya. Penurunan semakin tajam di Maret 2025, dengan harga pembukaan harga di 5.968,33 USD, harga tertinggi hanya pada 5.986,09 USD, serta harga terendah 5.488,73 USD. Penutupan bulan ini di 5.611,85 USD, mengalami penurunan signifikan sebesar -5,75%. Secara keseluruhan, S&P 500 menunjukkan volatilitas yang cukup tinggi dengan peningkatan di awal tahun namun diikuti oleh tren menurun dalam dua bulan berikutnya.
Sementara itu, IHSG Pada Januari 2025 membuka harga di Rp7.092,43, mencatat level tertinggi Rp7.324,63 dan level terendah Rp6.956,67. Indeks ditutup di Rp7.109,20, mengalami kenaikan 0,41%. Akan tetapi pada Februari mengalami penurunan tajam, dengan harga pembukaan Rp7.087,75, harga tertinggi Rp7.125,94, dan harga terendah Rp6.246,28. IHSG ditutup di Rp 6.270,60, turun drastis sebesar -11,80%. Di bulan Maret, IHSG kembali pulih dengan harga pembukaan Rp6.362,15, harga tertinggi Rp6.707,39, dan harga terendah Rp5.967,19. Penutupan berada di Rp6.510,62, mengalami rebound 3,83%. Secara umum, IHSG mengalami volatilitas ekstrem dengan penurunan tajam di Februari, tetapi mulai menunjukkan pemulihan di bulan Maret.
Berdasarkan data perbandingan tersebut, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi indeks S&P 500 selama kuartal pertama di 2025:
- Pemberlakuan Kebijakan Federal Reserve
Kebijakan Federal Reserve yang mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25%–4,50% selama tiga bulan pertama tahun 2025 memberikan dampak signifikan terhadap pergerakan indeks saham S&P 500. Kebijakan ini membantu menjaga likuiditas pasar, tetapi juga menciptakan ketidakpastian di kalangan investor terkait dampaknya terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Terdapat juga beberapa sektor teknologi yang mengalami penurunan paling besar yaitu sebesar 1,5% di antara 11 sektor dalam S&P 500, hal ini didukung dengan tajamnya penurunan saham Nvidia (NVDA.O) sebesar 5%. Sektor industri dan energi juga mengalami pelemahan masing-masing sebesar 0,1% dan 0,5%.
- Melemahnya S&P 500 akibat Tekanan Pasar dan Sentimen Negatif
Turunnya indeks S&P 500 selama empat hari berturut-turut membawa kekhawatiran investor terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat. Penurunan kepercayaan konsumen, kinerja keuangan yang lemah dari perusahaan ritel besar seperti Walmart, serta tekanan di sektor teknologi dan perbankan semakin menambah sentimen negatif di pasar. Dengan saham-saham utama seperti Nvidia dan perbankan besar mengalami pelemahan, investor mulai beralih ke aset yang lebih aman seperti obligasi, mendorong imbal hasil treasury 10 tahun turun di bawah 4,3%. Sentimen negatif ini menandakan adanya ketidakpastian terhadap prospek ekonomi AS dalam jangka pendek.
- Ketegangan Geopolitik dan Perdagangan
Pada 2 April 2025, Presiden Donald Trump mengumumkan penerapan tarif baru yang luas terhadap hampir semua impor di Amerika Serikat, termasuk tarif 25% terhadap impor dari Meksiko dan Kanada, serta tarif 54% terhadap impor dari China. Tujuannya adalah untuk menyeimbangkan kembali perdagangan global dan mendukung industri manufaktur dalam negeri. Langkah ini memicu reaksi tajam di pasar keuangan, dengan indeks saham global yang anjlok dan kekhawatiran akan inflasi serta resesi meningkat. Meksiko dan Kanada segera membalas dengan tarif balasan, sementara China mengancam tindakan balasan lebih lanjut, hal ini menyebabkan meningkatnya ketegangan perdagangan internasional antara negara-negara besar.
