1. Latar Belakang
Suhu rata-rata bumi telah meningkat secara terus menerus dari tahun ke tahun akibat perubahan iklim yang signifikan. Perubahan iklim akan berdampak pada pemanasan global yang dapat mengancam kehidupan manusia, mulai dari pemanasan atmosfer dan lautan, pencairan gletser, kenaikan permukaan air laut, hingga bencana hidrometeorologi. Tidak hanya itu, dilihat dari aspek ekonomi, perubahan iklim dinilai akan membawa dampak negatif pada perekonomian dunia. Laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa PDB global diproyeksikan mengalami penurunan sebesar 1 – 3% dari kondisi ideal pada tahun 2100 sebagai dampak dari perubahan iklim.
Dalam upaya menghadapi perubahan iklim, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merumuskan United Nations Climate Change Conference (UNFCCC) pada KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil di tahun 1992 yang ditandatangani oleh 154 negara. Tujuan utama UNFCCC adalah untuk memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktivitas ekonomi manusia. Pada tahun 1997, United Nations Framework Convention of Climate Change (UNFCCC) mengadakan pertemuan tingkat global di Kyoto, Jepang dengan tujuan untuk membentuk suatu sistem yang dapat mengatasi masalah perubahan iklim. Sistem ini dikenal dengan nama Protokol Kyoto. Tujuan umum dari pendirian Protokol Kyoto adalah untuk mengikat negara-negara di seluruh dunia agar membatasi dan mengurangi emisi gas yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi negara-negara tersebut.
Protokol Kyoto diakui dan disetujui oleh 192 negara dan berlaku mulai dari Februari 2005 sampai Desember 2012. Kemudian, pada tahun 2015, dilakukan pembentukan konvensi lebih lanjut dari Protokol Kyoto, yang diadakan di Paris, Perancis. Tujuannya adalah untuk memperkuat respons global terhadap ancaman perubahan iklim dengan target membatasi kenaikan suhu rata-rata bumi di angka 1,5°C. Konvensi ini dikenal dengan nama Paris Agreement atau Perjanjian Paris. Tujuan utama Perjanjian Paris adalah menjaga kenaikan suhu global jauh di bawah 2 derajat Celcius dibandingkan dengan tingkat pra-industri pada abad ini, dengan angka ideal dibawah ataupun maksimal sebesar 1,5 derajat. Perjanjian Paris diratifikasi oleh berbagai negara di seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Perjanjian Paris pada tanggal 22 April 2016 di New York, Amerika Serikat.
Menindaklanjuti Perjanjian Paris, Indonesia harus menetapkan dan menyerahkan Nationally Determined Contributions (NDC) setiap 5 tahun yang berisi target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2030. Indonesia berkomitmen di dalam Enhanced NDC 2022 untuk mengurangi emisi GRK sebesar 31,89% persen di bawah skenario Business as Usual (BAU) pada tahun 2030 tanpa syarat, dan hingga 43,20% persen dengan syarat; yaitu tergantung pada ketersediaan dukungan internasional dalam bidang pendanaan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas. NDC ini memiliki peranan penting karena mewakili strategi investasi yang didukung secara politik pada sektor-sektor vital yang memiliki potensi tidak hanya untuk mencapai tujuan iklim, tetapi juga untuk mendorong pertumbuhan berkelanjutan.
Dalam NDC ini, Indonesia membagi strateginya melalui dua pendekatan utama, yaitu mitigasi dan adaptasi. Strategi mitigasi terdiri dari lima sektor, yaitu energi, agrikultur, FOLU (forestry and other land use), waste (sampah), dan IPPU (Industrial Processes and Product Use). Di sisi lain, strategi adaptasi dibagi ke dalam tiga dimensi, yaitu resiliensi ekonomi, sosial, dan lingkungan. Indonesia, sebagai negara beriklim tropis, menghasilkan emisi CO2 terbesar di dunia dari perubahan lahan sebagai konsekuensi dari ekspansi agrikultur dan eksploitasi hutan (Juniyanti et al., 2021). Ditambah lagi, laporan dari Direktorat Jenderal Perubahan Iklim menunjukkan bahwa AFOLU menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca di Indonesia sebesar 55,83% pada tahun 2019. Dari 55,83% ini, sektor FOLU menyumbang emisi CO2-eq (karbon dioksida ekuivalen) hingga sebesar 50,13 poin persentase. Menimbang signifikansi sektor tersebut, kajian kali ini akan membahas mengenai rumusan kebijakan FOLU (forestry and other land use) dalam strategi perubahan iklim di Indonesia.
2. Data Pendukung
2.1. Emisi dari Penggunaan Lahan dan Perubahan Tata Guna Lahan
Gambar 1. Emisi Global berdasarkan Sektor (IPCC, 2022)
Sixth Assessment Report IPCC menunjukkan bahwa sekitar 22% global emisi Greenhouse Gas (GHG) berasal dari sektor agriculture, forestry and other land use (AFOLU). Dilihat dari emisi langsung, sektor ini berada pada urutan ketiga setelah sektor industri dan electricity plus heating. Sebelas persen dari emisi tersebut diproduksi oleh subsektor Land Use, Land Use Change, and Forestry (LULUCF). Tidak hanya itu, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Laporan Direktorat Jenderal Perubahan Iklim menunjukkan bahwa FOLU berkontribusi sebesar 924,853 Gigagram (Gg) atau 50,13% dari total gas rumah kaca Indonesia pada tahun 2019. Jumlah gas rumah kaca pada sektor ini mengalami kenaikan 73,73% dari tahun 2010. Data ini mengindikasikan bahwa hutan, penggunaan lahan, dan alih fungsi lahan menjadi salah satu elemen yang penting untuk dikelola dalam upaya untuk mencapai target Net Sink 2030.
