INDUSTRY 4.0: Apa Artinya Bagi Tenaga Kerja Indonesia?

Oleh Muhammad Fadillah e!15 & Mochamad Thoriq Akbar e!16

Revolusi Industri Keempat atau Industry 4.0 adalah revolusi industri yang menitikberatkan penggunaan masal teknologi. Beberapa elemen utama dalam Industry 4.0 adalah Mobile Internet, Cloud Technology, Internet of Things, Big Data, Artificial Intelligence, dan Digital Fabrication. Elemen-elemen Industry 4.0 secara tidak sadar mentransformasi berbagai lapisan dari industri mulai dari mengubah cara orang membuat keputusan, meciptakan model bisnis baru seperti sharing economy, sampai mengoptimasi rantai nilai ke tahap efisiensi yang sangat tinggi.

Pada dasarnya, perusahaan-perusahaan yang sudah menerapkan dan menyatakan dirinya sebagai bagian dari Industry 4.0, seperti BASF, Bosch, Daimler, Deutsche Telekom, Klöckner & Co., dan Trumpf adalah perusahaan yang mulai melacak semua yang mereka produksi dari awal sampai akhir, dari mulai proses produksi sampai setelah barang-barang tersebut terjual.

Perkembangan penggunaan teknologi dalam sebuah industri di Industry 4.0 menjanjikan keuntungan berupa efisiensi, kustomisasi masal, dan pengurangan biaya produksi. Akan tetapi, report terkini dari World Bank menyatakan bahwa Industry 4.0 tidak akan membawa keuntungan yang merata pada semua ekonomi di dunia. World Bank menyatakan, Industry 4.0 justru hanya akan mengakselerasi ekonomi negara maju dengan industri manufaktur yang sudah berkembang, seperti Jerman, Amerika Serikat, Jepang, dan China; dan meninggalkan ekonomi negara-negara yang belum memiliki sektor industri manufaktur yang berkembang. Hal ini ditentukan oleh satu faktor: seberapa siap dan sanggupkah sebuah ekonomi beradaptasi pada Industry 4.0.

Sebagai ekonomi yang industrinya didominasi oleh low-skilled labor (hampir setengah dari penduduk Indonesia yang bekerja adalah lulusan Sekolah Dasar saja), Industry 4.0 merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi Indonesia. Fakta ini mendasari rasa pesimis Indonesia dalam mengahadapi perubahan teknologi besar-besaran di Industry 4.0. Akan tetapi, munculnya trend start up setelah suksesnya Go-Jek menumbuhkan rasa optimis bahwa mungkin Indonesia mampu mengikuti dan beradaptasi dengan Industry 4.0.

Beberapa pertanyaan menyangkut Industry 4.0 yang harus diperhatikan antara lain; apakah tenaga kerja di Indonesia mampu beradaptasi di Industry 4.0? Menyadari fakta bahwa mayoritas tenaga kerja di Indonesia adalah low-skilled labor, apakah langkah strategis yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk memastikan bahwa Industry 4.0 akan membawa keuntungan yang menjanjikan, seperti menciptakan banyak lapangan pekerjaan baru dan justru bukan mengancam tenaga kerja di Indonesia.

 

Overview Pasar Tenaga Kerja di Indonesia

 Indikator Wanita Pria Total
Angkatan Kerja (juta) 49,543 78,138 127,672
Employment (ribu) 116 227,9 344
Labour force participation rate (%) 52,7 83,5 68
Tingkat Pengangguran (%) 5,3 5,7 5,5
Dewasa, umur > 24 2,6 3,4 3,1
Usia muda, umur 15-24 18,6 17,4 17,8
Pendapatan Bulanan (Ribu rupiah) 1,878 2,348 2,181
Informal employment rate (%) 72,9 72,3 72,5

Laporan International Labour Organization (ILO) pada bulan Agustus 2016 menggarisbawahi banyak tantangan yang akan dihadapi oleh Pemerintah Indonesia kedepannya. Salah satu dari tantangan tersebut ialah tingkat pengangguran usia muda yang tinggi, yaitu 17,8%. Contohnya, tingkat pengangguran usia muda di Tiongkok pada tahun 2015 ialah 11,7% dan untuk Asia Tenggara adalah 13.1%, berarti Indonesia masih di bawah rata-rata negara lainnya di Asia Tenggara.

Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Indonesia

Menyadari fakta bahwa Industry 4.0 adalah sebuah revolusi yang memfokuskan pada penggunaan masal teknologi canggih, salah satu indikator untuk menilai kesiapan sebuah ekonomi untuk beradaptasi dengan Industry 4.0 adalah dengan memahami tingkat pendidikan tenaga kerjanya.

Berdasarkan Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi yang dikeluarkan oleh BPS pada bulan Agustus 2017, dapat disimpulkan bahwa tingkat penyerapan kerja di Indonesia masih didominasi oleh pekerja dengan pendidikan rendah yaitu Sekolah Dasar ke bawah sebanyak 52,59 Juta orang, atau sekitar 42% dari total penduduk berusia diatas 15 tahun yang bekerja. Berbanding terbalik dengan penduduk bekerja berpendidikan tinggi yang hanya sebanyak 15,27 juta orang mencakup 3,68 juta orang (2,95%) berpendidikan diploma dan 1,59 juta orang (9,31%) berpendidikan Universitas.

Salah satu hal yang mengagetkan adalah, bahwa lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Diploma – terutama diploma– yang memang dirancang untuk siap masuk ke dunia kerja ternyata memiliki tingkat serapan kerja yang sedikit. Bahkan, lulusan SMK memiliki Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi, yaitu sebesar 9.27% (BPS, 2017). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Asian Development Bank pada tahun 2012, hal ini disebabkan karena adanya mismatch atau ketidaksesuaian antara kemampuan yang diajarkan di sekolah dan kemampuan yang dibutuhkan di dunia kerja. Selain itu juga ada faktor lain seperti kualitas pendidikan vokasi yang rendah, penempatan kerja yang kurang terorganisir, kurangnya pendanaan, dan hubungan yang lemah dengan sektor swasta. Ditambah lagi, sebagian masyarakat menilai bahwa pendidikan vokasi/kejuruan merupakan pendidikan second-class atau alternatif.

Menganalisa segi pendidikan, Indonesia dilihat kurang mampu untuk beradaptasi pada keceptan dan kompleksitas perkembangan Industry 4.0. Salah satu hal penting yang pemerintah dapat perhatikan dalam menyusun strategi Industry 4.0 adalah perbaikan pendidikan vokasi di Indonesia yang akan sangat membantu Indonesia dalam menggali potensi tenaga kerja muda.

Internet Penetrasi di Indonesia

Mengingat internet merupakan salah satu elemen penting dalam Industry 4.0, tentu kita perlu merlihat bagaimana tingkat penetrasi Internet di Indonesia, dan bagaimana penggunannya di masyarakat. Berdasarkan laporan dari McKinsey & Company, tingkat penetrasi internet di Indonesia masih sangat rendah, yakni 34%. Pada tingkat ini, penetrasi internet di Indonesia masih setengah dari negara tetangga seperti Malaysia dengan 68% dan tertinggal jauh oleh Singapura dengan tingkat 82%.

Tantangannya, penetrasi internet di Indonesia masih terdapat ketimpangan yang signifikan. Daerah yang miskin dan jauh dari pemerintah pusat memiliki tingkat penetrasi yang rendah dan hanya daerah-daerah pusat seperti Jakarta dan Yogyakarta yang memiliki tingkat penetrasi di atas 45%. Ini juga merupakan peluang bagi Indonesia karena dari masyarakat yang sudah terhubung oleh internet, mereka mudah beradaptasi dengan teknologi, dan keseharian dari mereka sudah selalu terhubung melalui sebuah teknologi, yakni Internet.