- Sektor energi yang mengalami peningkatan
Pada awal 2025, sektor energi mengalami kenaikan yang signifikan, menjadi sektor dengan kinerja terbaik di indeks S&P 500 setelah dua tahun sebelumnya tertinggal. Indeks S&P 500 Energy meningkat 2,2%, melampaui kenaikan 0,4% dari indeks S&P 500 secara keseluruhan. Kenaikan ini didorong oleh penguatan saham gas alam, yang menunjukkan kemajuan yang jelas seiring dengan rebound harga komoditas tersebut dari posisi terendah multi-tahun. Meskipun demikian, beberapa analis tetap berhati-hati terhadap prospek sektor ini, hal ini disebabkan karena RBC Capital Markets menurunkan peringkat sektor energi menjadi market weight dari overweight, menandakan pandangan yang negatif terhadap sektor energi secara global.
Mengapa investor global tetap memilih Wall Street dibanding pasar negara berkembang seperti Indonesia?
Investor global tetap memilih Wall Street dibandingkan pasar negara berkembang seperti Indonesia pada kuartal pertama 2025 karena beberapa faktor utama, termasuk likuiditas yang lebih tinggi, regulasi yang lebih stabil, dan kepercayaan terhadap fundamental ekonomi AS. Pada kuartal pertama 2025, indeks S&P 500 mengalami penurunan sebesar 4,59%, yang merupakan kinerja terburuk sejak 2022, hal ini dipicu oleh kebijakan tarif baru dari pemerintahan Trump yang memicu volatilitas pasar. Namun, meskipun mengalami koreksi, Wall Street tetap menjadi pilihan utama investor global karena skala pasar yang besar dan daya tarik perusahaan teknologi serta sektor energi yang masih menunjukkan pertumbuhan. Saham-saham raksasa teknologi seperti Apple, Microsoft, dan NVIDIA masih menjadi primadona dengan banyak investor yang percaya pada potensi pemulihan jangka panjang.
Di sisi lain, pasar negara berkembang seperti Indonesia mengalami tekanan lebih besar, dengan IHSG sempat turun hingga level Rp5.967,19 pada 24 Maret 2025, level terendah sejak pandemi COVID-19. Pelemahan ini disebabkan oleh kekhawatiran terhadap kebijakan fiskal pemerintah dan kurangnya stimulus yang efektif untuk menopang pasar modal. Investor asing masih mempertimbangkan faktor risiko seperti nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS serta ketergantungan ekonomi Indonesia pada sektor komoditas yang rentan terhadap fluktuasi global.
Perbedaan utama yang membuat investor lebih condong ke Wall Street adalah likuiditas pasar dan stabilitas ekonomi Amerika Serikat yang lebih terjaga dibandingkan negara berkembang. Meskipun Amerika Serikat menghadapi tantangan seperti kenaikan suku bunga, pasar modalnya tetap menjadi pusat keuangan global dengan infrastruktur yang kuat, transparansi yang lebih baik, dan partisipasi investor institusional yang besar. Sebaliknya, pasar Indonesia dan negara berkembang lainnya masih menghadapi tantangan dalam menarik investor asing karena ketidakpastian kebijakan dan volatilitas ekonomi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, meskipun Wall Street mengalami tekanan, investor global masih melihatnya sebagai tempat yang lebih aman dibandingkan dengan pasar negara berkembang yang lebih rentan terhadap risiko eksternal dan ketidakstabilan ekonomi.
Dampak pergerakan IHSG selama kuartal pertama
- Pengaruh terhadap Sektor Riil :
Pelemahan pasar keuangan memberikan dampak nyata terhadap sektor riil. Di sektor investasi, tercatat aliran modal asing keluar sebesar Rp4,38 triliun rupiah, mencerminkan menurunnya kepercayaan investor terhadap pasar modal Indonesia dan berpotensi menghambat pertumbuhan proyek-proyek pembangunan. Di sisi konsumsi, penurunan nilai saham berpotensi mengurangi daya beli masyarakat akibat menurunnya kekayaan finansial. Selain itu, nilai tukar rupiah yang melemah hingga Rp16.431 per dolar AS pada Februari 2025 turut mendorong kenaikan tarif impor dan inflasi, yang semakin menekan aktivitas ekonomi domestik serta meningkatkan biaya produksi bagi pelaku usaha.