2.2. Fasilitas Transportasi Publik
Morimoto (2015) dalam dokumen International Association of Traffic and Safety Science menyatakan bahwa tata guna lahan dan transportasi memiliki hubungan interdependen. Utilisasi lahan akan mendorong aktivitas perkotaan, lalu jalan dan fasilitas transportasi mendukung aktivitas perekonomian yang membutuhkan mobilisasi. Burgess model atau disebut juga concentric zone model merupakan salah satu teori yang menekankan pentingnya transportasi dan mobilitas sebagai pembentuk organisasi spasial dan area perkotaan, yang berkaitan erat dengan penggunaan dan peralihan lahan perkotaan. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur transportasi seperti jalan, pelabuhan, dan bandara dapat dikatakan juga sebagai salah satu bentuk dari tata guna lahan.
Data dari BPS menunjukkan bahwa panjang jalan di Indonesia mencapai 549.161 km pada tahun 2022, naik 2.1% sejak tahun 2016. Sementara itu, ruas jalan tol yang beroperasi di Indonesia saat ini berjumlah 68 ruas jalan dengan panjang 2545 km, serta 27 ruas jalan dalam konstruksi dengan panjang 1813 km. Akan tetapi, meskipun pembangunan jalan merupakan aspek yang vital dalam ekonomi, studi kasus dari Cina oleh Ma (2016) menunjukkan bahwa konstruksi asphalt pavement menyebabkan dampak yang signifikan pada lingkungan. Tidak hanya dari proses pembangunannya, kehadiran fasilitas transportasi jalan secara tidak langsung akan menjadi insentif penggunaan kendaraan bermotor. Xu (2022) berargumen bahwa infrastruktur transportasi juga secara signifikan akan meningkatkan arus trafik serta permintaan atas moda transportasi pribadi yang akan berkontribusi besar terhadap emisi CO2. Sebaliknya, Li (2022) menemukan bahwa perbaikan infrastruktur transportasi akan mendukung pengurangan emisi karbon. Akan tetapi, perlu kita pahami juga bahwa dalam hal ini penting untuk membangun infrastruktur transportasi yang “efektif”. Dalam papernya, Liu (2022) menyebutkan peran transportasi publik sebagai penyedia metode transportasi yang lebih efektif dan efisien secara energi.
Merujuk pada Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 80 Tahun 2020, angkutan massal atau transportasi publik di perkotaan yang telah tersedia saat ini hanya terfokus pada 6 kota metropolitan Indonesia, yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Makassar, dan Semarang. Dalam RPJMN Tahun 2020 – 2024, pemerintah memiliki rencana untuk meningkatkan layanan angkutan umum massal di perkotaan lain. Namun, sejauh ini belum ada perkembangan signifikan yang dapat diamati secara langsung. Bahkan, pada keenam kota metropolitan tersebut, pengembangan moda transportasi publik yang terintegrasi masih menunjukkan adanya ketimpangan dalam segi efektifitas dan efisiensi (Handayani et al., 2021; Nafiah & Setiawan, 2023; Hariani et al., 20230; Widodo & Putranto, 2023).Padahal, menurut IPCC, sektor transportasi menyumbang emisi CO2 global sebesar 15 persen. Sarana transportasi publik dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dan mengurangi konversi lahan untuk membangun infrastruktur penunjang sistem transportasi pribadi. Studi oleh Jing (2022) menunjukkan bahwa peningkatan pengembangan transportasi publik dapat secara signifikan mengurangi emisi CO2 pada jangka pendek.
2.3. Deforestasi dan Lahan Gambut di Indonesia

Gambar 2. Tren Deforestasi Indonesia 1990 – 2021 (KLHK, 2022)
Dalam Third Biennial Update Report, Direktorat Jenderal Perubahan Iklim menyatakan bahwa deforestasi, degradasi hutan, dekomposisi lahan gambut, dan kebakaran hutan menjadi sumber emisi utama sektor FOLU. Akan tetapi, dapat kita lihat pada Gambar 2 bahwa deforestasi di Indonesia telah mengalami tren penurunan sejak tahun 1990. Tidak hanya itu, penyusutan hutan primer di Indonesia juga menurun sejak tahun 2016. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan penanganan lahan hutan di Indonesia telah membawa hasil yang positif.
Gambar 3. Penyusutan Hutan Primer Indonesia 2002 – 2022 (Global Forest Watch, 2023)
Di sisi lain, meskipun kebakaran lahan gambut merupakan kontributor utama dalam sektor FOLU, masih terjadi fluktuasi emisi karbon lahan gambut dari tahun ke tahun (KLHK, 2022). Emisi tertinggi terjadi pada tahun 2006 sebesar 1,053,083 Gg dan terendah pada tahun 2017 sebesar sekitar 13,000 Gg. Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek ini merupakan elemen utama yang perlu difokuskan oleh pemerintah dalam sektor FOLU.
3. Kebijakan Saat Ini dan Analisis SWOT
3.1. Kebijakan FOLU Indonesia Saat Ini
Beberapa rencana dan kebijakan mengenai reduksi emisi pada sektor forestry and other land use atau FOLU sudah tertera dalam dokumen-dokumen seperti pada Enhanced NDC Indonesia yang diserahkan kepada Sekretariat UNFCCC pada 23 September 2022, ataupun yang sudah tertuang pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020 – 2024, dan juga pada Operational Plan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 yang diterbitkan oleh KLHK.
- Kebijakan FOLU dalam ENDC Indonesia 2022
Kebijakan yang terformulasi dalam dokumen ENDC berfokus upaya-upaya untuk memperlambat laju deforestasi, konservasi dan rehabilitasi lahan, serta manajemen pada lahan gambut. Untuk laju deforestasi, dokumen ENDC mengincar target diantara 0,175 – 0,395 juta hektar per tahun dan kebijakan-kebijakan berupa utilisasi produk lokal non-kayu, implementasi best practices untuk melindungi sumberdaya areal hutan, pengembangan EFT atau environmentally-friendly technologies yang diimplementasikan pada areal hutan, dan kampanye kesadaran mengenai peran hutan terhadap resiliensi ekosistem lingkungan. Kebijakan dalam lahan berupa penguatan regulasi mengenai tata guna lahan, memperketat pengawasan dan kepatuhan terhadap rencana tata ruang wilayah, eradikasi spesies-spesies invasif, serta target aforestasi dan reforestasi seluas 280 ribu hektar per tahun. Lahan gambut mempunyai kebijakan-kebijakannya sendiri seperti implementasi manajemen irigasi air pada 892 ribu hektar areal perkebunan sawit dan 329 – 548 ribu hektar pada areal perkebunan kayu, peningkatan edukasi mengenai lahan gambut pada komunitas lokal, serta penetapan target untuk merestorasi 2 juta hektar lahan gambut pada tahun 2030.
