Stunting sebagai Hambatan Pembangunan Ekonomi: Analisis Upaya Mengurangi Prevalensi melalui Kebijakan BPJS

Pendahuluan

Stunting merupakan isu yang dihadapi oleh negara maju maupun berkembang, karena meskipun bukan penyebab langsung, faktor ekonomi dan politik suatu negara turut mempengaruhi terjadinya stunting. Stunting tetap menjadi fokus utama untuk ditangani karena efeknya yang berkepanjangan hingga masa dewasa jika tidak segera diatasi. Anak-anak yang mengalami stunting rentan terhadap infeksi, menghadapi hambatan perkembangan kognitif dan motorik, serta memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit kronis di usia dewasa, yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya tingkat produktivitas. Menurut World Health Organization (WHO), anak-anak yang terkena stunting cenderung mendapatkan penghasilan 10 persen lebih sedikit sepanjang hidup dibandingkan dengan teman-teman sebayanya.

Pemerintah menempatkan percepatan penurunan stunting sebagai salah satu prioritas utama dalam bidang kesehatan. Upaya ini juga sejalan dengan target global yang terdapat dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) serta Global Nutrition Target 2025. Pada Target 2.2 TPB, diharapkan bahwa pada tahun 2030 segala bentuk kekurangan gizi dapat dihilangkan, termasuk pencapaian target internasional terkait pengurangan anak pendek dan kurus di bawah umur lima tahun pada tahun 2025. Selain itu, perhatian juga diberikan pada kebutuhan gizi remaja perempuan, ibu hamil dan menyusui, serta lansia. Sementara itu, Global Nutrition Target 2025 menetapkan harapan agar jumlah anak balita yang mengalami stunting dapat berkurang sebesar 40% pada tahun 2025. Di tingkat nasional, pemerintah Indonesia telah menetapkan target penurunan stunting dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dengan tujuan untuk menurunkan prevalensi stunting pada anak balita menjadi 14% pada tahun 2024.

Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa prevalensi stunting pada tahun 2022 mencapai 21,6%, turun dibandingkan dengan angka tahun 2021 yang tercatat sebesar 24,4% (Badan Pusat Statistik, 2023). Stunting tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan fisik anak, tetapi juga menghambat perkembangan otaknya dan melemahkan sistem kekebalan tubuh, sehingga membuatnya lebih rentan terhadap penyakit tidak menular, seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner, dan obesitas (BPJS Kesehatan, 2019).

Salah satu penyebab utama terjadinya stunting pada anak-anak adalah gizi buruk. Ketidakcukupan asupan gizi dalam jangka panjang akan memberikan efek yang berpengaruh pada kesehatan anak (MCA Indonesia, 2015 dalam Wati & Musnadi, 2022). Menurut Hastuti (2022), stunting disebabkan oleh kurangnya nutrisi pada anak di 1000 hari pertama kehidupan anak yang terhitung sejak janin hingga usia 2 tahun. Pada periode 1000 HPK atau periode emas, organ-organ vital dan perkembangan sel terjadi secara cepat. Asupan gizi selama periode ini sangat menentukan perkembangan anak. Namun, kemiskinan memiliki peran penting dalam terjadinya stunting, karena keterbatasan finansial membatasi kemampuan keluarga untuk mendapatkan makanan yang bergizi (Khomsah, 2021 dalam Agustin & Rahmawati, 2021).

Meskipun demikian, stunting tidak hanya dialami oleh anak-anak dari keluarga dengan status finansial rendah. Penelitian menunjukkan bahwa 12,5% anak yang mengalami stunting berasal dari keluarga menengah ke atas (Laksono et al., 2024). Stunting pada kelompok ini lebih disebabkan oleh kelalaian orang tua, kurangnya pengetahuan mengenai gizi, dan pola asuh yang tidak optimal. Faktor usia anak dan pendidikan ibu juga mempengaruhi terjadinya stunting pada kelompok ini, terutama pada anak usia 12 hingga 23 bulan (Beal et al., 2018 dalam Laksono et al., 2024).

