Gambaran Perekonomian Indonesia Saat Ini
Perekonomian Indonesia saat ini terjebak dalam krisis yang memprihatinkan, tercermin dari kelesuan ekonomi yang mencemaskan dan dampak deflasi yang terus menggerogoti. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia telah mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut, dengan penurunan harga barang yang mencapai 0,12 persen pada bulan September 2024. Meskipun deflasi sering kali dipandang sebagai fenomena positif karena harga barang yang lebih murah, sebenarnya ini merupakan indikasi lemahnya daya beli masyarakat, yang menyebabkan perusahaan terpaksa menurunkan harga untuk menarik pembeli. Beberapa komoditas utama yang berkontribusi pada deflasi di Indonesia meliputi cabai merah dengan penurunan harga sebesar 0,09 persen, cabai rawit sebesar 0,08 persen, bensin sebesar 0,04 persen, serta telur dan daging ayam ras masing-masing sebesar 0,02 persen. Menurut Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, S.E., M.Si., seorang ekonom dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, penurunan harga ini terutama disebabkan oleh daya beli masyarakat yang menurun, khususnya di kalangan kelas menengah.
Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah)
Dalam konteks ekonomi, penurunan harga ini dapat dipahami melalui dua konsep utama: supply-push deflation dan demand-push deflation. Supply-push deflation terjadi ketika produksi barang dan jasa meningkat, sementara permintaan tetap stagnan. Di sisi lain, demand-push deflation muncul akibat penurunan pendapatan konsumen dan ketidakpastian ekonomi yang mengurangi daya beli masyarakat. Fenomena demand-push deflation ini memiliki dampak yang lebih merugikan dibandingkan inflasi, karena harga barang turun akibat sedikitnya pembeli.
Lingkaran Setan Ekonomi
Kondisi demand-push deflation ini berimplikasi langsung terhadap penjualan dan keuntungan perusahaan, yang mendorong mereka untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sebagai upaya mengurangi biaya operasional. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa selama tahun 2024, lebih dari 52.000 pekerja mengalami PHK, mengakibatkan tingkat pengangguran Indonesia melonjak menjadi 5,2 persen, yang merupakan angka tertinggi di kawasan ASEAN. Sayangnya, langkah yang dilakukan dalam keadaan darurat ini justru berkontribusi pada meningkatnya angka pengangguran, biasa dikenal sebagai cyclical unemployment. Pengangguran ini merupakan hasil dari lemahnya permintaan agregat, yang berakibat pada penurunan pendapatan masyarakat secara keseluruhan. Akibatnya, daya beli masyarakat semakin menurun, memperlemah sektor konsumsi yang merupakan salah satu pilar utama dalam mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam jangka panjang, siklus kontraksi ini menciptakan tantangan yang semakin sulit diatasi tanpa intervensi kebijakan yang tepat.
Sumber: Kemenaker (diolah)
Sumber: vibizmedia.com (diolah)
Lingkaran setan ekonomi ini tidak hanya mempengaruhi perusahaan besar, tetapi juga berdampak serius pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pekerja di sektor informal. UMKM dan sektor informal, yang umumnya memiliki modal dan laba terbatas, merasakan penurunan permintaan yang signifikan. Banyak dari mereka yang terpaksa mengurangi produksi atau bahkan menghentikan usaha. Sektor informal, yang mencakup pekerja tanpa jaminan kerja tetap seperti pedagang kaki lima atau buruh lepas, juga terdampak karena sangat bergantung pada pendapatan harian yang tidak stabil. Mengingat peran besar UMKM dan sektor informal dalam menyerap tenaga kerja, kondisi ini menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi dan lapangan pekerjaan di Indonesia.
Sumber: Cuplikan dari video INDONESIA TIDAK BAIK BAIK SAJA, oleh Raymond Chin.