- Kebijakan FOLU dalam Operational Plan Net Sink 2030 oleh KLHK
Dalam dokumen Operational Plan, kebijakan lebih berfokus pada upaya untuk mengubah sektor FOLU dari sebuah net emitter atau sektor yang menghasilkan emisi menjadi net sink atau sektor yang menyerap emisi. Hal ini dilakukan agar sektor FOLU bisa menyerap emisi dari sektor-sektor lain seperti pada sektor energi yang hingga setelah 2030 akan tetap menghasilkan emisi. Implementasi kebijakan juga berfokus pada utilisasi informasi spasial seperti Indeks Biogeofisik, Indeks Jasa Lingkungan, Indeks Potensi Lahan, dan Tipologi Pengelolaan Hutan. Informasi-informasi spasial ini menjadi templat yang digunakan untuk membantu meninjau dan memperbaharui kebijakan yang sudah ada agar pengelolaan areal hutan dan ekosistem dapat dilakukan dengan lebih optimal. Dengan itu, kebijakan dalam Operational Plan berfokus pada;
- Penurunan laju deforestasi dan degradasi kualitas areal hutan
- Melalui ekspansi kawasan hutan lindung, meningkatkan partisipasi dan memperkuat kerjasama dengan komunitas lokal dalam proteksi areal hutan.
- Utilisasi templat informasi spasial untuk membantu merubah arah pengelolaan hutan dari yang berfokus pada timber menjadi manajemen lanskap hutan.
- Internalisasi daya dukung lingkungan hidup serta nilai dan jasa lingkungan dalam bisnis kehutanan.
- Target limitasi hutan alami yang bisa dikonversi agar tidak lebih dari 6,8 juta hektar hingga tahun 2050.
- Melindungi hutan primer dari degradasi dengan memberikan batasan atas degradasi hutan primer yang tidak lebih dari 2,28 juta hektar dan skema insentif pada daerah konsesi untuk mengubah bentuk bisnis mereka dari bisnis produksi kayu menjadi non-timber forest products (NTFPs).
- Meningkatkan perkembangan hutan tanaman dengan target ekspansi seluas 4,07 juta hektar pada area konsesi yang diurus oleh komunitas lokal melalui skema partnership.
- Meningkatkan daya sekuestrasi areal hutan
- Melalui kebijakan yang berfokus pada reduksi degradasi daya sekuestrasi dan peningkatan regenerasi hutan.
- Implementasi sistem sustainable forest management (SFM) melalui aktivitas pengayaan seperti penerapan teknik silvikultur insentif dan penebangan berdampak rendah (SILIN dan RIL) dengan target penerapan seluas 2,2 juta hektar.
- Meningkatkan daya sekuestrasi lahan
- Maksimalisasi penggunaan lahan tidak produktif.
- Implementasi sistem rotasi pada lahan terutama pada lahan perkebunan dan juga pada lahan tidak produktif dengan target 4,12 juta hektar pada tahun 2030.
- Pengembangan area rawa pantai (tidal swamps) menjadi hutan mangrove.
- Konservasi biodiversitas tanaman dan hewan melalui kebijakan konservasi dan proteksi habitat yang mencakup 38 juta hektar area dengan nilai konservasi tinggi (HCVF).
- Menurunkan emisi dari kebakaran hutan dan dekomposisi lahan gambut.
- Manajemen dan restorasi level air pada daerah lahan gambut, revegetasi, dan/atau penanaman tanaman komoditas yang bisa tumbuh pada areal gambut (paludikultur) dengan target capaian pada tahun 2030 seluas 2,72 juta hektar.
- Memperkuat penegakan hukum.
- Menetapkan kebijakan dan operasi yang sesuai dalam penanganan kasus kebakaran hutan, penebangan illegal, dan intrusi-intrusi illegal ke dalam areal hutan.
- Kebijakan FOLU dalam RPJMN 2020 – 2024
Dalam dokumen RPJMN 2020 – 2024 terdapat beberapa arah kebijakan dan strategi mengenai upaya untuk mengurangi emisi dari sektor FOLU, namun kebijakan-kebijakan tersebut tidak terlalu spesifik dan hanya berupa kalimat-kalimat singkat ataupun target umum. Kebijakan yang tertulis dapat dilihat dibawah:
- Restorasi, pemulihan, dan pengelolaan lahan gambut
- Reforestasi seluas 2 juta hektar dan restorasi lahan gambut seluas 1,5 juta hektar.
- Meningkatkan kepatuhan pada moratorium gambut.
- Reduksi laju deforestasi serta rehabilitasi hutan dan lahan
- Mempertahankan tutupan hutan primer seluas 43 juta hektar dan tutupan hutan nasional seluas 94 juta hektar.
- Peningkatan pada kualitas dan juga efektivitas pengelolaan areal konservasi darat.
- Meningkatkan kepatuhan terhadap aturan yang sudah tertera dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) serta aturan mengenai hutan lindung dan primer.
- Memperbaiki kinerja penegakan hukum terutama dalam aspek pengelolaan lingkungan hidup seperti pada penanganan pengaduan, pengawasan izin, serta pemberian sanksi terhadap kasus-kasus lingkungan.
- Pemulihan lahan bekas tambang
- Peningkatan populasi spesies tumbuhan dan hewan yang terancam punah
- Formulasi kebijakan yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas dari habitat spesies tumbuhan dan hewan yang terancam punah, serta meningkatkan jumlah populasi spesies-spesies tersebut.