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menangani stunting, namun hasilnya masih belum maksimal dan efektif. Stunting telah menjadi isu yang mendesak baik di tingkat nasional maupun global, sehingga membutuhkan penanganan segera. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk BPJS Kesehatan, melalui kebijakan yang dirancang khusus untuk mengurangi prevalensi stunting.

Isi dan Pembahasan

Peran Asupan Gizi terhadap Peningkatan Risiko Stunting

Salah satu penyebab utama terjadinya stunting pada anak-anak adalah gizi buruk. Kondisi ini disebabkan oleh tubuh yang tidak mendapatkan gizi  yang cukup dengan kualitas yang baik untuk mendukung perkembangan yang optimal. Ketidakcukupan asupan gizi dalam jangka panjang akan memberikan efek yang berpengaruh pada kesehatan anak. (MCA Indonesia, 2015 dalam Wati & Musnadi, 2022).

Menurut Hastuti (2022) stunting disebabkan oleh kurangnya nutrisi pada anak di 1000 hari pertama kehidupan anak yang terhitung sejak janin hingga usia 2 tahun. Pada periode 1000 HPK atau periode emas (gold period) organ-organ vital dan perkembangan sel terjadi secara cepat. Sehingga asupan gizi selama 1000 HPK akan berpengaruh dan menentukan perkembangan anak. Asupan gizi pada masa kehamilan hingga pertumbuhan perlu diperhatikan. Ibu hamil harus memperhatikan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Pada masa pertumbuhan, pemberian ASI, MPASI, imunisasi, dan vitamin menjadi hal pendorong pertumbuhan anak yang baik. Asupan gizi yang cukup menjadi hal penting untuk membentuk pondasi kesehatan yang baik.

Namun, tidak semua keluarga di Indonesia memiliki kemampuan untuk mendapatkan asupan gizi yang baik. Kemiskinan memiliki peran penting dalam terjadinya stunting. Keterbatasan finansial akan membatasi kemampuan untuk mendapatkan makanan yang bergizi. Keluarga yang hidup dalam kemiskinan memiliki potensi yang lebih besar untuk mengalami kesulitan mendapatkan makanan yang bergizi. Hal ini juga disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Pangan dan Gizi IPB, Ali Khomsah dimana 90 persen faktor utama penyebab stunting adalah sulitnya memperoleh makanan yang bergizi yang banyak ditemukan pada keluarga miskin. Kelompok ini akan cenderung memilih bahan pangan berdasarkan harga dan kuantitas, bukan gizi yang diberikan. Menurut Trisnawati et al., 2016 (dalam Agustin & Rahmawati, 2021) keluarga dengan pendapatan rendah cenderung memilih bahan pangan dengan kandungan karbohidrat yang tinggi dari pada bahan pangan dengan protein tinggi.

Selain pada anak-anak dengan status finansial keluarga yang rendah, stunting juga dialami oleh anak-anak yang berasal dari keluarga menengah ke atas. Ditemukan sebesar 12,5% anak yang mengalami stunting berasal dari keluarga menengah ke atas (Laksono et al., 2024). Stunting pada kelompok menengah ke atas ini disebabkan oleh adanya kelalaian orang tua. Kelalaian orang tua dapat diakibatkan oleh pengetahuan orang tua mengenai gizi yang kurang, pola asuh yang tidak optimal, dan kurangnya perhatian terhadap asupan nutrisi selama kehamilan maupun pada anak. 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Laksono et al. (2024) didapatkan bahwa stunting pada keluarga menengah ke atas dipengaruhi oleh faktor usia anak yang diikuti dengan pendidikan ibu. Anak-anak yang berusia 12 hingga 23 bulan memiliki kemungkinan lebih besar mengalami stunting dibandingkan anak usia kurang dari 12 bulan. Sehingga menunjukkan bahwa stunting yang diakibatkan oleh pola asuh dan pola makan lebih kuat dibandingkan dengan stunting bawaaan. Hal ini dikarenakan faktor genetik lebih berpengaruh pada anak usia kurang dari 12 bulan dibandingkan dengan anak usia 12 hingga 23 bulan (Beal et al., 2018 dalam Laksono et al., 2024). 