- Risiko Meningkatnya Biaya Pinjaman
Risiko meningkatnya biaya pinjaman turut menjadi perhatian, seiring dengan naiknya imbal hasil obligasi pemerintah tenor 10 tahun yang mencapai 6,39%. Kenaikan ini membuat biaya pinjaman menjadi lebih mahal, tidak hanya bagi pemerintah dalam pembiayaan defisit anggaran, tetapi juga bagi sektor swasta yang ingin melakukan ekspansi atau investasi. Kondisi ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi karena tertahannya aktivitas pembiayaan di berbagai sektor.
- Strategi Pemerintah untuk Menarik Investor
Dalam menghadapi tekanan global dan menjaga daya saing, pemerintah menerapkan sejumlah strategi untuk menarik minat investor. Dari sisi regulasi, kebijakan investasi terus disesuaikan guna menciptakan iklim yang lebih ramah bagi investasi asing, terutama di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik global. Selain itu, stabilitas makroekonomi menjadi prioritas, dengan Bank Indonesia yang menyatakan kesiapan untuk melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah serta mempertahankan kepercayaan pasar terhadap ekonomi nasional.
Kesimpulan :
Pada kuartal pertama 2025, IHSG lebih stabil dibandingkan S&P 500. Meskipun keduanya mengalami penurunan, penurunan IHSG lebih terkendali, sementara S&P 500 turun lebih tajam akibat ketidakpastian kebijakan domestik dan perang dagang global. Namun, perspektif investor yang akan menilai bahwa IHSG lebih baik dari S&P 500 atau sebaliknya. apakah IHSG lebih baik dari S&P 500 tergantung pada perspektif investor. Jika dilihat dari volatilitas, IHSG lebih sensitif terhadap sentimen domestik dan cenderung lebih berisiko, tetapi juga dapat memberikan potensi keuntungan lebih tinggi jika kondisi ekonomi Indonesia membaik. S&P 500. Di sisi lain, hal ini lebih stabil dan didukung oleh fundamental ekonomi yang kuat, meskipun pada kuartal pertama 2025, indeks ini juga mengalami penurunan signifikan.
Untuk menarik investor, Indonesia perlu melakukan reformasi kebijakan fiskal dan moneter yang jelas dan terarah. Pemerintah harus memberikan kepastian dalam kebijakan ekonomi, memperbaiki regulasi investasi, serta menjaga stabilitas nilai tukar dan inflasi agar pasar modal lebih menarik. Selain itu, penting untuk meningkatkan transparansi dan transformasi digital di sektor keuangan agar memberikan kemudahan bagi investor untuk berinvestasi di IHSG. Indonesia dapat belajar dari S&P 500 mengenai stabilitas kebijakan dan penguatan sektor keuangan. Langkah-langkah ini dapat memperkuat IHSG dan menjadikannya pilihan menarik bagi investor di pasar berkembang.