3.2. Analisis SWOT Kebijakan
| Strengths | Weakness |
| • Di satu sisi, investasi terhadap pembangunan transportasi publik semakin meningkat. • Kebijakan SFM memiliki pengaruh yang signifikan dalam penurunan emisi GRK. | •Di sisi lain, pembangunan transportasi publik masih berfokus pada beberapa kota inti. •Dalam pemanfaatan dan pengelolaan hutan terdapat beberapa hambatan, seperti pertumbuhan penduduk, konversi hutan, pencemaran industri, dsb. •Adanya perbedaan dalam kebijakan pada pemerintahan lokal yang secara signifikan mempengaruhi pengelolaan hutan. |
| Opportunities | Threats |
| • Pemanfaatan pajak dan kebijakan pasar lain yang bisa memberi insentif kepada kegiatan-kegiatan yang menurunkan emisi. • Integrasi infrastruktur hijau dalam perencanaan penataan lahan kota. • Hutan dan lahan gambut di Indonesia yang memiliki potensi net sink besar. | • Pertumbuhan populasi yang dikombinasikan dengan sistem transportasi pribadi yang menyebabkan urban sprawl. • Jumlah unit kendaraan bermotor di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat secara signifikan. • Pembangunan jalan raya dan jalan tol secara signifikan, tetapi tidak memperhatikan aspek lingkungan terutama dalam konversi lahan. |
- Strengths and Weaknesses
Beberapa strengths dari rencana dan kebijakan reduksi emisi FOLU Indonesia antara lain:
- Dengan pesatnya program pembangunan angkutan massal perkotaan (antara lain MRT, LRT, dan KRL) diprediksi persentase pemakaian energi oleh metode transportasi pribadi di masa yang akan datang akan menurun (Dephub, 2023). Peningkatan pada penggunaan transportasi umum relatif terhadap transportasi pribadi juga akan mengubah tata wilayah sehingga konversi lahan untuk infrastruktur penunjang transportasi pribadi akan menurun.
- Kerusakan tegukan hutan yang disebabkan oleh pembalakan dapat diatasi dengan adanya kebijakan SFM, melalui penerapan Reduce Impact Logging (RIL) dan Usaha Pengayaan atau Enhanced Natural Regeneration (ENR). Dengan kata lain, penerapan kebijakan tersebut mendorong tercapainya rencana Net Sink FOLU di tahun 2030 yang mana memerlukan 2,67 juta hektar untuk target NDC dan 1,77 juta hektar untuk target net sink (KLHK, 2022).
Beberapa weaknesses dari rencana dan kebijakan reduksi emisi FOLU Indonesia antara lain:
- Berdasarkan RPJMN 2020 – 2024, telah ada langkah pemerintah untuk mengembangkan transportasi publik di Indonesia. Akan tetapi, evaluasi dari beberapa studi menunjukkan bahwa implementasi kebijakan transportasi umum di perkotaan Indonesia belum sepenuhnya efektif. Karena itu, emisi pada sektor FOLU dapat tetap naik dikarenakan konversi lahan akibat urban sprawl ataupun karena pembangunan infrastruktur penunjang transportasi pribadi yang mayoritas bersifat ekstensif. (Handayani et al., 2021; Nafiah & Setiawan, 2023; Hariani et al., 20230; Widodo & Putranto, 2023).
- Dalam mencapai Net Zero Emission, hutan menjadi faktor penting dalam penyerapan dan penurunan emisi GRK. Namun, ada beberapa hambatan dalam pengelolaan hutan, meliputi (a) pertumbuhan penduduk dan penyebaran yang tidak rata; (b) Konversi hutan menjadi pertambangan dan perkebunan; (c) Pencemaran industri dan pertanian lahan basah; (d) Pengabaian atau keacuhan pemilik lahan tradisional (adat) dan peran hak adat dalam pemanfaatan hutan; (e) Eksploitasi spesies hutan secara berlebihan; (f) Program transmigrasi; dan (g) Degradasi hutan bakau akibat konversi menjadi tambak.
- Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004, arah politik Indonesia yang terdesentralisasi membuka peluang bagi setiap daerah untuk membuat kebijakan dalam penggunaan sumber daya alam di daerahnya masing-masing. Konsekuensinya, pemerintah daerah secara mandiri dapat merencanakan peningkatan perekonomian dan sosial melalui alih fungsi kawasan hutan menjadi pertambangan, perumahan warga, maupun pusat-pusat perekonomian dan melakukan penebangan hutan alam untuk dijadikan sebagai komoditi pada industri pulp. Hal-hal tersebut tidak sejalan dengan kebijakan SFM dan dan kebijakan FOLU lain yang telah dijabarkan diatas, hal ini dapat mendorong terjadinya illegal logging serta naiknya kembali angka deforestasi
- Opportunities and Threats
Beberapa opportunities dari rencana dan kebijakan reduksi emisi FOLU Indonesia antara lain:
- Terdapat banyak potensi kebijakan dari sisi pasar yang bisa diimplementasikan untuk mengurangi emisi dari relasi antara tata guna lahan dan transportasi, dari skala implementabilitas tinggi seperti pajak bagi pembelian mobil atau moda transportasi pribadi hingga kebijakan dengan implementabilitas rendah namun dengan dukungan publik bisa terwujudkan seperti Rencana Tata Ruang Wilayah atau Rencana Detail Tata Ruang (RTRW/RDTR) yang berfokus untuk mengurangi urban sprawl ataupun kota-kota yang terintegrasi dengan transportasi publik seperti high-speed rail.
- Berdasarkan data dari Food and Agriculture Organization (2020), Indonesia berada di peringkat ke-8 negara dengan kawasan hutan terluas di dunia dengan total luas 92 juta hektar. Data dari KLHK juga menunjukkan bahwa luas lahan gambut di Indonesia mencapai 13,43 juta hektare di tahun 2019. Karena itu, Indonesia merupakan negara dengan lahan gambut terluas kedua di dunia. Dua hal ini memberikan potensi yang besar bagi Indonesia karena dengan pengelolaan yang tepat hutan dan gambut yang luas dapat menjadi net sink yang signifikan.
Beberapa threats dari rencana dan kebijakan reduksi emisi FOLU Indonesia antara lain:
- Pertumbuhan penduduk dan level urbanisasi yang tinggi akan meningkatkan urban sprawl dan meningkatkan emisi karbon dari sektor FOLU. Pembangunan berbasis transportasi pribadi yang dianut oleh banyak kota juga akan berakibat pada naiknya konversi lahan untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur transportasi (OECD, 2018).