Stunting yang terjadi pada anak di keluarga menengah ke atas juga terjadi karena kurangnya asupan ASI akibat kurangnya waktu untuk mengasihi. Orang tua cenderung memilih untuk kembali bekerja ketika anak masih dalam usia 12-23 bulan. Sehingga mereka kembali disibukkan dengan pekerjaan dan menimbulkan perhatian terbagi antara anak dengan pekerjaan. Waktu untuk mengasihi serta memperhatikan pemberian MPASI pada anak akan terganggu.

Ketidakmerataan Akses Pelayanan Kesehatan

Berdasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Septiani et al., 2023), akses ke layanan kesehatan terkait dengan kesesuaian layanan dengan kebutuhan dan jangkauan layanan kesehatan. Cakupan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK)  di setiap provinsi mewakili variabel akses terhadap pelayanan kesehatan dalam penelitian terdahulu. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk ibu hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK) merupakan salah satu program pelayanan yang menjadi kebutuhan dalam upaya pencegahan stunting. Ibu hamil termasuk ke dalam kelompok rentan terhadap masalah gizi, karena jika asupan protein dan energi protein dan energi tidak tercukupi maka dapat menyebabkan Kekurangan Energi Kronis (KEK) yang berdampak langsung langsung pada janin yang hanya menerima sedikit asupan gizi, sehingga asupan gizi yang sedikit, sehingga berisiko mengalami stunting. Rata-rata cakupan pemberian makanan tambahan selama 2017-2019 adalah 86,7%. Rata-rata cakupan pemberian makanan tambahan tertinggi untuk ibu hamil Kurang Energi Kronis (KEK) didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Sumatera dan Jawa. Akses terhadap pelayanan kesehatan dalam penelitian sebelumnya terdiri dari Ante Ante Natal Care (ANC) untuk ibu hamil. 

Akses terhadap pelayanan kesehatan membantu masyarakat untuk mendapatkan mendapatkan edukasi dan penanganan yang tepat ketika menghadapi masalah kesehatan, termasuk stunting. Penelitian lain menemukan bahwa akses ke layanan kesehatan dalam bentuk lama waktu tempuh ke fasilitas kesehatan berpengaruh negatif berpengaruh negatif terhadap tinggi badan anak. Sulitnya akses transportasi karena jarak tempat tinggal yang jauh, yang dapat mengakibatkan terhambatnya peluang suatu keluarga untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang dibutuhkan, adanya keterbatasan infrastruktur seperti yang diketahui puskesmas yang berada di desa yang bisa disebut sebagai desa terpencil , puskesmas tersebut tidak memiliki fasilitas yang sama dengan puskesmas lainnya yang biasa ada di kota, sehingga terjadilah ketidakmerataan fasilitas kesehatan yang seharusnya setiap orang mendapatkan fasilitas tersebut. (Global Health Action, 2021)

Peran Kontribusi Program BPJS Kesehatan Terhadap Penurunan Stunting

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah sebuah badan hukum yang dibentuk untuk mengelola program jaminan kesehatan, yang bertujuan memberikan perlindungan kesehatan kepada para pesertanya. Program ini memastikan bahwa peserta menerima manfaat berupa layanan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. BPJS Kesehatan diberikan kepada setiap individu yang membayar iuran secara mandiri atau melalui iuran yang ditanggung oleh pemerintah. Setiap penduduk Indonesia, tanpa kecuali, diwajibkan untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan, termasuk warga negara asing yang telah bekerja di Indonesia selama minimal enam bulan dan membayar iuran. Sebagaimana diketahui, keikutsertaan dalam jaminan kesehatan ini merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia, dan ketentuan tersebut diatur dalam UUD 1945. BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014. Program ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu PBI Jaminan Kesehatan dan Non-PBI Jaminan Kesehatan.