 

Strategi Indonesia Menghadapi Industry 4.0

Dalam menjalankan strateginya menghadapi Industry 4.0, negara-negara dengan sektor industri yang jauh lebih siap menghadapi Industry 4.0 dibandingkan Indonesia, lebih memfokuskan strategi mereka pada investasi digital infrastruktur. Inggris, salah satu negara pelopor Industry 4.0, mempunyai strategi sebagai berikut; bantuan finansial pada research & development teknologi baru, prioritas pada kompetitif infrastruktur digital, implementasi perkembangan standar digital global, dan menciptakan strategi jangka panjang smart infrastructure.

Menanggapi Industry 4.0, Menteri Perindustrian, Airlangga Hartanto, menunjukkan fokus Indonesia pada kebutuhan akan pendekatan dan kemampuan baru sebagai akibat dari perubahan besar di sektor manufaktur. Kementerian Perindustrian menitikberatkan strategi Indonesia dalam menghadapi Industry 4.0 pada empat hal berikut ini.

Pertama, Indonesia harus memastikan bahwa angkatan kerja di Indonesia terus belajar dan meningkatkan kemampuan untuk memahami penggunaan teknologi kompleks internet of things. Hal ini dilakukan dengan menginiasi program vokasi yang link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan industri.

Kedua, perluasan pasar industri kecil dan menengah (IKM) dalam value chain dunia dengan pemanfaatan teknologi digital untuk memacu produktivitas dan daya saing.

Ketiga, Kementerian Perindustrian juga meminta kepada industri nasional untuk dapat menggunakan teknologi digital seperti Big Data atau otomatisasi industri yang digunakan untuk mengoptimalkan jadwal produksi berdasarkan supplier, pelanggan, ketersediaan mesin dan kendala biaya.

Terakhir, Indonesia juga akan menikitberatkan pada inovasi teknologi melalui pengembangan startup dengan memfasilitasi tempat inkubasi bisnis.

Tantangan dan Peluang Industry 4.0 Bagi Indonesia

Empat strategi di atas harus dipastikan berhasil untuk menjamin keberhasilan Indonesia untuk berpartisipasi dalam Industry 4.0. Dilansir dari sebuah report berjudul Unlocking Indonesia’s Digital Opportunity oleh McKinsey & Company, Indonesia memiliki peluang senilai 150 miliar US Dollar apabila memanfaatkan Industry 4.0 dengan tepat.

Di 2015, sebuah survey yang dilakukan oleh PwC pada lebih dari dua ribu perusahaan di 26 negara di sektor industri seperti otomotif, elektronik, konstruksi, kertas, logam, dan transportasi dan logistik, sepertiga dari responden menyatakan bahwa perusahaan mereka sudah menerapkan digitalisasi dan integrasi dengan level yang sangat tinggi (sekitar 45%). Artinya, sudah banyak perusahaan di dunia ini yang menerapkan elemen-elemen dari Industry 4.0 mulai dari otomatisasi sampai penggunaan Artificial Intelligence.

Berdasarkan laporan Badan Statistik Nasional, penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih terkonsentrasi dalam pada tiga sektor; pertanian, industry, dan perdagangan.  Hal ini buruk dan harus diperhatikan oleh pemerintah karena ketiga sektor ini, terutama pertanian dan industri, sangat rentan terkena perubahan berupa otomatisasi dari Industry 4.0. Ditambah lagi, karena kebanyakan dari pekerja Indonesia masih berpendidikan rendah, tentu saja mereka akan sulit untuk beradaptasi, dan jika belum ada tindakan segera dari pemerintah nantinya akan menyebabkan pengangguran massal.

Keuntungan yang ditawarkan oleh Industry 4.0 tidak akan datang begitu saja. Bagi negara-negara ASEAN pada umumnya dan Indonesia khususnya, Industry 4.0 akan membawa tantangan tersendiri. Industry 4.0 yang pada dasarnya adalah peningkatan automation di industri, membutuhkan tenaga kerja dengan skill yang relative tinggi. Indonesia, dan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Vietnam, yang sudah lama bergantung pada low-skilled labor sebagai competitive advantage, akan terancam oleh meningkatnya automation. Hal ini dikonfirmasi oleh United Nations International Labour Organisation bahwa Kamboja, Vietnam, dan Indonesia mempunyai nilai tertinggi pekerja yang terancam oleh automation.

Leave a comment