- Jumlah kendaraan bermotor yang aktif di Indonesia pada tahun 2019-2023 mengalami peningkatan dari 133,6 juta unit menjadi 153,4 juta unit (BPS, 2023). Peningkatan yang cukup signifikan terhadap penggunaan kendaraan konvensional dapat memberikan dampak yang buruk terhadap emisi dari sektor transportasi maupun dari sektor FOLU akibat konversi lahan.
Pembangunan tol secara masif berdampak besar terhadap konversi lahan yang tidak direncanakan dan meningkatkan emisi dari sektor FOLU. Studi oleh Salim dan Faoziyah (2022) memproyeksikan bahwa pembangunan tol Jakarta-Bandung berdampak pada peningkatan konversi lahan tak terbangun – seperti lahan agrikultur dan lahan non-produktif – seluas 765 hingga 834 km2. Karena itu, hubungan antara sistem transportasi dan sektor FOLU harus dilihat secara lebih dalam lagi jika kedepannya sektor transportasi mengedepankan pengembangan sistem transportasi pribadi.
4. Diskusi
Dampak masif yang diakibatkan oleh perubahan iklim di masa kini dan yang akan datang menaikkan urgensi untuk sebuah transisi ekonomi dari sistem ekonomi yang menghasilkan emisi gas rumah kaca tinggi ke sistem dengan emisi rendah. Salah satu sektor yang perlu dilihat secara detail dalam konteks Indonesia adalah sektor FOLU dikarenakan emisinya yang besar. Dengan adanya beberapa dokumen dan kebijakan untuk mengurangi emisi pada sektor FOLU seperti pada ENDC Indonesia 2022, Operational Plan Net Sink 2030, dan RPJMN 2020 – 2024, Indonesia sudah memiliki beberapa framework untuk melakukan perubahan awal pada sektor FOLU dari sebuah net emitter menjadi net sink. Namun, rencana yang sudah ada harus bersifat komprehensif agar Indonesia dapat mencapai targetnya yang sudah tertera dalam ENDC 2022 dan memenuhi obligasi Paris Agreement untuk tetap berada dibawah 1,5 derajat Celcius.
Dalam rencana dan kebijakan FOLU yang sudah tertera dalam dokumen ENDC, Operational Plan, dan RPJMN sendiri, strategi kebijakan pada subsektor hutan dan lahan gambut sudah dirumuskan dengan cukup sistematis. Di sisi lain, masih ada beberapa rencana dan kebijakan yang memerlukan perhatian lebih lanjut mengenai hubungan sektor transportasi dan land use serta dampak emisi yang muncul dari hubungan tersebut. Menurut studi oleh IPCC (2022), kedua sektor tersebut berkontribusi sebesar seperempat dari total emisi yang jika dipecah lebih lanjut, sektor transportasi berkontribusi 15% dan land use sebesar 11%.
Melihat dari sisi positif, sudah ada beberapa upaya yang dilakukan untuk menangani emisi yang timbul dari hubungan dua sektor tersebut. Pembangunan transportasi publik sudah dilakukan di beberapa kota di Indonesia seperti adanya MRT dan LRT pada daerah Jabodetabek dan pembangunan high-speed rail yang menghubungkan Jakarta dengan Bandung. Kebijakan di sisi sektor FOLU sendiri seperti Sustainable Forest Management dan target-target reforestasi juga mendukung upaya untuk reduksi emisi dari land use change.
Di sisi lain, realita pembangunan transportasi publik masih berfokus pada area Jabodetabek dan beberapa kota lain di Indonesia, sehingga terdapat disparitas yang perlu diatasi agar pembangunan bersifat merata di seluruh kota-kota Indonesia. Peningkatan jumlah penduduk pada area perkotaan juga akan memunculkan fenomena urbanisasi yang memiliki sifat car-centric dan urban sprawl, di mana kedua hal ini akan meningkatkan emisi dari sektor transportasi dan perubahan tata guna lahan (land use change). Hal tersebut menurut IPCC (2022) akan membuat kota-kota memiliki dependensi tinggi terhadap karbon dan meningkatkan kerentanan atas bencana. Fenomena urban sprawl juga menyebabkan ketidakmampuan bagi perkotaan untuk menata dan membangun ruang terbuka hijau. Selain itu, pembangunan yang masih bersifat car-centric akan menjadi bahaya tersendiri saat level pendapatan penduduk naik yang menaikkan permintaan atas transportasi pribadi dan akan secara langsung menaikkan kebutuhan atas infrastruktur penunjang transportasi publik yang dimana akan berkontribusi pada emisi karbon dari perubahan tata guna lahan.
Lebih dari itu, kebijakan-kebijakan mengenai perubahan tata guna lahan seperti Sustainable Forest Management juga tidak 100% optimal dikarenakan banyaknya penyelewengan yang terjadi di lapangan. Tetap terdapat konversi-konversi lahan hutan menjadi pertambangan dan perkebunan, mengubah lahan tersebut menjadi carbon emitter. Riset oleh Harrison et al. (2020) menemukan bahwa 144,000 km2 dari seluruh area hutan di Kalimantan telah dialihfungsikan dan proyek-proyek infrastruktur transportasi memotong 42 area hutan yang seharusnya dilindungi oleh hukum. Alih fungsi lahan tersebut menyebabkan instabilitas ekosistem yang berakibat pada besarnya kebakaran hutan pada saat musim kemarau dan berkontribusi besar terhadap emisi land use change (LULUCF).
Dilihat dari sisi ekonomi, rencana yang tertera dalam tiga dokumen mengenai kebijakan reduksi emisi dari sektor FOLU memiliki keuntungan-keuntungan ekonomi jangka panjang. Dalam jangka pendek, pembangunan ekonomi tinggi karbon terlihat lebih menguntungkan, tetapi akan menghasilkan eksternalitas yang secara jangka panjang akan menghapus segala keuntungan-keuntungan jangka pendek. Studi dari Bappenas (2021) menunjukkan bahwa tanpa kebijakan-kebijakan reduksi emisi, dampak perubahan iklim di Indonesia dapat mencapai Rp 115 triliun di tahun 2024 dan dengan adanya kebijakan yang menurunkan emisi karbon, resiko kehilangan PDB akibat bencana iklim dapat berkurang sebesar 50.4% dari PDB di tahun 2024.