Melalui studi yang telah diteliti di kawasan Afrika, Asuransi kesehatan berupa program yang disediakan oleh pemerintah secara aktif terus menekan angka stunting dan kesehatan anak-anak yang memiliki permasalahan badan ketidaklayakan berat badan di masa balita. Hal ini mampu membuktikan bahwa jaminan kesehatan yang disediakan oleh asuransi kesehatan memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap peningkatan kualitas kesehatan balita dan penurunan peluang stunting yang dihadapi. Peluang stunting pada anak-anak berusia 7 tahun yang memiliki jaminan kesehatan dapat mengalami penurunan sebesar 0,33 dibandingkan dengan anak yang mengalami keterbatasan jaminan yang ditanggung yang mencapai di angka 0,52. Dengan demikian, kemungkinan 77% angka peluang stunting dapat ditekan apabila anak-anak pada masa balita memiliki jaminan kesehatan berupa asuransi. (Agustina et al., 2023)

Kolaborasi kebijakan pemerintah berupa BPJS sebagai asuransi pemerintah bersubsidi dinilai sebagai salah satu bentuk percepatan penanganan stunting yang masih terjadi di Indonesia. Dari sejumlah program penanganan kesehatan, stunting menjadi fokus utama permasalahan yang ingin dituntaskan oleh pemerintah seefektif mungkin. Karena menurut data, angka prevalensi stunting di Indonesia berada di sekitar 30%-40% dimana batas wajar prevalensi stunting di dunia dan yang ditetapkan WHO ialah tidak mencapai angka 20. Hal ini menandakan masih kurangnya pencapaian dalam isu stunting tersebut. Regulasi penanganan stunting tertuang dalam Perpres nomor 72 tahun 2021 menjadikan BPJS kesehatan sebagai implementasi kebijakan dan sebagai bentuk kolaborasi antara pemerintah dan sektor kesehatan dalam upaya penekanan stunting. 

Pemerintah ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045 bebas stunting. BPJS yang difasilitasi pemerintah berperan penting untuk pencegahan stunting tentunya. Percepatan penurunan stunting pada balita ini merupakan contoh sebuah program yang diprioritaskan oleh pemerintah yang termasuk bagian dari RPJMN 2020-2024. Terjadinya stunting terhadap anak disebabkan oleh banyak hal, dan disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor yang bersifat lambat dan cepat. Contohnya yaitu, kurangnya gizi pada si ibu yang mengakibatkan stunting kepada anak, kebersihan yang tidak terjaga, faktor genetik, makanan yang tidak bergizi, karena kondisi sosial ekonomi.

Persoalan stunting di Indonesia sangat penting, demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang baik. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka stunting di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 21,5 persen, hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 21,6 persen, dan berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia di angka 21,6%. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2021 yaitu sebesar 24,4%. Sementara itu untuk tahun 2024 pemerintah menargetkan prevalensi stunting turun menjadi 14%. Bagaimana cara mewujudkan hal tersebut?