Beban Middle Class dalam Menanggung Krisis Ekonomi
Di tengah lesunya ekonomi, dampak yang dirasakan pun bervariasi antara kelas ekonomi di Indonesia. Beban terberat dipikul oleh kaum kelas menengah karena mereka seringkali terabaikan dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Mereka seringkali dianggap mampu sehingga tidak mendapatkan bantuan atau subsidi, namun tetap terpukul oleh penurunan pendapatan akibat kelesuan ekonomi. Kelas menengah berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi, karena pola konsumsi mereka merupakan motor penggerak utama GDP. Ketika daya beli mereka menurun, Indonesia berisiko mengalami krisis ekonomi yang lebih dalam. Mengingat data dari negara-negara yang mengalami kemajuan ekonomi, seperti Korea Selatan, yang memiliki proporsi kelas menengah mencapai 62,8 persen pada tahun 2022, dibandingkan dengan Tiongkok yang memiliki proporsi yang lebih rendah, menunjukkan bagaimana kelas menengah yang kuat dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil. Hal ini membuat Tiongkok lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi yang dapat berdampak pada konsumsi domestik. Sebaliknya, Korea Selatan mampu menjaga stabilitas tersebut melalui kebijakan strategis yang mencakup pendidikan berkualitas, peningkatan keterampilan tenaga kerja, dan berbagai program kesejahteraan yang dirancang khusus untuk memperkuat posisi ekonomi kelas menengah. Langkah-langkah ini menjadikan kelas menengah sebagai motor penggerak ekonomi, memastikan permintaan tetap tinggi dan ketersediaan lapangan kerja terus terjaga.
Tantangan bagi kelas menengah di Indonesia sangat kompleks. Selain menghadapi penurunan pendapatan, mereka juga harus mengatasi tanggung jawab fiskal yang lebih berat dibandingkan kelas bawah, merasakan risiko jatuh ke kelas bawah semakin nyata. Sebaliknya, kelas bawah masih mendapatkan subsidi dan bantuan sosial, meskipun tetap rentan terhadap harga kebutuhan yang semakin mahal. Di sisi lain, kelas atas cenderung lebih stabil bahkan di tengah ekonomi lesu. Mereka memiliki akses terhadap peluang investasi dan kedekatan dengan pengambil kebijakan yang memungkinkan mereka untuk terus mengakumulasi kekayaan. Akibatnya, jurang ketimpangan semakin melebar karena kelas atas justru bisa bertambah kaya, sementara kelas menengah dan bawah mengalami kemunduran finansial.
Solusi dan Rekomendasi Kebijakan
Untuk mengatasi kondisi ekonomi yang lesu dan dampaknya yang luas, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung masyarakat secara menyeluruh. Prioritas pertama adalah memberikan dukungan bagi kelas menengah melalui subsidi atau keringanan pajak untuk menjaga daya beli dan mendorong konsumsi, sehingga dapat membantu mencegah kemunduran ekonomi yang lebih dalam. Selain itu, kebijakan redistribusi yang lebih adil perlu diterapkan, misalnya dengan memberikan bantuan sosial bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan menerapkan pajak progresif untuk memastikan kelas atas berkontribusi secara proporsional. Kebijakan ini juga akan mengurangi ketimpangan ekonomi, menghindari praktik korupsi, serta menghapus stigma bahwa kekayaan hanya terpusat pada kelompok tertentu. Pemerintah juga perlu meningkatkan anggaran infrastruktur dan program sosial sebagai bagian dari stimulus fiskal, karena investasi dalam infrastruktur akan menciptakan lapangan kerja baru dan menumbuhkan ekonomi, terutama di daerah yang belum berkembang. Program sosial seperti pelatihan keterampilan juga diperlukan untuk meningkatkan kapasitas tenaga kerja Indonesia agar lebih kompetitif di pasar kerja. Namun, perlu diakui bahwa berbagai hambatan struktural seperti birokrasi yang panjang, kualitas tenaga kerja yang belum optimal, dan terbatasnya infrastruktur di beberapa wilayah turut menghambat pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, reformasi birokrasi melalui penyederhanaan perizinan dan administrasi diperlukan untuk menarik lebih banyak investasi. Penyederhanaan yang dilakukan tidak hanya harus efisien dan mudah diakses, tetapi juga harus memastikan perlindungan hukum yang kuat untuk semua pihak yang terlibat. Dengan menjaga transparansi dan kejelasan di setiap tahap, pemerintah dapat menciptakan lingkungan investasi yang ramah dan tepercaya, yang tidak hanya mempercepat pertumbuhan ekonomi tetapi juga menjaga keamanan serta kepercayaan di antara investor dan dan pihak dalam negeri.
Peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi juga perlu ditingkatkan agar tenaga kerja Indonesia memiliki keterampilan yang relevan dengan industri modern. Dalam skala global, kerja sama internasional juga penting untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Perjanjian perdagangan bebas dan investasi dengan negara-negara maju dapat membuka akses pasar internasional, menciptakan peluang bagi produk Indonesia untuk bersaing secara global, serta mendatangkan aliran investasi asing langsung (FDI) yang akan memperkuat struktur ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mempercepat pertumbuhan di sektor-sektor potensial seperti manufaktur dan teknologi. Dengan kebijakan yang saling melengkapi ini, pemerintah dapat mengatasi tantangan ekonomi saat ini dan menciptakan pertumbuhan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Kesimpulan
Dalam situasi ekonomi yang terus melesu, beban terbesar ditanggung oleh kelas menengah. Dimulai dari daya beli masyarakat yang menurun hingga tingginya angka pengangguran, lingkaran setan ekonomi ini menggerogoti konsumsi domestik yang merupakan pilar utama perekonomian Indonesia. Deflasi yang tampak menguntungkan sebenarnya menandakan lemahnya permintaan dan kesulitan perusahaan untuk bertahan sehingga mereka beralih pada kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk bertahan.
Kelas menengah menjadi kelompok yang paling terdampak, mereka kehilangan pendapatan tanpa dukungan signifikan dari pemerintah, namun menjadi penggerak penting konsumsi nasional. Sementara itu, sektor informal dan UMKM yang rentan ikut terseret dalam arus ini karena permintaan yang berkurang memaksa mereka untuk mengurangi produksi atau bahkan menutup usaha.
Untuk keluar dari krisis ini, pemerintah perlu memperhatikan seluruh lapisan masyarakat, khususnya kelas masyarakat menengah dengan kebijakan yang mendorong daya beli, mendukung UMKM, serta mengurangi ketimpangan ekonomi yang semakin menganga. Kebijakan ini dapat berupa subsidi, keringanan pajak, redistribusi pajak yang lebih adil, peningkatan keterampilan tenaga kerja, investasi dalam infrastruktur, dan berbagai program lainnya yang dapat mendukung kesejahteraan masyarakat middle class. Tanpa perhatian yang serius, ekonomi Indonesia akan semakin rentan dan beban pemulihan akan terus jatuh pada mereka yang paling tidak siap menanggungnya.
Daftar Pustaka
Adrian, G. A. (2024, October 11). Deflasi Beruntun: Sinyal Perekonomian Lesu (A. H. J. Asheva, Ed.). Universitas Muhammadiyah Surakarta. https://www.ums.ac.id/berita/teropong-jagat/deflasi-beruntun-sinyal-perekonomian-lesu
Badan Pusat Statistik Indonesia. (2024). Inflasi Year-on-Year (y-on-y) September 2024 sebesar 1,84 persen. Bps.go.id; Badan Pusat Statistik Indonesia. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/10/01/2308/inflasi-year-on-year–y-on-y–september-2024-sebesar-1-84-persen-.html
BPJS Ketenagakerjaan. (2024). Peningkatan PHK Berdampak pada Iuran BPJS Ketenagakerjaan (Handoyono, Ed.). Bpjsketenagakerjaan.go.id. https://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/berita/29169/Peningkatan-PHK-Berdampak-pada-Iuran-BPJS-Ketenagakerjaan
Chin, R. (2024, October 19). INDONESIA TIDAK BAIK BAIK SAJA. YouTube. https://youtu.be/baNN1sdeHEM?si=FzbZ5RGOey8CzjOA
https://www.facebook.com/bbcnews. (2024, October 4). Ekonomi: Deflasi lima bulan berturut-turut, tanda “masyarakat kelas pekerja sudah tidak punya uang lagi untuk berbelanja” – BBC News Indonesia. BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c9wkd982krvo
Kim, J., Lee, H., & Chang, I. (2024). Korea‘s middle class face challenges amid widening income gap – 매일경제 영문뉴스 펄스(Pulse). Pulse. https://pulse.mk.co.kr/news/english/11021545
Nugrahani, D. M. (2024, September 8). Menyoroti Tingkat Pengangguran Indonesia, Belajar dari Keberhasilan Negara Tetangga. VIBIZMEDIA.com. https://www.vibizmedia.com/index.php/2024/09/08/menyoroti-tingkat-pengangguran-indonesia-belajar-dari-keberhasilan-negara-tetangga/Vorster, S. (2024, April 13). Low & Stable Rate of Inflation | DP IB Economics Revision Notes 2020. Save My Exams. https://www.savemyexams.com/dp/economics/ib/22/hl/revision-notes/3-macroeconomics/3-3-macroeconomic-objectives/low-and-stable-rate-of-inflation/