Pembangunan yang bersifat car-centric juga memiliki banyak eksternalitas yang seringkali tidak diperhitungkan atau disebut juga sebagai eksternalitas yang tidak diinternalisasi. Studi oleh Ardila-Gomez et al. (2021) menemukan bahwa pembangunan car-centric menimbulkan permasalahan kemacetan yang menimbulkan biaya sosial yang besar serta infrastruktur penunjang untuk transportasi pribadi dapat menimbulkan eksternalitas negatif yang besar. Laporan oleh EAA (2022) mengenai transportasi dan lingkungan juga menemukan bahwa infrastruktur transportasi membutuhkan lahan yang luas, sehingga dapat memakan banyak area perkotaan dan menurunkan kualitas hidup penduduk area urban. Selain itu, infrastruktur transportasi juga dapat menurunkan resiliensi kota terhadap perubahan iklim dikarenakan terbatasnya lahan untuk ruang terbuka hijau.Oleh karena itu, untuk bisa mencapai target yang sudah tertera dalam ENDC 2022 dan memenuhi obligasi Paris Agreement serta menghindari dampak perubahan iklim yang lebih buruk akibat emisi yang tinggi, rencana reduksi emisi yang sudah ada perlu melihat hubungan antara sektor transportasi dan land use dengan lebih dalam. Beberapa kebijakan dapat diperbaharui ataupun ditambahkan, seperti lebih mengembangkan transportasi publik dan pemberian insentif untuk mengurangi penggunaan transportasi pribadi. Utilisasi teknologi-teknologi baru juga dapat dilakukan, serta menyelaraskan RTRW/RDTR dengan tata kota berkelanjutan dan minim konversi lahan agar kota-kota di Indonesia memiliki keberlanjutan jangka panjang.
5. Rekomendasi Kebijakan Sektor FOLU
5.1. Kebijakan Urban Sprawl
Menurut OECD, urban sprawl merujuk pada pola yang dicirikan oleh rendahnya kepadatan populasi yang bisa dimanifestasikan dalam berbagai bentuk. Fenomena ini dapat terjadi pada pembangunan yang diskontinu, menyebar, atau terdesentralisasi, biasanya pada perkotaan dengan sebagian besar penduduk yang tinggal pada wilayah yang tidak saling terhubung. Urban sprawl dapat disebabkan oleh faktor demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi.
Urban sprawl dapat terjadi karena pembangunan perkotaan sebagai konsekuensi dari pembangunan yang tidak terukur pada wilayah pinggiran kota. Hal ini berarti, urban sprawl berkaitan erat dengan penggunaan dan perubahan tata guna lahan perkotaan. Civelli et al. (2022) menunjukkan bahwa ada tren kenaikan Urban Sprawl Index dari 80 kota metropolitan di Indonesia yang diamati pada rentang tahun 1990 – 2000 dan 2000 – 2014. Padahal, urban sprawl dinilai dapat meningkatkan emisi melalui inefisiensi transportasi, konstruksi, dan industri (Cheng & Hu, 2022; Kenworthy & Laube, 1996; Cervero, 2002). Berarti, urban sprawl menjadi salah satu kontributor emisi pada sektor tata guna lahan yang perlu menjadi perhatian. Apalagi, rumusan kebijakan Indonesia yang tertulis dalam FOLU Net Sink 2030 belum memuat arahan penanganan urban sprawl yang tepat.
Ada beberapa kebijakan yang dapat menjadi pertimbangan untuk mengatasi urban sprawl di Indonesia.
- Split-rate Property Tax
Split-rate property tax merujuk pada kebijakan instrumen fiskal yang dilakukan melalui pembebanan tingkat pajak yang lebih tinggi pada nilai “tanah” daripada “bangunan” atau pengembangan properti lain. Pengenaan pajak yang lebih tinggi pada nilai tanah akan mendorong penggunaan lahan yang sebelumnya tidak produktif di wilayah perkotaan, sehingga mengurangi tekanan pengembangan wilayah pinggiran kota (Banzhaf & Lavery, 2010). Di sisi lain, pajak yang relatif lebih rendah pada bangunan dan pengembangannya, akan memberikan insentif untuk renovasi dan perbaikan yang meningkatkan nilai properti. Hal ini akan menjadi dasar perpajakan properti yang sekaligus mengakomodasi keuangan pemerintah daerah (Gihring, 1999).
Seperti yang telah kita ketahui, di Indonesia, pajak properti diterapkan dalam bentuk Pajak Bumi dan Bangunan, yang masih memperhitungkan nilai tanah dan bangunan sekaligus. Meskipun begitu, PBB saat ini telah terdesentralisasi, yang berarti pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Salah satu determinan penting dalam implementasi strategi split-rate property tax adalah pemilihan lokasi, di mana pajak yang lebih tinggi akan dikenakan pada tanah yang telah berkembang dan pajak yang lebih rendah akan dikenakan pada bangunan di pinggiran kota. Hal ini berarti, otonomi PBB bagi daerah di Indonesia dapat menjadi potensi implementasi kebijakan. Pemerintah daerah yang lebih mengetahui kondisi wilayahnya, akan dapat menyusun strategi desain property tax yang lebih sesuai dan efektif.
- Investasi pada Infrastruktur Transportasi Berkelanjutan
Kebijakan ini berfokus pada salah satu saluran dampak utama dari urban sprawl yaitu transportasi. Telah diketahui bahwa pembangunan jalan tol dapat mendorong terjadinya urban sprawl sehingga perkotaan menjadi lebih terfragmentasi (Garcia‐López et al, 2015; Su & DeSalvo, 2008). Oleh karena itu investasi perlu secara perlahan dialihkan pada transportasi publik atau infrastruktur bagi moda transportasi lain, seperti jalur sepeda dan trotoar pejalan kaki.