Untuk mewujudkan prevalensi stunting yang angkanya turun menjadi 14% di tahun 2024, BPJS berperan penting seperti memberikan pelayanan kepada anak – anak, membantu sosial ekonomi masyarakat, memberikan fasilitas untuk ibu hamil, pemerintah mengadakan posyandu rutin untuk anak-anak balita dimana peran pemerintah disini yaitu memberikan edukasi kepada ibu hamil, memberikan gizi yang cukup, sehingga hal – hal tersebut dapat mengurangi terjadinya kenaikan angka stunting di Indonesia.Intervensi sensitif penanganan stunting menempatkan dimensi perlindungan sosial yang memberikan kontribusi sebesar 70%. Meskipun menghadapi kendala, pemerintah daerah maupun pusat berhasil melaksanakan program perlindungan kesehatan yang bertujuan untuk menangani kasus stunting. Namun masih kerap ditemui perilaku moral hazard orang-orang yang tidak memperhatikan administrasi akan mengalami kesulitan dalam mendapatkan BPJS, oleh karena itu pemerintah daerah terus mendorong mereka agar segera melengkapi izin-izin tersebut. Data penelitian menunjukkan bahwa hanya sedikit balita yang menggunakan BPJS meskipun mereka sudah memiliki layanan tersebut, karena merasa sehat tanpa riwayat penyakit serius. Sayangnya, banyak ibu yang memiliki anak stunting tidak sering memanfaatkan jaminan kesehatan untuk mengatasi masalah gizi yang dialami oleh anak mereka. Untuk meningkatkan sistem rujukan kesehatan, pihak puskesmas sebaiknya mendorong ibu yang memiliki anak stunting untuk membawa anak mereka menjalani pemeriksaan lebih lanjut ke dokter spesialis anak.

Stunting: Akibat terhadap Perekonomian Indonesia

Penurunan produktivitas akibat stunting memiliki dampak ekonomi yang signifikan, diperkirakan mencapai Rp 3.057 miliar hingga Rp 13.758 miliar, atau sekitar 0,04%-0,16% dari total PDB Indonesia. Bank Dunia juga memproyeksikan bahwa kekurangan gizi dapat mengurangi PDB suatu negara hingga 2,5% (de Onis et al., 2010). Penelitian Kusumawardhani dan Martianto (2011) menemukan korelasi negatif antara PDRB per kapita dan prevalensi gizi buruk pada balita, yang berarti semakin tinggi PDRB per kapita suatu wilayah, semakin rendah prevalensi gizi buruknya. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah dengan sumber daya ekonomi yang lebih besar memiliki kemampuan lebih baik dalam menangani masalah gizi (Kusharisupeni, 2002).

Secara nasional, potensi kerugian ekonomi akibat Kekurangan Energi Protein (KEP) yang mempengaruhi pertumbuhan balita diperkirakan berkisar antara 0,27%-1,21% dari PDB Indonesia, atau senilai Rp 4,24 hingga Rp 19,08 triliun per tahun (Aries & Martianto, 2006). Namun, indikator gizi yang digunakan dalam penelitian ini, yakni berat badan terhadap umur (BB/U), hanya memberikan gambaran umum tentang status gizi tanpa membedakan masalah gizi kronis atau akut. Freijer et al. (2013) memperkirakan bahwa pada tahun 2011, biaya tambahan terkait malnutrisi pada pasien dewasa di Belanda mencapai 1,9 miliar euro, atau 2,1% dari total belanja kesehatan nasional, serta 4,9% dari total biaya sektor kesehatan.

Kerugian ekonomi akibat penurunan produktivitas balita stunting diperkirakan mencapai 2%-9%, atau sekitar Rp 3.057 miliar hingga Rp 13.758 miliar, yang setara dengan 0,04%-0,16% dari PDB Indonesia pada tahun 2013. Setiap bayi yang lahir membawa potensi ekonomi melalui produktivitasnya, namun peningkatan angka kelahiran bersamaan dengan tingginya prevalensi stunting dapat meningkatkan potensi kerugian ekonomi. Meskipun tidak semua provinsi dengan prevalensi stunting tinggi memiliki kerugian ekonomi yang signifikan, estimasi kerugian ini menekankan pentingnya intervensi selama 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) untuk mencegah masalah gizi dan kesehatan. Fase ini merupakan periode kritis untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga gangguan yang terjadi dapat berdampak panjang hingga generasi berikutnya. Penanganan stunting yang efektif melalui program-program yang tepat sasaran dapat mendukung pembangunan nasional dan mengurangi kemiskinan akibat rendahnya pendapatan produktif dari masyarakat yang terdampak.