Gwency Kalonica Kurniawan e!24
REFERENSI
Dinda Shabrina, & Silaban, M. W. (2025, March 18). Bursa Efek Indonesia Jelaskan Penyebab IHSG Turun Tajam. Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/bursa-efek-indonesia-jelaskan-penyebab-ihsg-turun-tajam-1221184
Erlangga Djumena. (2025, January 11). Modal Asing Keluar Rp 4,38 Triliun dari Indonesia Selama Pekan Pertama 2025. KOMPAS.com; Kompas.com. https://money.kompas.com/read/2025/01/11/201600926/modal-asing-keluar-rp-4-38-triliun-dari-indonesia-selama-pekan-pertama-2025
Ervana Trikarinaputri, & Silaban, M. W. (2025, March 16). APBN Tekor Rp 31,2 Triliun dalam 2 Bulan Pertama 2025, Ekonom Wanti-wanti Defisit Melebar dari Target. Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/apbn-tekor-rp-31-2-triliun-dalam-2-bulan-pertama-2025-ekonom-wanti-wanti-defisit-melebar-dari-target-1220417
Estherina, I., & RR Ariyani. (2025, March 12). Goldman Sachs Pangkas Rating Indonesia, Begini Dampaknya ke Saham, Rupiah dan Obligasi. Tempo. https://www.tempo.co/ekonomi/goldman-sachs-pangkas-rating-indonesia-begini-dampaknya-ke-saham-rupiah-dan-obligasi-1218366
Handoyo. (2025, March 3). Wall Street Merosot pada Pembukaan Pasar, Senin (3/3). Kontan.co.id; Kontan. https://investasi.kontan.co.id/news/wall-street-merosot-pada-pembukaan-pasar-senin-33
Hartono, J. (2022). PORTOFOLIO DAN ANALISIS INVESTASI. Penerbit Andi.
Ika Suryani Syarief. (2025, March 18). Faktor Penyebab IHSG Turun 6 Persen Menurut Pengamat. Suarasurabaya.net; Suara Surabaya. https://www.suarasurabaya.net/ekonomibisnis/2025/faktor-penyebab-ihsg-turun-6-persen-menurut-pengamat/
INDEK S&P 500 ALAMI PENURUNAN UNTUK HARI KEEMPAT. (2025). Cgsi.co.id. https://itrade.cgsi.co.id/indek-sp-500-alami-penurunan-untuk-hari-keempat
Nilai Tukar Mata Uang Asing Terhadap Rupiah | Satu Data Perdagangan. (n.d.). Satudata.kemendag.go.id. https://satudata.kemendag.go.id/data-informasi/perdagangan-dalam-negeri/nilai-tukar
Pulina Nityakanti. (2025a, February 13). Pasar Saham di Kuartal I 2025 Masih Merah, Bentuk Kekecewaan Investor ke Pemerintah? Kontan.co.id; Kontan. https://investasi.kontan.co.id/news/pasar-saham-di-kuartal-i-2025-masih-merah-bentuk-kekecewaan-investor-ke-pemerintah#google_vignette
Pulina Nityakanti. (2025b, February 25). Rating MSCI Indonesia Turun, Begini Nasib Bursa ke Depan. Kontan.co.id; Kontan. https://investasi.kontan.co.id/news/rating-msci-indonesia-turun-begini-nasib-bursa-ke-depan#google_vignette
Smith, G. (2025, January 16). Oil Market’s Bearish 2025 Narrative Gets Shaken Up. Bloomberg.com; Bloomberg. https://www.bloomberg.com/news/newsletters/2025-01-16/oil-market-s-bearish-2025-narrative-gets-shaken-up
Steff Chávez, Rogers, A., Politi, J., Smith, I., Clarfelt, H., Williams, A., & Learner, S. (2025, April 3). Donald Trump escalates global trade war with sweeping tariff blitz. @FinancialTimes; Financial Times. https://www.ft.com/content/fe5f7469-6f04-40e6-bc59-0d4e004e1cd3?utm_source=chatgpt.com
Sulaiman, S. (2025, March 27). Indonesia seeks to calm investors after stocks, rupiah slide. Reuters. https://www.reuters.com/markets/asia/indonesia-seeks-calm-investors-after-stocks-rupiah-slide-2025-03-27/
Triya.andriyani. (2025, March 21). IHSG Tertekan, Pakar Ekonomi UGM Beri Strategi Menghadapi Volatilitas Pasar – Universitas Gadjah Mada. Universitas Gadjah Mada. https://ugm.ac.id/id/berita/ihsg-tertekan-ekonom-ugm-beri-strategi-menghadapi-volatilitas-pasar/