Akan tetapi, perlu diakui juga pentingnya pembangunan infrastruktur transportasi kendaraan bermotor di Indonesia untuk mengakomodasi mobilitas dalam perekonomian. Maka, kebijakan ini dapat dilakukan dengan membersamai pembangunan infrastruktur jalan dengan pembangunan transportasi publik dan infrastruktur non-kendaraan-bermotor. Apalagi telah kita ketahui dari data sebelumnya bahwa pembangunan transportasi umum di perkotaan Indonesia masih belum optimal. Dengan strategi ini, akan muncul insentif dalam jangka panjang untuk beralih pada alternatif moda transportasi serta mendorong pembangunan dalam perkotaan.
Di sisi lain, kebijakan ini perlu dilengkapi dengan disinsentif penggunaan kendaraan bermotor seperti pricing pada kemacetan, on-street parking, dan konsumsi BBM. Tentunya kebijakan ini perlu disesuaikan dengan kondisi Indonesia. Lalu, untuk mengakomodasi pembiayaan pembangunan infrastruktur, perlu kebijakan komplemen melalui pengenaan biaya dampak pembangunan bagi developer dan juga kerja sama sektor privat melalui Public-Private Partnership (PPP).
Terakhir, penulis mengakui bahwa kajian maupun analisis empiris yang menunjukkan kondisi urban sprawl di Indonesia masih sangat minim. Oleh karena itu, perumusan kebijakan perlu diawali dengan field research sehingga strategi yang diambil berdasar pada data dan kondisi aktual. Dengan ini, kebijakan dapat secara akurat ditujukan pada akar penyebab dari urban sprawl yang terjadi di Indonesia.
5.2. Kebijakan Perencanaan Tata Kota yang Berkelanjutan
Hurlimann et al., (2021) menyatakan bahwa kebijakan perencanaan tata kota yang didesain dengan baik dapat mendukung mitigasi emisi gas rumah kaca sekaligus adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Namun, perlu dipahami juga bahwa pembangunan tata kota saat ini menghadapi tantangan dari besarnya tingkat urbanisasi. Oleh karena itu, diperlukan strategi perencanaan kota yang didasarkan pada aspek keberlanjutan.
UN-Habitat (2016) dalam laporannya merekomendasikan beberapa bentuk pendekatan yang dapat dijadikan acuan dalam pembangunan tata kota.
- Transit Oriented Development (TOD)
TOD merujuk pada pembangunan yang mengintegrasikan manusia, bangunan, aktivitas, dan ruang terbuka dengan basis transportasi. Model ini dapat mendukung penggunaan sumber daya yang efisien dan rendah karbon. Tata kota ini perlu didukung dengan pembangunan infrastruktur transportasi publik dan fasilitas non-kendaraan bermotor.
- Compact Development
Pola pembangunan ini dicirikan dengan lahan dengan tingkat densitas yang tinggi serta mixed-land use (Bibri et al., 2020). Mixed land use merujuk pada pembangunan yang mengkombinasikan fungsi residensial, komersial, kultural, dan institusional dalam satu area atau lahan. Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, serta mendukung pejalan kaki dan pesepeda. Pembangunan ini juga dapat mengurangi tingkat urban sprawl. Selain itu, compact development berkaitan erat dengan pembangunan yang berbasis pada transportasi. Pola pembangunan ini dapat dilakukan dengan perencanaan dalam RTRW/RDTR maupun melalui insentif-insentif seperti keringanan pajak bagi lahan berdensitas tinggi ataupun untuk bangunan berlantai tinggi.
- Brownfield Redevelopment
Brownfield adalah lahan atau properti yang terkontaminasi sehingga membentuk hambatan bagi proses redevelopment. Seringkali, brownfield tidak diminati oleh developer karena risikonya yang tinggi. Maka, pemerintah perlu mengambil langkah kebijakan dengan strategi insentif kredit pajak atau Public-Private Partnership. Brownfield redevelopment dapat meningkatkan kesempatan ekonomi, perkembangan industri, hingga penerimaan pajak (Siikamäki & Wernstedt, 2008).
Di Indonesia, pemerintahan daerah memiliki wewenang dalam pembangunan dan tata kota. Otonomi ini akan mempermudah implementasi kebijakan yang perlu menyesuaikan variasi pada kondisi daerah di Indonesia. Akan tetapi, apabila strategi ini nanti akan dilaksanakan, integrasi dan arahan yang menyeluruh dalam skala nasional perlu untuk dirumuskan.
Referensi
Badan Pusat Statistik. (2022). Retrieved July 16, 2023, from https://www.bps.go.id/indicator/17/57/1/perkembangan-jumlah-kendaraan-bermotor-menurut-jenis.html
Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Indonesia 2023. https://www.bps.go.id/publication/2023/02/28/18018f9896f09f03580a614b/statistik-indonesia-2023.html
Banzhaf, H. S., & Lavery, N. (2008). Can the Land Tax Help Curb Urban Sprawl? Evidence from Growth Patterns in Pennsylvania. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.1247862
Bibri, S. E., Krogstie, J., & Kärrholm, M. (2020, November). Compact city planning and development: Emerging practices and strategies for achieving the goals of sustainability. Developments in the Built Environment, 4, 100021. https://doi.org/10.1016/j.dibe.2020.100021
Cheng, Z., & Hu, X. (2022). The effects of urbanization and urban sprawl on CO2 emissions in China. Environment, Development and Sustainability, 25(2), 1792–1808. https://doi.org/10.1007/s10668-022-02123-x
Civelli, A., Gaduh, A., Rothenberg, A., & Wang, Y. (2022). Urban Sprawl and Social Capital: Evidence from Indonesian Cities. SSRN Electronic Journal. https://doi.org/10.2139/ssrn.4117095
Direktorat Jenderal Perubahan Iklim. (2021). Third Biennial Update Report. https://unfccc.int/sites/default/files/resource/IndonesiaBUR%203_FINAL%20REPORT_2.pdf
Garcia-López, M. N., Holl, A., & Viladecans-Marsal, E. (2015). Suburbanization and highways in Spain when the Romans and the Bourbons still shape its cities. Journal of Urban Economics, 85, 52–67. https://doi.org/10.1016/j.jue.2014.11.002