Rekomendasi Kebijakan

Persoalan stunting di Indonesia sangat penting, demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang baik. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka stunting di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 21,5 persen, hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 21,6 persen, dan berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di Indonesia di angka 21,6%. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2021 yaitu sebesar 24,4%. Sementara itu untuk tahun 2024 pemerintah menargetkan prevalensi stunting turun menjadi 14%. Bagaimana cara mewujudkan hal tersebut?

Program BPJS Kesehatan memberikan jaminan dan tunjangan kepada masyarakat sehingga semua orang dapat mendapatkan layanan kesehatan dengan mudah tanpa mengeluarkan biaya yang berlebihan. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menggunakan fasilitas yang telah diberikan oleh pemerintah, sehingga dapat mengurangi stunting. Selain itu pemerintah harus melakukan penyuluhan kesehatan yang dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan lebih tinggi, bagaimana pemberian gizi yang baik untuk anak, dan untuk orang tua tersebut tentunya. Karena program BPJS Kesehatan wajib, telah mencapai banyak lapisan masyarakat. Layanan yang diberikan juga luas dan tidak terpengaruh oleh biaya premi bulanan peserta. Selain itu, bagi peserta yang tidak menerima bantuan, biaya premi yang dibayarkan akan ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. Akibatnya, jumlah orang yang menerima BPJS meningkat dari tahun ke tahun, menunjukkan bahwa program ini berguna untuk seluruh masyarakat. 

Pemerintah memiliki visi untuk mengurangi terjadinya stunting di indonesia yang telah ditargetkan oleh pemerintah yaitu Indonesia Emas 2045 bebas stunting. Maka dari itu, dalam mengatasi stunting, BKKBN siap mengerahkan dukungan 13.734 tenaga PKB/PLKB dan 1 juta kader yang tersebar di seluruh Indonesia. PLKB nantinya akan menjalankan pendampingan kepada keluarga dan calon pasangan usia subur sebelum proses kehamilan. Misalnya, mendorong calon pengantin agar mau melakukan pemeriksaan sebelum menikah dan hamil, melakukan pemerataan fasilitas kesehatan dari hulu ke hilir sehingga yang akan membantu penurunan stunting yang ada di Indonesia. Seperti yang kita ketahui pemerintah akan mewujudkan prevalensi stunting yang angkanya turun menjadi 14% di tahun 2024, maka dari itu pemerintah menyediakan layanan kesehatan yang berperan penting untuk mewujudkan prevalensi stunting yang angkanya turun menjadi 14% di tahun 2024, salah satunya BPJS yang bermanfaat bagi masyarakat yaitu memberikan pelayanan kepada anak – anak, membantu sosial ekonomi masyarakat, memberikan fasilitas untuk ibu hamil, pemerintah mengadakan posyandu rutin untuk anak-anak balita dimana peran pemerintah disini yaitu memberikan edukasi kepada ibu hamil, memberikan gizi yang cukup, sehingga hal – hal tersebut dapat mengurangi terjadinya kenaikan angka stunting di Indonesia.

Untuk mencapai Universal Health Coverage, sosialisasi mengenai program jaminan kesehatan menjadi hal yang sangat penting. Agar masyarakat memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang BPJS, perlu dilakukan sosialisasi program guna memberikan pemahaman mengenai syarat pendaftaran, sistem rujukan, dan manfaat dari layanan tersebut. Desa memiliki peran yang signifikan dalam meningkatkan jumlah keanggotaan BPJS Kesehatan PBI, khususnya untuk keluarga dengan balita stunting dan pendapatan di bawah UMR. Asuransi kesehatan yang berfokus pada masyarakat telah terbukti efektif dalam meningkatkan asupan gizi dan kesehatan anak-anak.

Kesimpulan

Stunting merupakan masalah kesehatan serius yang dapat memengaruhi pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif pada anak serta memberikan dampak jangka panjang hingga dewasa. Masalah ini tidak hanya menghantui negara-negara berkembang tetapi juga negara maju. Di Indonesia, prevalensi stunting telah menurun dari 30,8% di tahun 2018 menjadi 21,6% di tahun 2022. Namun, angka ini masih jauh dari target 14% pada tahun 2024. 

Faktor-faktor seperti gizi buruk, kemiskinan, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai nutrisi dan pola asuh, serta ketidakmerataan akses layanan kesehatan menjadi penyebab utama masalah ini. Selain itu, stunting tidak hanya diderita oleh anak-anak dari keluarga miskin, tetapi juga diderita oleh anak-anak dari keluarga menengah ke atas yang diakibatkan oleh adanya kelalaian orang tua. 

Upaya penurunan angka prevalensi stunting dapat dilakukan dengan cara meningkatkan akses layanan kesehatan, memberikan edukasi kepada masyarakat terkait gizi dan kesehatan, serta menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak. Pemerintah Indonesia telah membentuk program BPJS Kesehatan yang berperan dalam memberikan perlindungan kesehatan dan akses layanan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat, ibu hamil, dan balita. Tak hanya itu, program posyandu dan pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil dan balita menjadi langkah konkret pemerintah dalam menurunkan angka stunting, sejalan dengan target Indonesia Emas 2045 yang bebas dari stunting. 

Tidak hanya memberikan dampak buruk bagi kondisi kesehatan, stunting juga memberikan pengaruh terhadap perekonomian. Setiap bayi yang lahir membawa potensi ekonomi melalui produktivitasnya, namun peningkatan angka kelahiran bersamaan dengan tingginya prevalensi stunting dapat meningkatkan potensi kerugian ekonomi. Hal ini dikarenakan stunting dapat menurunkan produktivitas dan memberikan dampak yang signifikan terhadap PDB negara. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengoptimalkan program kesehatan dengan berkolaborasi bersama berbagai pihak dan memperluas penyebaran informasi mengenai BPJS Kesehatan untuk mencapai penurunan stunting dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Daftar Pustaka

Agustin, L., & Rahmawati, D. (2021). Hubungan pendapatan keluarga dengan kejadian stunting. Indonesian Journal of Midwifery (IJM), 4(1), 30. 
Agustina, R., Weken, M. E., & Anggraeny, D. (2023). Implementasi Penggunaan BPJS Kesehatan dalam Penanganan Balita Stunting di Lokus Stunting. ResearchGate. https://doi.org/10.20473//amnt.v7i2SP.2023.7-12

Ardyanto, T. (2014). Moral hazard dalam JKN-BPJS. Proquaconsulting.com. https://proquaconsulting.com/home/moral-hazard-dalam-jkn-bpjs.html

Erlangga, D., Ali, S., & Bloor, K. (2019). The impact of public health insurance on healthcare utilisation in Indonesia: evidence from panel data. International Journal of Public Health, 64(4), 603–613. https://doi.org/10.1007/s00038-019-01215-2

Gitaharie, B. Y., Nasrudi, R., Bonita, A. P. A., Putri, L. A. M., Rohman, M. A., & Handayani, D. (2022). Is there an ex-ante moral hazard on Indonesia’s health insurance? An impact analysis on household waste management behavior. PLoS ONE, 17(12), e0276521–e0276521. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0276521

Haris, U., Oja, H., & Prasetya, M. N. (2024). Peran BPJS Kesehatan Dalam Penanganan Stunting Di Indonesia. Societas : Jurnal Ilmu Administrasi Dan Sosial, 13(1), 265–273. https://doi.org/10.35724/sjias.v13i1.5462