Gihring, T. A. (1999). Incentive Property Taxation: A Potential Tool for Urban Growth Management. Journal of the American Planning Association, 65(1), 62–79. https://doi.org/10.1080/01944369908976034
Global Forest Watch. (2023). Global Forest Watch – Indonesia. https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/
Handayani, S., Afrianti, D. A., Suryandari, M. (2021). Implementasi Kebijakan Angkutan Umum di DKI Jakarta. Jurnal Teknologi Transportasi dan Logistik Vol. 2 No. 1, 19 – 28. https://doi.org/10.52920/jttl.v2i%601.30
Hariani, M. L., Varadila, V., & Mukhlis, J. (2023). Evaluasi Kinerja Operasional dan Pelayanan BRT Trans Semarang Rute Penggaron –Mangkang. Siklus : Jurnal Teknik Sipil, 9(1), 28-42. https://doi.org/10.31849/siklus.v9i1.12489
Hurlimann, A., Moosavi, S., & Browne, G. R. (2021, February). Urban planning policy must do more to integrate climate change adaptation and mitigation actions. Land Use Policy, 101, 105188. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2020.105188
IPCC. (2022). Climate Change 2022: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Sixth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. https://report.ipcc.ch/ar6/wg2/IPCC_AR6_WGII_FullReport.pdf
Jing, Q. L., Liu, H. Z., Yu, W. Q., & He, X. (2022). The Impact of Public Transportation on Carbon Emissions—From the Perspective of Energy Consumption. Sustainability, 14(10), 6248. https://doi.org/10.3390/su14106248
Juniyanti, L., Purnomo, H., Kartodihardjo, H., & Prasetyo, L. B. (2021). Understanding the Driving Forces and Actors of Land Change Due to Forestry and Agricultural Practices in Sumatra and Kalimantan: A Systematic Review. Land, 10(5), 463. https://doi.org/10.3390/land10050463
KLHK. (2022). Rencana Operasional Indonesia’s FOLU Net Sink 2030. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. https://gakkum.menlhk.go.id/assets/filepublikasi/Buku_RENOPS_Indonesia_s_FOLU_NETSINK_2030.pdf
KLHK. (2022). The State of Indonesia’s Forest 2022 towards FOLU Net Sink 2030. https://phl.menlhk.go.id/static/file/publikasi/1664941652-Digital_SoIFO%202022_09.25.22.pdf
Li, H., & Luo, N. (2022). Will improvements in transportation infrastructure help reduce urban carbon emissions?——motor vehicles as transmission channels. Environmental Science and Pollution Research, 29(25), 38175–38185. https://doi.org/10.1007/s11356-021-18164-0
Liu, Z., Deng, Z., He, G., Wang, H., Zhang, X., Lin, J., Qi, Y., & Liang, X. (2022). Challenges and opportunities for carbon neutrality in China. Nature Reviews Earth & Environment, 3(2), 141–155. https://doi.org/10.1038/s43017-021-00244-x
Ma, F., Sha, A., Lin, R., Huang, Y., & Wang, C. (2016). Greenhouse Gas Emissions from Asphalt Pavement Construction: A Case Study in China. International Journal of Environmental Research and Public Health, 13(3), 351. https://doi.org/10.3390/ijerph13030351
Morimoto, A. (2015). Chapter 2: Transportation and Land Use. Traffic and Safety Science: Interdisciplinary Wisdom of IATSS. https://www.iatss.or.jp/common/pdf/en/publication/commemorative-publication/iatss40.pdf
Nafiah, A. F., & Setiawan, P. R. (2023). Evaluasi Kinerja Keterpaduan Layanan Bus Angkutan Umum Massal Antar Operator Menurut Presepsi Pengguna (Studi Kasus Suroboyo Bus dan Trans Semanggi Suroboyo). Jurnal Teknik ITS, 12(2). https://doi.org/10.12962/j23373539.v12i2.123026
OECD. (2018). Rethinking Urban Sprawl: Moving Towards Sustainable Cities. https://doi.org/10.1787/9789264189881-en
Peraturan Menteri Perhubungan RI No. 80 Tahun 2020
Salim, W., & Faoziyah, U. (2022). The Effect of Transport Infrastructure on Land use Change: The Case of Toll Road and High-Speed Railway Development in West Java. Journal of Regional and City Planning, 33(1), 53-70. 10.5614/jpwk.2021.33.1.3
Sarnita Sadya. (2022). Luas Lahan Gambut Indonesia Sebesar 13,43 Juta Hektare. Dataindonesia.id; dataindonesia. https://dataindonesia.id/agribisnis-kehutanan/detail/luas-lahan-gambut-indonesia-sebesar-1343-juta-hektare
Siikamäki, J., & Wernstedt, K. (2008, June 1). Turning Brownfields into Greenspaces: Examining Incentives and Barriers to Revitalization. Journal of Health Politics, Policy and Law, 33(3), 559–593. https://doi.org/10.1215/03616878-2008-008
Su, Q., & DeSalvo, J. S. (2008). The Effect of Transportation Subsidies on Urban Sprawl. Journal of Regional Science, 48(3), 567–594. https://doi.org/10.1111/j.1467-9787.2008.00564.x
UNDP Climate Promise. (2023). What are NDCs and how do they drive climate action?. https://climatepromise.undp.org/news-and-stories/NDCs-nationally-determined-contributions-climate-change-what-you-need-to-know
UNFCCC. (2019, June 12). Conference of the Parties (COP) | UNFCCC. Retrieved from Unfccc.int website: https://unfccc.int/process/bodies/supreme-bodies/conference-of-the-parties-cop
UN-Habitat. (2016). Addressing Climate Change in National Urban Policy. https://unhabitat.org/addressing-climate-change-in-national-urban-policy
Widodo, A., Yudho Putranto, A., Handajani, M., & Muldiyanto, A. (2023). Analisa Dan Evaluasi Sistem Transportasi Publik Bus Rapid Transit (Brt) Trans Semarang Koridor Iv Kota Semarang. Jurnal Civil Engineering Study, 3(01), 1–14. https://doi.org/10.34001/ces.03012023.1Xu, H., Cao, S., & Xu, X. (2022). The development of highway infrastructure and CO2 emissions: The mediating role of agglomeration. Journal of Cleaner Production, 337, 130501. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2022.130501