Hastuti, B.D. (2022). Intervensi 1000 hari pertama dalam upaya mencegah lahirnya anak stunting. DPPKB Kota Mataram.
https://dppkb.mataramkota.go.id/blog/post/intervensi-1000-hari-pertama-kehidupan-dalam-upaya-mencegah-lahirnya-anak-stunting

Kintari, A., Handayani, F., Sasmitaningrum, K., & Rimalivia, N. (n.d.). Monitoring dan Evaluasi dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia: Kelebihan dan Kekurangan dari JKN dan BPJS. Retrieved 2024, from https://www.researchgate.net/profile/Salsabilla-Tiara/publication/376072745_Monitoring_dan_Evaluasi_dalam_Sistem_Pelayanan_Kesehatan_Indonesia_Kelebihan_dan_Kekurangan_dari_JKN_dan_BPJS/links/6568af8bb86a1d521b1c7dd9/Monitoring-dan-Evaluasi-dalam-Sistem-Pelayanan-Kesehatan-Indonesia-Kelebihan-dan-Kekurangan-dari-JKN-dan-BPJS.pdf

Kintari, A., Handayani, F., Sasmitaningrum, K. A., Rimalivia, N., Tiara, S., & Aura, S. (2023). Monitoring dan Evaluasi dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Indonesia: Kelebihan dan Kekurangan dari JKN dan BPJS. ResearchGate; ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/376072745_Monitoring_dan_Evaluasi_dalam_Sistem_Pelayanan_Kesehatan_Indonesia_Kelebihan_dan_Kekurangan_dari_JKN_dan_BPJS

Laksono, A. D., Wulandari, R. D., Susianti, N., Samsudin, M., & Musoddaq, M. A. (2024). Stunting Among Wealthy Indonesian Families: A Cross-Sectional Study of Children Under the Age of Two. Journal of Population and Social Studies [JPSS], 32, 384-398.

Musnadi, J. (2022). Hubungan Asupan Gizi Dengan Kejadian Stunting Pada Anak Di Desa Padang Kecamatan Manggeng Kabupaten Aceh Barat Daya. Jurnal Biology Education, 10(1), 44-52. 

P, A. D. (2024, March 13). Kesenjangan Layanan BPJS Kesehatan bagi Warga Kurang Mampu. Rri.co.id – Portal Berita Terpercaya; RRI. https://www.rri.co.id/editorial/2133/kesenjangan-layanan-bpjs-kesehatan-bagi-warga-kurang-mampu

Putri, N. E. (2014). EFEKTIVITAS PENERAPAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL MELALUI BPJS DALAM PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT MISKIN DI KOTA PADANG. TINGKAP, 10(2), 175–189. https://doi.org/10.24036/tingkap.v10i2.4421

Ramadhannia, Annisa. (2024). Pakar: 90 persen faktor stunting dari keluarga miskin. RRI. https://www.rri.co.id/nasional/809099/pakar-90-persen-faktor-stunting-dari-keluarga-miskin 

Renyoet, B. S., Martianto, Drajat., Sukandar, Dadang. (2016). Potensi Kerugian Ekonomi Karena Stunting Pada Balita Di Indonesia Tahun 2013. Jurnal Gizi Pangan, 11(3), 247-254

Septiani, R. E., Mulyaningsih, T., & Mulyanto, M. (2023). The Effect of Macroeconomics and Access to Health Service on Stunting in Indonesia. Health Science Journal of Indonesia, 14(1). https://doi.org/10.22435/hsji.v14i1.6440

Septiono, W. (2023). Equity challenges in Indonesian health care. The Lancet Global Health, 11(5), e646–e647. https://doi.org/10.1016/s2214-109x(23)00110-9

Sutrisno, H. (2020). PENGARUH BPJS KETENAGAKERJAAN DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN TENAGA KERJA. https://core.ac.uk/download/pdf/322599476.pdf

Timor, L. R. (2022, November 8). Pemerataan Tenaga Kesehatan di Seluruh Indonesia. https://doi.org/10.31219/osf.io/9ahgq


Leave a comment